x

Seorang penggemar Harry Potter menunjukkan ratusan koleksinya yang bertema Harry Potter di rumahnya, di Neath, Inggris, 9 Februari 2017. Harry Potter tak hanya laris dalam bentuk buku, delapan seri filmnya pun selalu menjadi box office. REUTERS/Neil

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ekosistem Perbukuan yang Membeku

Hingga kini, tidak ada politik pengetahuan yang berpihak pada perbaikan ekosistem perbukuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berapa judul buku yang diproduksi dan diterbitkan di Indonesia saat ini? Tidak mudah mendapatkan data tentang hal ini. Dalam situs web IKAPI disebutkan bahwa kira-kira ada lebih dari 30 ribu judul buku diterbitkan setiap tahun (data tahun 2015). Disebutkan pula, angka ini hanya menggambarkan judul yang terdaftar dalam catatan resmi toko buku dan pengajuan ISBN di Perpusnas serta tidak termasuk buku yang diterbitkan individu (self-publishing) atau organisasi non-penerbit, seperti instansi pemerintah, organisasi non-pemerintah, komunitas independen, partai politik, dan asosiasi profesi.

Agaknya, IKAPI belum memiliki data yang pasti akurat mengenai jumlah judul buku yang terbit dari tahun ke tahun. Sedangkan bila mengacu pada pendaftaran ISBN di Perpustakaan Nasional, seperti dikutip situs IKAPI, jumlah judul terbit mencapai 36.624 judul (2013) dan 44.327 judul (2014). Sayangnya, jumlah ISBN yang terdaftar tidak mencerminkan judul buku yang terbit, sebab mungkin saja judul buku sudah didaftarkan untuk memperoleh ISBN, namun batal terbit. Jadi, angka riil jumlah judul yang terbit niscaya lebih rendah dari itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktor apa yang menyebabkan industri perbukuan di tanah air bagai jalan di tempat? Ada yang menyebut minat baca rendah, daya beli juga rendah, buku bukan prioritas kebutuhan keluarga, honor penulis rendah sehingga orang kurang giat menulis buku, penerbit terbebani oleh pengeluaran-pengeluaran yang menekan marjin, dan banyak lagi. Semua faktor pengaruh itu niscaya sudah disebut-sebut selama bertahun-tahun. Semua itu cerita lama yang diulang-ulang.

Sepanjang ekosistem industri perbukuan tidak diperbaiki, sepanjang itu pula dunia perbukuan kita jalan di tempat. Perbaikan ekosistem perbukuan tidak bisa parsial, melainkan pertama-tama dan terutama mesti ada perombakan kebijakan perbukuan yang fundamental, seperti memperlakukan pelaku industri perbukuan berbeda dari industri lain yang mudah mendatangkan penghasilan.

Buku bukanlah ‘barang’ konsumsi habis pakai seperti sabun, minuman, makanan, bukan pula ‘barang mewah’ seperti Bentley atau BMW, juga bukan produk properti yang harganya cenderung terus-menerus naik. Jika buku terpaksa dikategorikan sebagai barang, maka buku adalah ‘produk konsumsi intelektual dan batin’. Menulis naskah buku, menerbitkan buku, mengedarkan dan menjual buku, hingga membaca dan menyimpan buku adalah bagian dari aktivitas meningkatkan konsumsi intelektual dan batiniah. Jadi keliru bila memerlakukan industri buku sama persis dengan industri lain.

Apa yang berlangsung puluhan tahun dan dialami ekosistem perbukuan di tanah air ialah tiadanya kemauan untuk sungguh-sungguh berubah. Tidak ada ‘politik pengetahuan’ yang meletakkan menulis, menerbitkan, mengedarkan, dan membaca buku sebagai bagian dari aktivitas membangun budaya kita. Kegiatan menerbitkan buku pada awalnya lebih dilandasi oleh semangat semacam itu, tapi dibutuhkan dorongan lebih besar agar produksi buku meningkat tajam dan diserap oleh masyarakat.

Bila buku dianggap nomor sekian di belakang pendirian mal, gedung parlemen, jalan tol yang panjangnya ratusan kilometer, kereta super cepat, dan seterusnya, sampai kapanpun—10 tahun lagi, atau malah lebih—keluhan menngenai ekosistem perbukuan akan tetap sama seperti 10-20 tahun yang silam. Mengapa tidak ada ikhtiar untuk membangun perpustakaan publik yang membuat orang tergerak mendatanginya? Dan bukan sibuk merenovasi gedung dan ruang rapat yang sebenarnya masih bagus?

Mengapa tidak ada upaya besar-besaran untuk menerjemahkan buku ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya, seperti pernah digaungkan Sutan Takdir Alisjahbana berpuluh tahun yang silam? Mengapa tidak ada kebijakan untuk memfasilitasi akademisi dan peneliti menulis tanpa disibukkan memikirkan urusan dapur? Mengapa tidak ada strategi yang jelas dan terukur untuk meningkatkan produksi buku per kapita dengan harga yang terjangkau masyarakat luas? Banyaknya dana yang mengalir ke tempat-tempat mubazir semakin memperlihatkan bahwa ‘politik pengetahuan’ kita, khususnya terkait ekosistem perbukuan, belum juga berubah.

Penerbit sudah berusaha, penulis juga sudah mencurahkan energinya, tapi dorongan lebih besar diperlukan dari pemerintah dan parlemen yang sudah diamanahi rakyat untuk mengurus negeri ini. Diperlukan ‘politik pengetahuan’ yang memandang ekosistem perbukuan sebagai bagian yang sangat penting dari upaya membangun masyarakat masa depan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu