x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masalah Pencabutan Moratorium Reklamasi ~ Tigor Hutapea

Tampaknya ada alasan lain sehingga Luhut perlu secepatnya mencabut moratorium reklamasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tigor Hutapea

Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Luhut Binsar Pandjaitan mencabut penghentian sementara (moratorium) proyek reklamasi Teluk Jakarta melalui surat nomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017. Pencabutan moratorium itu dilakukan Menteri Koordinator Kemaritiman atas permohonan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat untuk meninjau kembali moratorium reklamasi. Gubernur DKI dua kali mengirim surat permohonan peninjauan kembali, yaitu pada 23 Agustus 2017 dan 2 Oktober 2017.

Luhut lantas mencabut moratorium dengan pertimbangan sudah tidak ada permasalahan lagi, baik dari segi teknis maupun hukum. Alasan berikutnya menggunakan pencabutan sanksi administrasi lingkungan hidup Pulau C, D, dan G oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Luhut pun meminta Gubernur DKI memastikan berlangsungnya reklamasi.

Pencabutan moratorium itu mengejutkan masyarakat yang telah lama melakukan advokasi. Masalah ekologis dan hak asasi menjadi alasan untuk menolak reklamasi, terlebih proyek ini hanya menguntungkan para pengembang properti. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, yang selama ini terus menolak reklamasi, menilai Menko Kemaritiman tertutup dalam membahas reklamasi, padahal hal ini telah menjadi masalah publik dan sepatutnya melibatkan partisipasi masyarakat.

Tampaknya ada alasan lain sehingga Luhut perlu secepatnya mencabut moratorium. Luhut tampaknya terganggu oleh terpilihnya Anies-Sandi sebagai pemenang pemilihan kepala daerah DKI, yang salah satu janji politiknya adalah menolak reklamasi Teluk Jakarta. Tampaknya ini akan menjadi batu sandungan bagi kelangsungan proyek reklamasi. Setelah mencabut moratorium, secara tegas Luhut meminta Anies-Sandi ikut melaksanakan reklamasi.

Pencabutan moratorium merupakan gangguan bagi Gubernur DKI Anies Baswedan. Banyak pihak menunggu langkah strategis apa yang akan dilakukan Anies-Sandi untuk menghentikan reklamasi setelah pencabutan moratorium.

Salah satu pertimbangan pencabutan moratorium adalah tak ada lagi permasalahan hukum. Benarkah tidak ada masalah hukum? Pertama, secara jelas Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi menyatakan setiap pihak yang merencanakan reklamasi wajib memperhatikan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan harus sesuai dengan Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Keduanya merupakan syarat utama dalam menentukan lokasi reklamasi, penyusunan rencana induk reklamasi, studi kelayakan lingkungan, dan penyusunan rancangan detail reklamasi. Peraturan zonasi juga menjadi dasar untuk izin lokasi reklamasi.

Tapi, hingga kini, DKI Jakarta belum memiliki peraturan zonasi yang mengatur secara khusus wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Provinsi Banten, tempat pasir reklamasi diambil, juga belum memiliki peraturan zonasi.

Kedua, ketiadaan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Walaupun pengaturan zona 0-12 mil laut menjadi kewenangan provinsi, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2013 menggariskan bahwa proyek-proyek reklamasi dengan luasan di atas 25 hektare wajib mendapat rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan.

Pembangunan 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta itu memiliki luas di atas 25 hektare sehingga wajib mendapat rekomendasi Menteri Kelautan. Namun hingga kini belum ada rekomendasi yang dikeluarkan Kementerian Kelautan. Bahkan Menteri lebih menunjukkan sikap menolak reklamasi itu. Hasil studi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Kementerian Perikanan dan Kelautan menjelaskan bahwa hilangnya 1 hektare perairan menyebabkan kerugian ekonomi Rp 26,8 juta lebih per tahun, budi daya kerang hijau Rp 85,5 juta lebih, luasan tambak per hektare Rp 27,9 juta lebih per tahun, dan biaya perbaikan ekosistem bakau mencapai Rp 28 miliar per bulan selama 10 tahun.

Ketiga, tidak adanya partisipasi publik dan keterbukaan. Sepanjang moratorium berlaku, Menko Maritim tidak melibatkan publik, khususnya pihak-pihak yang menolak, dalam perkembangan pembahasan. Padahal Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan ruang partisipasi publik dan keterbukaan dokumen-dokumen lingkungan hidup. Pembahasan yang hanya dilakukan instansi kementerian dan pemerintah daerah justru membuat bias keputusan yang dibuat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masih terdapat permasalahan hukum menyangkut moratorium reklamasi. Maka, pencabutan moratorium oleh Luhut tidaklah tepat. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru harus jeli memperhatikan masalah ini. Langkah bijak yang dapat dilakukan Anies-Sandi adalah mengoreksi keputusan pencabutan moratorium itu, lalu memenuhi janji politiknya dengan tidak menerbitkan izin-izin reklamasi.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler