x

Suasana pelantiakan 12 menteri dan Kepala BKPM di Istana Negara, 27 Juli 2016. Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan susunan menteri-menteri barunya dalam kabinet kerja periode 2014-2019. Tempo/ Aditia Noviansyah

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gaduh Menteri Era Jokowi

Sudah menjadi hal wajar, bahwa menteri-menteri era Jokowi seringkali “memanas” dan tentu saja berpotensi membuat gaduh

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah menjadi hal wajar, bahwa menteri-menteri era Jokowi seringkali “memanas” dan tentu saja berpotensi membuat gaduh. Hal ini disebabkan, bahwa komposisi menteri kurang berimbang antara mereka yang berlatar belakang profesional dan yang sekadar mengakomodasi kekuatan partai politik. Padahal, kampanye Jokowi ketika Pilpres 2014, jelas menyuarakan soal postur kementrian yang lebih banyak diisi oleh kalangan profesional, tak jauh beda dengan masa pemerintahan SBY yang komposisi para pembantunya kental nuansa “akomodatif politik” dibanding latar belakang profesionalitasnya. Kekuatan politik “penekan” tampaknya lebih banyak dirasakan sebagai “penentu” soal siapa-siapa yang berhak mengisi jabatan politis dalam kekuasaan.

Sejak 2015 yang lalu, kegaduhan para pembantu Presiden Jokowi sudah seringkali terjadi, entah itu karena beda pandangan politik atau sekadar berebut pencitraan di tengah terkotak-kotaknya dukungan publik terhadap pemerintah. Saya jadi teringat pernyataan Bagir Manan, “Di negeri yang demokrasinya sudah maju, rakyat membuat kegaduhan. Pemerintah menentramkan. Di Indonesia, pemerintah menjadi sumber kegaduhan. Media disalahkan, padahal cuma melaporkan”. Ungkapan ini paling tidak menjelaskan, umumnya kegaduhan itu muncul dari publik, tetapi bisa reda oleh campur tangan pemerintah. Lalu, persoalannya, jika kegaduhan itu muncul dari dalam tubuh pemerintah sendiri, siapa yang mampu menetralkan?

Jadi, ketika Presiden Jokowi menginstruksikan kepada seluruh jajaran kabinetnya agar jangan berbuat gaduh, kontroversi, membuat masyarakat khawatir dan bingung serta menciptakan suasana yang lebih kondusif, tak perlu lagi dianalisa secara semiotik, apalagi dikaitkan dengan nuansa politik, karena bagi saya kondisi gaduh sudah “mafhum” karena memang sudah biasa terjadi. Dulu, ketika Jokowi mengajukan calon tunggal kapolri, Komjen Budi Gunawan (BG) ke DPR, kegaduhan menyeruak di tengah publik, karena BG disebut-sebut terlibat dalam kasus rekening gendut. Kegaduhan soal BG cukup lama membuat gonjang-ganjing dunia politik Tanah Air, hingga mereda setelah Presiden Jokowi mengusulkan nama Jenderal Badrodin Haiti dan diangkat menjadi Kapolri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegaduhan yang paling ramai justru bergulir pasca reshuffle kabinet jilid pertama, dimana mentri “kontroversial” Rizal Ramli mengkritik berbagai menteri lain soal kebijakan-kebijakan yang dianggap “tak merakyat”, seperti soal pembelian 30 unit pesawat Airbush 350 oleh Menteri BUMN Rini Soewandi dan evaluasi soal pengadaan listrik 35.000 Megawatt oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Secara terang-terangan Rizal Ramli akan menggunakan jurus “Rajawali Ngepret” untuk “menyentil” para penguasa yang membuat kebijakan-kebijakan tidak pro rakyat. Tak tanggung-tanggung, “kepretan” Rizal Ramli bahkan menyasar Dirut BUMN, Pelindo, RJ Lino yang keduanya bersilang pendapat soal dwelling time di pelabuhan. Masa kepemimpinan Menko Kemaritiman dibawah Rizal Ramli tampak lebih gaduh, hingga kemudian Presiden Jokowi lagi-lagi “mereshuffle” kabinetnya.

Tak heran dengan kegaduhan di tubuh pemerintahan Jokowi, karena selama dua tahun pemerintahannya, Presiden Jokowi sudah tiga kali melakukan reshuffle kabinet. Barangkali, sebentar lagi akan ada reshuffle jilid empat, mengingat kegaduhan tak juga kunjung reda walaupun sudah berkali-kali diperingatkan Presiden. Isu soal senjata ilegal yang dilontarkan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, seakan semakin meningkatkan eskalasi kegaduhan, karena bukan lagi soal impor senjata yang dipersoalkan, tetapi melebar menjadi isu politik yang menempatkan Gatot sebagai “aktor utama” dalam kontestasi politik jelang pilpres 2019 mendatang. Gatot dianggap banyak pihak sedang melakukan pencitraan melalui berbagai isu kontroversialnya yang dilempar ke publik.

Kasus terkuaknya isu senjata ilegal yang diimpor oleh instansi selain TNI tanpa melalui prosedur belakangan malah semakin menjadi-jadi, ibarat gayung bersambut membuat setiap kementrian terkait justru “gaduh” dan saling melempar tanggung jawab. Pihak TNI menyatakan bahwa keberadaan senjata-senjata itu ilegal, maka Bea Cukai dan TNI menyandera ribuan amunisi dan ratusan pucuk senjata api ini di gudang Unex, area Bandara Soekarno-Hatta. Isu keberadaan senjata ilegal ini jelas terkait dengan pernyataan Panglima TNI sebelumnya, yang justru terbukti kebenarannya, walaupun oleh sebagian kalangan dituduh sebagai upaya manuver politik jelang pilpres 2019. Publik menunggu, bagaimana cara Presiden Jokowi meredam setiap kegaduhan, apakah melalui metode “bongkar-pasang” pejabat kementrian ataukah cukup berpidato saja.

Jika kegaduhan para Pembantu Presiden terkait isu-isu kebijakan publik, nampaknya lebih mudah mereda melalui campur tangan Presiden dengan mengganti para menterinya yang dianggap bermasalah, namun, isu senjata tampaknya tak bisa dianggap main-main, terlebih berkaitan dengan situasi keamanan negara. Presiden nampaknya hanya melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak terkait soal isu ini dan menjalankan serangkaian pertemuan kabinet tidak menyentuh pada aspek kebijakan politik apapun, selain intruksi dirinya agar para bawahannya tidak berbuat gaduh. Terlepas dari adanya “kepentingan bisnis” soal isu pembelian senjata ini, namun lagi-lagi, isu senjata merupakan isu paling krusial yang tak bisa hanya diselesaikan oleh kebijakan “ganti menteri”. Presiden Jokowi nampak sangat berhati-hati “meredakan” kegaduhan soal isu senjata ini, cenderung membiarkan institusi terkait menyelesaikan masalahnya sendiri.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa era Presiden Jokowi adalah era kegaduhan yang berasal dari dalam kabinetnya sendiri. Maju mundurnya sebuah sistem demokrasi, barangkali dapat diukur melalui tingkat stabilitas pemerintahannya yang fokus dalam setiap pekerjaannya sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing. Alih-alih fokus terhadap kerja dan kerja, Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK malah terjerembab menjadi “kabinet gaduh” yang tak pernah sepi dari beragam konflik dan kontroversi yang muncul dari masing-masing individu menterinya. Entah apa karena mereka kurang “profesional” atau karena ada tarik-menarik berbagai kepentingan politik di dalamnya. Saya kira, bekerja dalam suasana kegaduhan, tentu saja akan sulit fokus, bahkan yang terjadi malah polarisasi kepentingan, kubu-kubuan yang tak mungkin mewujud dalam suasana kerja yang baik dan profesional. Jadi, jika Presiden ingin para menterinya fokus bekerja, selesaikan secara arif berbagai kegaduhan yang ada, jangan ditunda-tunda.    

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler