x

Polisi menjaga sejumlah demonstran dalam menggelar aksi damai, mengutuk penganiyaan yang di dapat oleh Muslim Minoritas Rohingya Myanmar, di depan Kedutaan Besar Myanmar di Tokyo, Jepang, 8 September 2017. REUTERS

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aksi 299 dan Panggung Politik Kaum 'Radikalis'

Memberikan kesan “radikalis” kepada beberapa kelompok masyarakat harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena salah-salah kita bisa dilabeli radikal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penguatan radikalisme agama seakan menemukan momentumnya pasca reformasi 1998. Mereka terus tumbuh dan menguat, beriringan dengan geliat promosi radikal di media sosial yang mengkristal. Era keterbukaan informasi yang ditangkap oleh masyarakat sebagai saluran kebebasan berpendapat dan berekspresi, sepertinya benar-benar dimanfaatkan menumbuhkan ide-ide radikalisme. Penelitian yang dilakukan Wahid Foundation bersama Lingkar Survei Indonesia pada 2016 menyebutkan, 11 dari 150 juta penduduk muslim Indonesia siap melakukan tindakan radikal. Hal ini diperkuat oleh hasil survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa 26  persen pelajar dan mahasiswa setuju dengan jihad menggunakan cara kekerasan.

Memberikan kesan “radikalis” kepada beberapa kelompok masyarakat memang harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena salah-salah kita bisa dilabeli sebagai “radikal” oleh kelompok radikalis sendiri. Membaca sebuah penelitian Greg Fealy dalam Jurnal Southeast Asian Affairs terbitan tahun 2004 soal isu kebangkitan Islam “radikal” di Indonesia memang cukup menarik. Fealy bahkan “meragukan” soal isu ini karena seperti ada kebimbangan (faltering) dari sebuah kebangkitan radikalisme di negeri ini. Karena bisa saja, hari ini seseorang menjadi sangat radikal, besoknya malah terlihat sangat moderat. Namun yang pasti, panggung politik kelompok-kelompok Islam “radikal” menemukan momentumnya belakangan, dengan tentunya mempertajam soal isu-isu politik yang sengaja dipertentangkan dengan kekuasaan.

Fealy dalam laporannya menyatakan, bangkitnya radikalisme agama belakangan tidak saja menjadi label bagi berbagai kelompok Islam militan, tetapi “radikal” seringkali disematkan pada mereka yang secara terang-terangan menolak atau mengancam atas berbagai rentetan fenomena sosial-politik yang terjadi. Fealy kemudian membagi fenomena kelompok Islam “radikal” kedalam dua bentuk, pertama mereka yang secara gigih memperjuangkan apapun yang secara “tekstual” ada dalam kitab suci Al-Quran dan Sunnah Nabi agar bisa diimplementasikan kedalam tataran formalitas negara tanpa kompromi, dan kedua, mereka yang cenderung bersikap reaktif terhadap banyak hal melalui ungkapan bahasa, ide-ide, atau menggunakan cara kekerasan untuk menghalau segala sesuatu yang dianggap “bertentangan” dengan mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat perjalanan kondisi bangsa ini, terutama pasca reformasi, memang tampak secara jelas bahwa fenomena radikalisme tampak menguat, terutama dalam bentuk kedua sebagaimana laporan Fealy. Kecenderungan sikap reaktif masyarakat bahkan sudah dirasakan jika terdapat hal-hal yang menurut mereka “berlawanan” dengan konsep yang mereka usung selama ini. Bagi saya, kelompok “radikal” nampaknya sedang menikmati panggung politiknya secara berangsur, tepat setelah naiknya Joko Widodo menjadi presiden sejak 2014. Sikap reaktif kelompok “radikal” sepertinya tumpah ruah di lini media sosial, mempertontonkan ketidaksetujuan bahkan kebencian yang selalu dialamatkan kepada pihak lain yang dianggap tak sejalan dengan ideologi mereka.

Menyebut Aksi 299 yang saat ini berlangsung, tak berlebihan jika saya sebuat sebagai panggung politik kaum Islam “radikal” jika dihadapkan oleh kondisi penolakan ormas Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah yang menolak mengikuti aksi ini. Selama ini, NU dan Muhammadiyah disebut sebagai ormas Islam terbesar yang tentu saja moderat, sehingga penolakannya secara resmi terhadap aksi ini, berarti penolakan terhadap berbagai implikasi radikalisme. Diakui maupun tidak, aksi 299 juga ditolak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah organisasi “semi” negara yang justru didalamnya mengakomodir seluruh ormas Islam. Jika MUI saja sebagai wadah seluruh ormas Islam menolak, lalu siapa yang memaksakan untuk tetap melakukan aksi?

Memang, tanpa disadari, seseorang bisa menjadi “radikalis” karena dibentuk oleh berbagai asupan informasi yang terus menerus mempertentangkan agama dengan politik-kekuasaan. Semangat keagamaan kemudian ditularkan secara “parsial” dibungkus dengan berbagai kesan politis yang menunjukkan perjuangan agama. Mereka rela menjadi para “jihadis” dengan semangat keagamaan yang menggebu walaupun secara “isi” mereka miskin konsepsi bahkan tak tau seluk beluk nilai-nilai moralitas agama yang semestinya bisa mengisi setiap kehidupan sosial-politik. Sikap reaktif secara berlebihan para kelompok “radikalis” terus ditularkan kepada para generasi mudanya, sehingga wajar, ketika kaum radikal justru dominan diinisiasi oleh kalangan yang relatif berusia muda.

Menjadi radikalis bagi saya justru berbahaya, karena akan lebih mudah diarahkan berprilaku ekstrim yang jika tak disadarkan berujung pada tindakan “kekerasan” bahkan terorisme. Mereka yang berusia muda kemudian menjadi ekstimis-teroris justru marak belakangan ini dan yang lebih mengkhawatirkan justru kecenderungan radikalisme tumbuh diantara para pelajar atau mahasiswa yang minim pengetahuan agama. Bagi saya, agama justru dapat menangkal radikalisme jika dipahami dan dihayati secara baik dalam kehidupan sosial-politik. Namun, cara pandang yang salah terhadap agama, terlebih sekadar dipergunakan bak “kaca mata kuda” dengan klaim atas suatu kebenaran sendiri, akan semakin menumbuhsuburkan sikap radikalisme.

Kita tentu dapat melihat, kemana arah Aksi 299 yang disebut-sebut mengusung isu soal penolakan Perpu Ormas dan kebangkitan PKI. Sikap reaktif mereka yang dibahasakan melalui media poster atau spanduk, bahkan membentangkan bendera sebagai “simbolisasi politik” menunjukkan penolakan mereka sekaligus kecaman terhadap penguasa yang menurut mereka tak sejalan. Bagi mereka, fenomena sekularisasi yang merusak (corrosivaly secular), materialistik, dan kekuatan-kekuatan “penentang Tuhan” sengaja diberangus dengan alasan tak selaras dengan cita-cita dan tujuan politik mereka. Disinilah barangkali, sebuah panggung politik bagi kaum Islam “radikal” semakin menemukan momentumnya, bergerak, menggulirkan isu, dan mencoba merebut simpati masyarakat melalui berbagai propaganda yang mengatasnamakan perjuangan agama.            

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler