x

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (kiri) berbincang dengan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo seusai Rapat Koordinasi Program Penertiban Impor Beresiko Tinggi di Kantor Ditjen Bea Cukai, Jakarta, 12 Juli 2017. Tempo/Tony Hartawan

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Panggung Politik Buat Jenderal Santri

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo memang sedang menata panggung politiknya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo memang sedang menata panggung politiknya ditengah semakin dekatnya gelaran kontestasi politik nasional 2019 mendatang. Bukan hanya dari berbagai pernyataannya yang mengandung implikasi politik, karpet merah politik kekuasaan sudah sejak setahun lalu digelar teruntuk Jenderal TNI ini. Sulit untuk dipungkiri, Gatot juga mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan Islam, terutama pasca demonstrasi besar-besaran umat muslim di penghujung 2016 lalu. Safari “politik” kian digeber oleh Gatot mengunjungi para ulama dan pesantren sebagai upaya mencari dukungan bagi dirinya jika nanti menjadi kontestan di Pilpres 2019. Sinyal kuat dirinya telah sangat dirasakan, terutama dari dukungan terbuka berbagai ormas Islam yang mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang pro-Islam.

Tidak ada yang salah dengan suatu manuver politik, hanya saja disaat dirinya masih aktif menjabat sebagai Panglima TNI, upaya mencari dukungan pada akhirnya seringkali bias dan tumpang-tindih antara jabatannya di militer dengan upaya pencitraan dirinya di panggung politik. Kritik tentu saja mengalir, menyoal setiap manuvernya yang sulit dibedakan, manakah tugas panglima TNI dan manakah kegiatan yang sekadar menggalang dukungan politik. Kegiatan dirinya mengunjungi berbagai kampus dan pesantren dinilai tak sejalan dengan kapasitas dirinya sebagai Panglima TNI, alih-alih memperkuat citra TNI di masyarakat, malah dikritik sebagai upaya diam-diam membangun panggung politik bagi dirinya, memanfaatkan momentum politik yang belakangan kurang kondusif.

Kuat dugaan, bahwa apa yang selama ini dijalankan Gatot sangat terkait erat dengan upaya dirinya membangun kekuatan politik. Setelah dirinya mendapatkan angin segar dari berbagai kalangan Islam, prefrensi sebagai calon pemimpin semakin menguat ditengah-tengah umat. Dalam beberapa hal, Gatot sukses mendapat simpati kalangan Islam, sebagai “jenderal santri” yang dekat dengan kalangan pesantren dan ulama. Dukungan kepada Gatot sudah sangat dirasakan, terutama dari ungkapan berbagai pujian dari kalangan Islam yang sangat mengapresiasi keberadaan dirinya. Lihat saja, ketika aksi umat muslim dikaitkan dengan isu kudeta, Jenderal Gatot merasa tersinggung dan menepis anggapan banyak orang soal isu kudeta yang digalang melalui serangkaian aksi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun beragam hasil survei masih menempatkan Gatot sebagai sosok yang kurang dikenal dibandingkan Jokowi maupun Prabowo, namun elektabilitas bukanlah segalanya yang akan menentukan mengan-kalahnya seorang kandidat dalam sebuah kontestasi. Apalagi survei masih terlalu dini diolah, masih memiliki rentang cukup panjang bagi kans Gatot untuk meraup dukungan masyarakat di Pilpres 2019 mendatang. Asumsi saya, Gatot akan lebih cerdas memainkan isu-isu penting seputar umat Islam, yang belakangan dinilai oleh sebagian kalangan bahwa umat muslim dalam posisi terpinggirkan dari panggung politik. Citra “jenderal santri” yang melakat pada diri Gatot adalah sebuah modal politik dirinya untuk bisa masuk bursa capres atau cawapres dua tahun kedepan.

Saya beranggapan, isu agama masih menjadi tren dalam setiap kontestasi politik di level manapun, terlebih pada gelaran kontestasi politik nasional. Sisa-sisa pergumulan umat muslim dengan politik kekuasaan sejak 2016, bisa jadi semakin menguat, terlebih Gatot mampu menangkap sinyal politik ini sebagai “kesempatan” terbaik dirinya mendapatkan dukungan mayoritas umat muslim Indonesia. Siapa lagi selain Gatot? Yang dicitrakan sebagai “jenderal santri” yang muslim? Dekat dengan kalangan ulama dan pesantren? Citra diri Prabowo-pun ketika dihadapkan dengan berbagai kalangan Islam, nampaknya tak sekuat citra Gatot yang lebih dahulu dicap sebagai “TNI hijau” karena kedekatan dirinya yang lekat dengan kalangan Islam.

Memang, tak ada yang salah bagi seseorang yang mampu membaca kesempatan politik kemudian terus memperkuat citra dirinya. Siapapun, dari kalangan manapun, mempunyai kesempatan yang sama dalam hal keterlibatannya dalam dunia politik. Apalagi Jenderal Gatot, yang notabene memiliki karir moncer dalam TNI ditambah track record dirinya yang dinilai bersih tanpa suatu “cacat politik” apapun. Dibandingkan Jenderal Prabowo, Gatot tak memiliki dosa masa lalu yang bisa saja menghambat dirinya dalam prosesi gelaran kontestasi. Inilah barangkali modal politik yang secara sadar dipelihara dan dimanfaatkan Gatot sebagai prasarana untuk mempertegas panggung politik dirinya menuju kontestasi politik 2019 mendatang.

Kekhawatiran sebagian kalangan akan “hegemoni” militer dalam kekuasaan politik saya kira sudah tak berlaku lagi saat ini. Terbukti bahwa sekian lama pemerintahan yang didominasi sipil tak juga menunjukkan stabilitas sosial-politik, malah seringkali instabilitas. Berbagai kerusuhan sosial, demonstrasi, pertentangan antarkelompok dan yang paling mengerikan adalah persentase ujaran kebencian di media sosial justru semakin marak. Kita tak bisa menutup mata soal berbagai fenomena yang kurang kondusif menghambat laju stabilitas ekonomi-politik yang tentu saja berdampak terhadap iklim kondusivitas berbangsa dan bernegara. Alasan-alasan inilah barangkali, yang memperkuat peran dan posisi militer agar kembali aktif menyelesaikan berbagai kondisi instabilitas dalam masyarakat. Diakui ataupun tidak, masyarakat secara tidak langsung telah memberikan panggung politik kepada militer melalui dukungan terhadap Jenderal Gatot Nurmantyo.

Lagi-lagi, Jenderal TNI kelahiran Tegal ini benar-benar cerdas dalam memanfaatkan situasi politik ditengah mengendurnya ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan yang berjalan. Setiap kritik yang dilontarkan kepadanya, semakin kokoh dirinya melakukan atraksi politik melalui panggung-panggung yang dibangunnya. Tak ada yang mampu mengendurkan semangat politiknya untuk merebut berbagai simpati masyarakat, karena Gatot sadar penuh, bahwa dirinya merasa terpanggil untuk menjadi bagian dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan negara. Sudah menjadi “kredo” militer, bahwa setiap terendus adanya ancaman bagi nusa bangsanya, tak ada kata mundur bagi seorang prajurit, untuk menghalau setiap “gangguan” yang akan merusak citra bangsanya ini. Jenderal santri tak akan berhenti, terus membangun dan memperkokoh citra politiknya, tak peduli walaupun berbagai kritik berupaya menjegalnya.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB