x

Iklan

Agus Budi Purwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Desa untuk Perhutanan Sosial

Muara tiga strategi tersebut adalah menjadikan pemerintah desa dan desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Agus Budi Purwanto

Pegiat Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam

R. Yando Zakaria

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria

 

Presiden Joko Widodo telah menetapkan reforma agraria sebagai program prioritasnya sejak tahun lalu. Ini termasuk program perhutanan sosial, yang mengalokasikan sumber daya hutan yang dikuasai negara kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Namun pencapaian program itu kini belum juga beringsut secara signifikan. Meski sudah ada pola baru, per akhir September 2017, realisasi izin hanya seluas 605.373,26 hektare (Kantor Staf Presiden, Oktober 2017).

Di samping menghadapi kendala dari atas, terutama birokrasi perizinan yang panjang dan keterbatasan dana, program perhutanan sosial menghadapi kendala dari bawah. Sedikit sekali kelompok masyarakat yang mampu dan siap mengajukan permohonan sebagai penyelenggara salah satu skema perhutanan sosial itu.

Itu semua terjadi, antara lain, karena kurangnya sosialisasi kebijakan perhutanan sosial di level desa maupun kabupaten. Padahal keterbatasan anggaran di tingkat pusat dapat diatasi dengan optimalisasi sumber daya yang ada pada pemerintah kabupaten dan desa. Ke depan, untuk mempercepat realisasi target, peran pemerintah kabupaten dan desa perlu dioptimalkan.

Kita bisa melihat pada kasus Merangin. Di Kabupaten Merangin, Jambi, terdapat 205 desa yang dihuni 365 ribu jiwa. Di antaranya terdapat 17 desa sebagai penyelenggara program perhutanan sosial dengan luas 45 ribu hektare. Ini angka tertinggi di Jambi. Maka dapat dimaklumi jika, pada 2014, Kabupaten Merangin memperoleh indeks tertinggi tata kelola hutan se-Provinsi Jambi.

Tapi desa-desa itu menghadapi sejumlah permasalahan yang, jika tidak diatasi, dapat menghambat pencapaian tujuan program. Contohnya, hutan desa dan hutan adat di Kecamatan Muara Siau dan Pangkalan Jambu masih belum dapat beroperasi penuh karena belum keluarnya izin usaha pengelolaan hutan desa (IUPHD).

Selain itu, belum optimalnya rencana pengelolaan potensi hutan desa dan adat. Potensi buah kepayang (Pangium edule), misalnya, belum dimaksimalkan pengolahannya. Padahal buah ini dapat diolah menjadi minyak zaitun yang bermanfaat bagi perkembangan otak anak.

Ada tiga strategi yang dapat dijalankan untuk memperkuat inisiatif perhutanan sosial. Pertama, mengintegrasikan pengelolaan hutan desa dan hutan adat ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Kedua, mengoptimalkan pengolahan potensi yang ada menjadi produk yang memiliki nilai jual (seperti kasus buah kepayang, kopi, dan jahe). Ketiga, restorasi lahan.

Muara tiga strategi tersebut adalah menjadikan pemerintah desa dan desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Ini termasuk upaya untuk menyelamatkan lingkungan. Dengan begitu, pengembangan perhutanan sosial di Kabupaten Merangin merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat desa. Perhutanan sosial juga dapat dimasukkan ke dalam prioritas pembangunan dan berbagai dokumen anggaran di tingkat desa.

Strategi kerja ini sesuai dengan Peraturan Menteri Desa Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pembangunan Desa. Di situ disebutkan tentang pengembangan ekonomi lokal desa dan pemanfaatan sumber daya alam serta lingkungan desa.

Bahkan Peraturan Menteri Desa Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018, yang baru saja ditandatangani pada 22 September 2017, juga mendukung. Peraturan itu menggariskan bahwa salah satu prioritasnya adalah hutan desa dan hutan sosial. Ini juga dapat dikembangkan oleh badan usaha milik desa. Artinya, desa sangat berpeluang menjadi garda terdepan dalam pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan melalui perhutanan sosial.

Masalahnya, masih ada keragu-raguan pemerintah desa dan masyarakat untuk memanfaatkan peluang ini. Mereka belum melihat hutan sebagai aset desa. Ini merupakan buah dari pemisahan antara desa dan hutan yang terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Rendahnya kapasitas masyarakat dan pemerintah desa dalam hal perencanaan juga masih menjadi persoalan serius. Maka, pemerintah kabupaten harus turun tangan agar desa mampu mengelola hutan.

Undang-Undang Desa menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota wajib membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa, termasuk dalam mempercepat pembangunan perdesaan. Program perhutanan sosial jelas merupakan bagian dari pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Jadi, bupati atau wali kota tak perlu ragu untuk turut mendukung lancarnya program perhutanan sosial ini. Dukungan itu dapat berupa kebijakan yang mengarahkan penggunaan sumber daya pemerintah kabupaten, termasuk pengerahan birokrasi dan keuangan daerah. Dengan peran pemerintah desa dan kabupaten, maka upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi desa dan melestarikan hutan dapat segera terwujud. Beban pemerintah pusat untuk merealisasikan program perhutanan sosial pun dapat dikurangi.

Ikuti tulisan menarik Agus Budi Purwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler