x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PKL, Militer, dan Ruang Publik Kota Bandung

Pendisiplinan warga oleh penguasa (kota) akan selalu melibatkan militer dan para-militer dengan dalih pengamanan warga sipil dan kelancaran pembangunan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sumber foto: Diambil di Jalan Dalem Kaum (Alun-Alun Bandung) pasca bentrok penggusuran PKL (2 Juli 2016) oleh Frans Ari Prasetyo

Kawasan Alun-Alun kota Bandung termasuk kawasan perniagaan yang selalu ramai dikunjungi warga pada hari-hari biasa. Apalagi menjelang Hari Raya seperti Idul Fitri seperti tahun ini. Mulai dengan urusan piknik ‘ngabuburit’ menjelang waktu berbuka puasa, wisata religius di kawasan Masjid Agung, hingga wisata belanja di kawasan Dalem Kaum dan Kings.

Aktivitas keramaian publik di ruang publik ini, tentu juga menghadirkan para penyedia jasa dan barang secara formal-informal. Dan hal tersebut telah berlangsung di kota Bandung sejak keberadaan Alun-Alun dan kawasan belanja Dalem Kaum-Kings. Tentu kawasan ini menjadi lokasi strategis untuk putaran roda ekonomi formal dan informal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Celah ekonomi informal dimanfaatkan PKL (Pedagang Kaki Lima) untuk melayani pengunjung, pembeli, dan para window-shoping kelas kaki-lima. Keberadaan PKL menjadi eskalasi ‘lumrah’ di hampir semua kawasan perniagaan dan kawasan hiburan di Indonesia, tidak terkecuali di kota Bandung.Keberadaan PKL di kota Bandung membantu masyarakat kelas ekonomi tertentu untuk bisa menikmati akses dan euforia konsumsi. Juga memberikan kontribusi ekonomi mikro grassroot yang secara langsung maupun tidak langsung juga berkontribusi kepada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sama dengan kontribusi toko-toko perniagaan lain yang berada di mall-mall megah.

Tahun 2009, BPS mencatat pelaku ekonomi mikro ada 98.9% di seluruh Indonesia, termasuk di dalamnya berada di kota Bandung. Pelaku ekonomi menengah + kecil + mikro ini ada sekitar 96 juta orang. Di antara mereka banyak PKL. Tidak peduli memiliki KTP mana, berjualan di mana, mereka adalah warga negara Indonesia—warga kota yang berjuang hidup tanpa meminta-minta pada negara. Tidak bergantung pada aparatus negara termasuk yang berada di level administrasi kota, tidak terkecuali kota Bandung.

Namun di sisi lain, keberadaan PKL menjadi laten karena  mengganggu kepentingan kekuasaan. Kelas masyarakat kelas lainnya menganggap bahwa PKL adalah citra buruk modernitas kota. Kepentingan kekuasaan ini mendorong PKL akan selalu menjadi ‘musuh’ pembangunan.

Begitu penting peran PKL dalam formasi ekonomi negara dan kabupaten/kota, mendorong terbitnya beragam-macam peraturan terkait PKL. Mulai dari level pusat seperti Peraturan Presiden No.125/2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, Permendagri No.41/2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Hingga peraturan daerah seperti pada kota Bandung melalui Perda K3 No 11/2005 mengenai PKL  Pasal 49 ayat (1), lalu Perda No. 4/2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima yang didukung oleh Undang Undang 26/2007 Pasal 28.

Dampak dari peraturan-peraturan ini adalah pemberlakuan sistem zonasi bagi PKL. Pemberlakuan sistem denda setinggi-tingginya 1 juta rupiah bagi pembeli dan pedagang yang berjualan atau melakukan transaksi di zona larangan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Kota Bandung sejak Februari 2014. Ini menjadi sinyal bahwa PKL termasuk pembelinya yang notabene masyarakat berpenghasilan rendah merupakan agensi yang harus dimusuhi secara struktural melalui kacamata hukum dan kekuasaan.

Penertiban dan penggusuran PKL di Alun-Alun kota Bandung adalah salah satu contoh dari pola pendisiplinan warga oleh kekuasaan melalui perpanjangan tangannya, yaitu satpol PP. Hal yang sama juga terjadi di mana-mana di Bandung, sepanjang ada PKL yang menurut versi kekuasaan melanggar peraturan. Namun mesti diingat pula, terkadang kekuasaan ini melakukan tebang pilih, tajam kepada PKL rendahan seperti yang terjadi di Alun-Alun tapi tumpul kepada PKL elite yang menggunakan mobil-mobil untuk berjualan meskipun nyata-nyata melanggar peraturan juga.

Penertiban dan penggusuran PKL di Alun-Alun dan Jalan Dalem Kaum kota Bandung kembali terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri ini. Para PKL mendatangi Kantor Satpol PP menuntut agar diperbolehkan berjualan. Para PKL kesal lantaran kerap digusur dan barang-barang jualannya disita. Pada hari yang sama PKL kemudian menyerang Posko Satpol PP di Jalan Dalem Kaum yang dipenuhi orang-orang piknik dan berbelanja. Suasana sempat mencekam karena kericuhan tersebut.

Akibat kericuhan yang terjadi, diturunkan personel pengamanan dari militer. TNI 60 orang, Kodim 10 orang, Denpom 6 orang, Dinas Perhubungan 1 regu, Satpol PP 250 orang, dan Linmas 100 orang. Apakah Satpol PP dan Linmas saja tidak cukup hingga memerlukan militer lengkap dengan atribut dan persenjataan laras panjang seperti akan maju ke medan perang? Apakah ruang publik sipil telah menjadi arena pertempuran bagi mereka padahal publik tidak bersenjata? Apakah PKL begitu berbahaya dan mengancam negara, sehingga perlu militer untuk menanganinya.

Sebelum kejadian di Dalem Kaum dan Alun-Alun Bandung ini, penertiban dan penggusuran PKL juga terjadi dengan menggunakan militer di Lapangan Gasibu pada awal-awal periode kepemimpinan Ridwan Kamil. Beberapa tempat juga menggunakan militer sebagai wujud arogansi pendisiplinan publik dan PKL.

Sejak kapan militer boleh mengurus warga sipil di ruang publik, di pusat perbelanjaan, di pusat tempat piknik kota Bandung? Keberadaan militer seharusnya berfokus pada permasalahan pertahanan negara saja. Militer tidak boleh ikut campur atau masuk ke dalam permasalahan yang menjadi wewenang ranah sipil, baik bidang politik, sosial, budaya, dan bidang lainnya.

Penguasa kota Bandung telah melakukan skema penanganan dan pendisiplinan kota dengan cara militeristik, terutama kepada PKL. Maka di sini militer telah menyalahiraison d ètre dari militer yang dilatih, dididik, dan dipersiapkan untuk melawan musuh dalam peperangan, bukan melawan rakyatnya sendiri di ruang publik terbuka seperti yang dilakukan di alun-alun dan Jalan Dalem Kaum di Kota Bandung.

Hal ini merupakan kemunduran demokrasi bagi proses reformasi yang telah jelas mengatakan bahwa peran TNI sebagai alat pertahanan sudah dipisahkan sesuai dengan TAP MPR No VII/2000. Indikasi bangkitnya kembali militerisme dan politik orde baru jelas nyata di kota Bandung dengan cara melakukan kerja militeristik yang didukung oleh legitimasi penguasa kota terhadap PKL.

Selain itu, militer juga telah melakukan intimidasi (visual) berupa atribut seragam perang lengkap dengan senjata laras yang tidak pantas untuk berada dan diperlihatkan di muka publik, terhadap PKL khususnya dan publik umumnya di ruang publik. Militer harus kembali ke barak. Tolak militerisme di ruang-ruang publik (kota). Kota dan ruang publik bukan medan tempur militer, tetapi ruang hidup bersama, di mana hak warga kota yang menjadi pijakan utamanya.

Artikel ini pertama kali terbit, 3 July 2016

http://membunuhindonesia.net/2016/07/pkl-militer-dan-ruang-publik-kota-bandung/

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler