Belajar dari Dua Pakar Keuangan Berkelanjutan Global

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua pakar keuangan berkelanjutan global datang ke Indonesia di bulan Agustus dan September 2017. Apa saja pelajaran-pelajaran yang mereka berikan?

Dalam kurun waktu hanya sekitar satu bulan, dua pakar keuangan berkelanjutan global datang ke Indonesia.  Keduanya punya beragam urusan, namun sama-sama bersedia meluangkan waktu untuk berbagi pemikiran dengan publik di Indonesia.  Yang pertama, Myriam Vander Stichele dari SOMO (Center for Research on Multinational Corporation), yang memberikan kuliah di Universitas Trisakti pada tanggal 5 Agustus 2017. Yang kedua, Jan Willem van Gelder dari Profundo, yang mempresentasikan gagasannya di Mercantile Club pada 7 September 2017.

Apa yang bisa kita pelajari dari kedua pakar tersebut?  Sangat banyak, tentu saja.  Namun, untuk kepentingan keringkasan dari artikel ini, maka hanya pelajaran-pelajaran yang terpenting saja yang akan disampaikan di sini.  Pertama-tama, dengan meringkas isi materi yang mereka sampaikan masing-masing.  Kedua, dengan menunjukkan kesimpulan paling penting yang bisa kita ambil dari keduanya.

 

Myriam dan Praktik Keuangan Berkelanjutan

Presentasi Myriam diberi judul Sustainable Finance: What It Means in Practice (for Accountants).  Dalam pembukaannya, dinyatakan bahwa tujuan presentasi ini untuk mendiskusikan tiga hal.  Pertama, apa nilai penting dari keuangan berkelanjutan terhadap profesi akuntan dan ekonomi secara keseluruhan.  Kedua, bagaimana peran yang dimainkan oleh berbagai lembaga jasa keuangan terhadap pembangunan berkelanjutan—termasuk dan terutama SDGs dan Kesepakatan Paris.  Ketiga, apa saja alternatif solusi yang tersedia dari keuangan berkelanjutan.

Hingga sekarang, laporan perusahaan yang dianggap paling penting adalah laporan keuangan tahunannya.  Isinya adalah pernyataan keuntungan serta strategi bagaimana keuntungan itu diperoleh.  Sayangnya, laporan itu tidak berisikan bagaimana keuntungan itu dalam praktiknya benar-benar didapat.  Demikian juga, tak ada laporan tentang dampak yang komprehensif atas praktik perusahaan dalam mendapatkan keuntungannya itu.  Lantaran dibatasi periode pelaporan setahun, maka apa yang terjadi dalam jangka yang lebih panjang juga tak dilaporkan secara memadai.  Padahal, dampak jangka panjang inilah yang akan memengaruhi kondisi—termasuk profitabilitas—perusahaan dan ekonomi secara umum.

Karenanya, perusahaan—termasuk para akuntan yang berada di dalamnya—sangat perlu untuk menyadari bahwa laporan keberlanjutan adalah norma baru yang penting.  Perusahaan-perusahaan global sudah mengadopsi bentuk pelaporan ini.  Governance and Accountability Institute melakukan pelacakan dan menemukan perkembangan yang sangat cepat.  Apabila pada tahun 2011 baru 20% dari perusahaan-perusahaan yang masuk ke dalam S&P 500 yang memiliki laporan tersebut, pada awal 2016 proporsinya sudah mencapai 81%.  Dan, yang terpenting untuk disadari, adalah isinya yang komprehensif, yaitu isu-isu tata kelola, ekonomi, sosial, dan lingkungan terkait perusahaan—bukan kegiatan karitatif.

Tantangan bagi perusahaan jasa keuangan adalah ragam dari jasa keuangan terasuk transaksi derivatif.  Ini berarti memerlukan pemahaman atas dampak apa saja dari jasa keuangan yang mereka berikan.  Lebih jauh lagi, kalau di masa depan kita harus menggeser ke arah ekonomi yang rendah (atau bahkan tanpa) karbon, maka perlu diketahui pula berapa jumlah pembiayaan yang dibutuhkan dan oleh siapa.  Di level global kini diperkirakan bahwa transisi itu membutuhkan USD90 triliun dalam 15 tahun, tetapi berapa nilainya di Indonesia belumlah diketahui secara tepat.  Di level global juga sudah diketahui bahwa sekitar 10% pinjaman bank sekarang ditujukan untuk mendukung projek-projek yang ramah lingkungan, sementara obligasi yang demikian hanya sekitar 1% saja.  Di Indonesia, kita belum mengetahuinya.

Bagi lembaga jasa keuangan, isu-isu keberlanjutan—seperti perubahan iklim, polusi, kemiskinan dan HAM—sesungguhnya sangat relevan.  Namun, belum banyak yang menyadarinya.  Dari sudut pandang risiko saja, sangat jelas bahwa membiayai kredit perumahan yang nilainya turun lantaran ternyata daerahnya kerap dikunjungi angin topan, membiayai operasi migas yang mengalami masalah aset terdampar (stranded assets), membiayai kegiatan pertanian yang menghadapi bencana kekeringan dan banjir, atau membiayai perkebunan yang tanahnya bersengketa dengan masyarakat, seluruhnya memiliki risiko tinggi.  Sudah seharusnya para analis kredit memahami isu-isu seperti itu dalam mengambil keputusan pembiayaan.

Soal stranded assets ini menjadi perhatian Myriam dengan sungguh-sungguh.  Dengan mengambil contoh industri kelapa sawit dengan berbagai konteksnya, stranded assets—yang didefinisikan  sebagai segala jenis properti berharga milik perusahaan yang mengalami penurunan nilai dalam waktu yang relatif cepat—memang sangat penting.  Kebun yang sudah dikembangkan perusahaan, bila kemudian terbukti adalah milik pihak lain bisa tiba-tiba tidak berharga.  Bila perusahaan tidak mengelola hubungan sosial dengan memadai, dan masyarakat menghentikan operasi perusahaan, aset kemudian menjadi sulit dimanfaatkan.  Bila perusahaan terlibat dalam kebakaran hutan, dan mendapatkan hukuman dari pemerintah, maka nilainya juga bisa turun.  Bahkan, lantaran perusahaan dianggap merusak hutan dan bertanggung jawab pada perubahan iklim, bisa jadi konsumen—terutama di Eropa dan AS—memutuskan kontrak pembelian dan perusahaan menjadi sasaran kampanye negatif.  Itu semua bisa menurunkan nilai (properti) perusahaan dalam waktu yang sangat cepat.

Myriam mengungkapkan bahwa masalah-masalah seperti yang telah disebutkan sesungguhnya bisa dicegah dari hulu, apabila lembaga-lembaga jasa keuangan mau mengadopsi keuangan berkelanjutan.  Apa yang menjadi karakteristik keuangan berkelanjutan ada 4, yaitu: menghormati standar nasional dan internasional terkait isu-isu keberlanjutan; melindungi lingkungan dan mencegah perubahan iklim; mencegah dampak negatif jangka panjang atas keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan; dan transparen dalam apa saja dan bagaimana projek dibiayai.  Terkadang, keuangan berkelanjutan didefinisikan sebagai implementasi kebijakan lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance, disingkat ESG).  Masalahnya, memang apa yang masuk ke dalam masing-masing aspek itu belum secara tegas diregulasi.

Myriam kemudian mengajukan sebuah definisi progresif atas keuangan berkelanjutan, yaitu: “...contribute in transparent way to improving social and environmental aspects in short and long term, pro-actively aim to achieve the SDGs and the Paris Agreement, implement ESG issues throughout their value chain, and avoid financial instability.”  Menariknya, ia juga melihat bahwa keuangan Islam—atau keuangan syariah—yang relatif popular di Indonesia bisa menjadi dasar bagi keuangan berkelanjutan yang progresif itu, apabila memasukkan kebijakan terkait dukungan terhadap SDGs, misalnya terkait pengentasan orang miskin dan pembiayaan infrastruktur berkelanjutan.

Lalu, bagaimana caranya memastikan bahwa transisi menuju keuangan berkelanjutan itu terjadi?  Menurut Myriam, ada 4 hal terpenting untuk itu.  Pertama adalah regulasi keuangan yang memasukkan unsur-unsur ESG yang jelas.  Kedua, pembiayaan yang menghindari berbagai dampak negatif, mendukung projek-projek berkelanjutan, dan pada akhirnya menunju kepada pembentukan bank-bank berkelanjutan.  Ketiga, analisis risiko dan penilaian dampak yang kokoh, termasuk oleh lembaga pemeringkatan kredit, uji tuntas oleh pemberi pinjaman, sertifikasi keberlanjutan, serta informasi dari komunitas dan LSM.  Dan terakhir, transparensi informasi maksimum oleh perusahaan jasa keuangan atas dampak keberlanjutan yang benar-benar dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan.      

Dalam hal tersebut, Myriam menekankan bahwa LSM memang sudah aktif dalam memberikan masukan dan tekanannya, kumpulan perusahaan sendiri sudah bergerak untuk membuat standar-standar sukarela seperti RSPO di industri kelapa sawit, namun itu tidak memadai tanpa regulasi yang kokoh dan pemerintah.  Yang belakangan inilah yang dinilai Myriam paling terbelakang, sehingga perlu diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.  Masih terlampau sedikit negara yang memiliki regulasi keuangan berkelanjutan, termasuk di Eropa.  Regulasi pendukungnya, seperti insentif fiskal dan indikasi jumlah uang yang dibutuhkan untuk mencapai SDGs dan Kesepakatan Paris, juga belum jelas.

 

Jan Willem dan Tantangan Keuangan Berkelanjutan di Indonesia

Jan Willem memulai presentasinya dengan menunjukkan tiga grafik yang menunjukkan tantangan keberlanjutan.  Pertama, grafik yang menunjukkan bahwa populasi global yang kini telah melampaui 7 miliar orang diperkirakan akan mencapai 9 miliar di tahun 2050.  Pada saat yang sama, kebutuhan pangan masing-masing orang cenderung meningkat.  Kalau pada dekade 1960an setiap orang mengkonsumsi sekitar 2.000 kalori/hari, pada tahun 2030 saja diperkirakan akan semakin dengan dengan 3.000 kalori/hari.  Demikian juga dengan kebutuhan energi global yang bila pada tahun 2015 lalu belum mencapai 600 exajoules, pada 2035 kelak diperkirakan mencapai hampir 800 exajoules.  Dengan peningkatan yang seperti itu, Jan Willem mengingatkan: kita hanya punya satu Bumi, dan kita sekarang sudah memanfaatkan sumberdaya yang melampaui 1,5 kali lipat daya dukungnya.

Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah tujuan, target, dan cara yang disepakati oleh 193 negara—termasuk Indonesia—untuk menjawab tantangan itu.  Sehingga, keuangan berkelanjutan sangatlah terkait dengan SDGs, yaitu sistem keuangan yang diarahkan untuk mencapai SDGs dan tujuan lain yang terkait, seperti Kesepakatan Paris.  Menurut Jan Willem, ada tiga cara mencapainya, yaitu, (1) melalui pembiayaan inovasi produk yang memenuhi beragam kebutuhan global di bidang pangan, energi, papan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya, (2) melalui pembiayaan yang menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara hati-hati dan efisien, dan (3) melalui pembiayaan yang berperspektif keadilan sosial, yang memastikan bahwa setiap orang bisa mendapatkan kehidupan yang layak.

Kebijakan-kebijakan keuangan berkelanjutan pun diperlukan untuk memastikan ketiganya bisa terlaksana.  Hingga sekarang, dikenal dua jenis kebijakan, yaitu yang dikembangkan oleh lembaga jasa keuangan, terutama bank, sendiri; serta yang dikembangkan secara kolektif.  Yang disebut belakangan ini contohnya adalah UNEP Finance Initiative, Equator Principles, dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises.  Kebijakan-kebijakan yang dibuat secara kolektif kemudian juga banyak diadopsi dan diadaptasi oleh perusahaan keuangan. 

Indonesia sendiri, dalam pandangan Jan Willem, memiliki sejumlah tantangan yang menurutnya membuat keuangan berkelanjutan menjadi mendesak untuk diberlakukan.  Mengutip survei yang dilakukan oleh OECD pada Oktober 2016, masih ada 28 juta warga Indonesia yang masuk kategori miskin, sementara kesenjangan kaya-miskin di sini adalah salah satu yang paling lebar di dunia.  Anggaran pembangunan oleh pemerintah, dan pemasukan dari pajak, juga masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk tetangga terdekat.  Korupsi masih tinggi, dan menghambat pertumbuhan serta kesejahteraan.  Kondisi lingkungan dan kesehatan yang buruk juga menjadi tantangan tersendiri untuk keberlanjutan dan dalam mewujudkan inklusi pembangunan.

Dalam kondisi yang penuh tantangan seperti itu, bank-bank yang ada di Indonesia—sebagai bagian penting dari lembaga jasa keuangan—sendiri masih jauh dari praktik atau bahkan ide keuangan berkelanjutan.  Mengutip penelitian mutakhir Responsibank, Jan Willem menunjukkan bahwa bank lokal yang skor kebijakannya terbaik adalah Danamon, yang hanya mendapatkan 16,35 dari 100.  BNI yang mendapatkan tempat kedua terbaik—dan satu-satunya bank dari Indonesia yang menjadi anggota UNEP FI—malahan hanya mendapatkan skor 9,89.  CIMB Niaga, yang terendah dalam penelitian tersebut, memiliki skor 3,46.

Jan Willem kemudian menunjukkan sisi yang lain mengapa keuangan berkelanjutan itu penting, yaitu melalui industri kelapa sawit.  Secara ‘teori’, industri ini sangatlah menjanjikan bagi Indonesia.  Perkebunan kelapa sawit bisa memanfaatkan kekayaan lahan yang dimiliki Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.  Pendapatan dari kelapa sawit bisa diperoleh dari ekspor ke berbagai negara, pajak yang dibayarkan, selain pendapatan lainnya.  Peluang ketenagakerjaan yang timbul juga tidak sedikit, dan tentu saja peluang kerjasama produksi antara perkebunan inti dan plasmanya.  Indonesia yang kini menguasai setidaknya 47% produksi minyak sawit dunia bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar.

Sayangnya, sisi baik dari industri ini juga disertai berbagai ekses yang membuat ‘teori’ itu tak seindah realitasnya.  Dari sisi lingkungan, deforestasi dalam 15 tahun sangat banyak yang terkait dengan pembukaan kebun kelapa sawit, demikian juga dengan kebakaran hutan.  Hilangnya keanekaragaman hayati, hutan dengan carbon stock yang tinggi, termasuk lahan-lahan gambut juga terkait dengan ekspansi kelapa sawit.  Di sisi sosial, konflik lahan dengan masyarakat, pelanggaran hak-hak tenaga kerja, serta ketimpangan hubungan dengan petani kecil telah banyak didokumentasi.  Persoalan tata kelola juga sangat jelas, terutama terkait dengan penghindaran pajak yang dilakukan sejumlah perusahaan kelapa sawit, juga korupsi.

Di sinilah peran penting keuangan berkelanjutan.  Bagaimanapun, industri kelapa sawit—dan industri apapun—membutuhkan pembiayaan.  Sehingga, apabila para pembiaya itu bisa memersyaratkan aspek-aspek ESG itu secara merata, mencipatkan level playing field dalam keberlanjutan, tentu pengaruhnya akan sangat besar.  Apa yang perlu dilakukan oleh lembaga jasa keuangan, menurut Jan Willem, adalah memahami isu-isunya secara komprehensif, mengembangkan visi yang jelas untuk keberlanjutan setiap sektor yang dibiayai, membuat berbagai kebijakan dengan standar yang jelas, melatih staf untuk menegakkan kebijakan yang dibuat, menapis proposal pembiayaan dari klien dengan kebijakan yang baru, melakukan pemantauan terhadap kinerja keberlanjutan klien, merundingkan tindakan-tindakan perbaikan yang perlu dilakukan oleh klien, serta membuat mekanisme penyelesaian keberatan.

Dalam hal ini, Jan Willem menyatakan bahwa HSBC—yang merupakan tuan rumah dalam diskusi tersebut—berada di jalur yang tepat.  HSBC, dalam penilaian Responsibank, adalah bank dengan skor kebijakan kehutanan tertinggi, yaitu 56,25 dalam skala 100.  Selain karena sudah lama memiliki sejumlah kebijakan keberlanjutan, sebagai anggota RSPO yang baru saja memerbarui kebijakan untuk industri kelapa sawitnya, HSBC mendapatkan skor yang jauh di atas bank-bank Indonesia.  Tetapi, tentu saja skor tersebut masih bisa ditingkatkan lebih jauh.  Masalahnya, kompetisi yang belum adil dengan bank-bank lainnya di kawasan Asia Tenggara mungkin membuat HSBC ragu untuk melangkah lebih jauh lagi.

Tetapi, HSBC jelas memiliki kepasitas untuk menjadi lebih baik lagi.  Jan Willem menunjukkan setidaknya dua jalur pengaruh yang sangat kuat bisa dimainkan oleh HSBC.  Pertama, dalam pembiayaan industri kelapa sawit, antara 2010-2017 berpartisipasi dalam 102 sindikasi pembiayaan, dengan total USD2,9 miliar.  Kedua, HSBC sendiri juga meminjamkan uang kepada bank-bank lainnya di kawasan ini, termasuk melalui loan sebesar USD4,4 miliar, serta underwriting sebanyak USD9,7 miliar (termasuk obligasi yang bernilai USD4,5 miliar).  Dengan kekuatan kapital seperti itu, jelas HSBC punya pengaruh besar yang bisa dimanfaatkannya untuk mendorong keuangan berkelanjutan.

Jan Willem kemudian menjelaskan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan membuat Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan dan POJK tentang Pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan sangatlah tepat.  Langkah selanjutnya yang dipandang sangat krusial adalah mewajibkan pelaporan berkelanjutan yang memanfaatkan standar dari Global Reporting Initiative (GRI), memastikan adanya mekanisme penyelesaian keberatan terhadap pembiayaan, serta membuat regulasi tanggung jawab bersama dalam kinerja sosial dan lingkungan antara klien dengan pembiayanya.  Khusus terkait industri kelapa sawit, OJK bisa memastikan eksklusi deforestasi, high conservation value (HCV), dan gambut; menerapkan free, prior and informed consent terhadap masyarakat adat dan lokal; mengadopsi standar ILO tentang ketenagakerjaan dan UN Guiding Principles on Business and Human Rights; dan mengidentifikasi serta mencegah korupsi dan penghindaran pajak.

Harapan juga disematkan Jan Willem kepada LSM seperti TuK Indonesia yang menjadi salah satu penyelenggara diskusi. Pertama, agar semakin giat mendampingi masyarakat yang mengalami konflik, dan berusaha menuntaskan kasus-kasus itu.  Kedua, mendukung lembaga jasa keuangan dalam mengadopsi berbagai kebijakan yang relevan untuk keberlanjutan, serta mendorong pemanfaatan kekuatan lembaga jasa keuangan dalam menyelesaikan konflik.  Terakhir, memberikan data yang relevan kepada lembaga jasa keuangan supaya mereka bisa mengambil keputusan pembiayaan dengan tepat, juga dalam melakukan pemantauan.

 

Pesan-pesan Terpenting

Jelas, kedua pakar tersebut menyatakan bahwa keuangan berkelanjutan ini bukanlah tantangan yang mudah diselesaikan oleh Indonesia atau negara manapun.  Menyeimbangkan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang adalah keniscayaan, dan karena selama ini fokusnya kebanyakan hanya di jangka pendek, maka cakrawala waktu perlu ditarik jauh ke depan.  Ini bukanlah pekerjaan yang ringan.  Keniscayaan yang lain untuk hal itu adalah kerjasama erat antar-pemangku kepentingan keuangan berkelanjutan, bukan saja dengan pemangku kepentingan di dalam negeri, melainkan juga di tingkat regional dan global—mengingat asal kapital yang diinvestasikan di Indonesia adalah juga dari negeri-negeri lain.

Berbagi data adalah hal yang sangat ditekankan oleh Myriam dan Jan Willem.  Keduanya menyatakan bahwa baik untuk keperluan uji tuntas sebelum keputusan pembiayaan itu diambil, maupun untuk keperluan pemantauan, data yang sahih adalah esensial.  Data yang sahih juga yang bisa berperan penting dalam menyelesaikan berbagai konflik; sementara minimnya konflik adalah prasyarat agar operasi bisa berjalan lancar dan manfaat bagi seluruh pihak bisa dirasakan.

Konflik juga merupakan sumber dari permasalahan aset terdampar yang bakal membuat perusahaan dan lembaga jasa keuangan yang membiayainya terpapar pada risiko finansial.  Sehingga, penyelesaian konflik dengan cara-cara yang adil dan menjamin kedamaian yang hakiki sesungguhnya merupakan kepentingan seluruh pihak.  Kedua pakar menekankan bahwa Indonesia perlu memastikan bahwa kebun atau aset berharga perusahaan-perusahaan sektor apapun tidak menjadi terdampar dan muspra.  Oleh karenanya, isu ini perlu benar-benar dipahami untuk dihindari.

Terakhir, sangat jelas bahwa Myriam dan Jan Willem menempatkan SDGs dan Kesepakatan Paris sebagai aspirasi yang tepat untuk memandu keberlanjutan seluruh sektor, tak terkecuali sektor keuangan.  Jelas, keduanya itu tidaklah mudah dicapai, dan interpretasinya yang tepat secara lokal dan oleh masing-masing sektor juga masih perlu dibuat.  Jelas, bukan tugas yang mudah.  Tetapi, seperti kalimat terakhir yang dinyatakan oleh Jan Willem dalam presentasinya, “A long road to go, but there’s no alternative,” jalan itulah satu-satunya yang perlu ditempuh agar Indonesia menjadi lebih baik.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat

0 Pengikut

img-content

Wicked: Babak Ketiga dari Babad John Wick

Sabtu, 18 Mei 2019 15:15 WIB
img-content

Menebak Hasil Pilpres 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler