x

Iklan

Abdul Manan

Jurnalis yang tertarik mengamati isu jurnalisme, pertahanan, dan intelijen. Blog: abdulmanan.net, email abdulmanan1974@gmail.com
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Khaled Mashal dan Misi Gagal Mossad di Yordania

Israel berulangkali mencoba menyingkirkan tokoh Hamas. Salah satunya adalah operasi pembunuhan terhadap Khaled Massal di Amman, Yordania.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua kelompok Palestina yang selama ini berseteru, yaitu faksi moderat Fatah dan faksi garis keras Hamas, setuju rujuk. Perdamaian di Kairo yang difasilitasi oleh Mesir ini ditandai dengan serahterima pengelolaan Jalur Gaza ke tangan Otoritas Pemerintah Palestina yang selama ini didominasi Fatah. Sebelumnya Gaza berada di bawah kekuasaan Hamas.

Fatah dan Hamas, meski memiliki tujuan sama soal Palestina merdeka, tapi strateginya berbeda. Fatah lebih menempuh jalur diplomatik, sedangkan Hamas memakai perlawanan bersenjata terhadap Israel. Tak mengherankan jika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengecam kesepakatan itu dan menyatakan bahwa ini "akan membuat perdamaian Israel dengan Palestina semakin sulit diraih."

Israel dan Hamas terlibat dalam banyak konflik bersenjata yang antara lain berujung pada perang 2008-2009 dan 2014 lalu. Israel juga menjadikan tokoh Hamas sebagai incaran. Salah satu operasi Israel, yang dilakukan oleh dinas intelijennya, Mossad, terjadi 1997 lalu. Operasi rahasia ini ditulis oleh Michael Bar-Zohar dan Nissim Mishal dalam buku berjudul Mossad: The Greatest Missions of the Israeli Secret Service yang terbit September 2014 lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Target: Khaled Mashal

Saat itu Khaled Mashal menjadi pemimpin biro Hamas di Yordania. Ia kemudian menjadi pemimpin Hamas sebelum akhirnya digantikan oleh Ismail Haniyeh, Mei 2017 lalu. Operasi dengan target Khaled ini dipicu oleh serangan bom bunuh diri di Yerussalem, 30 Juli 1997. Waktu itu ada dua orang yang meledakkan dirinya di tengah kerumunan pasar Mahane-Yehuda Market. Ledakan itu menewaskan 16 orang Israel, dan melukai 169 lainnya.

Buntut bom itu, Benjamin Netanyahu (waktu itu juga perdana menteri Israel) menggelar rapat kabinet mendadak dan memutuskan untuk membunuh salah satu pemimpin Hamas. Kepala Mossad (biasa disebut dengan ramsad) saat itu adalah Danny Yatom, mantan Kepala Pusat Komando Israel, yang menduduki jabatan itu sejak setahun lalu. Netanyahu menugaskan Yatom untuk menentukan siapa korbannya.

Usai rapat kabinet itu, Yatom menggelar rapat penting di markas Mossad di Tel Aviv. Para kepala departemen utama Mossad diundang. Rapat untuk menentukan calon korban yang akan dihabisi ini sempat menemui jalan buntu. Sebab, Mossad tidak punya daftar lengkap pejabat Hamas. Kepala Hamas paling terkenal saat itu adalah Mousa Mohammad Abu Marzouk. Tapi dia memakai paspor Amerika Serikat. Serangan terhadap dia bisa memicu masalah dengan Washington.

Selain Marzouk, juga ada nama Khaled. Sebagai target dia dianggap lebih mudah karena berada di luar Palestina. Masalahnya, Khaled berkantor di Amman, Yordania, negara yang punya hubungan baik dengan Israel. Sejak Yordania menandatangani perdamaian dengan Israel Oktober 1994, Perdana Menteri Yithzak Rabin melarang semua operasi Mossad di negara itu.

Yatom, yang menjadi sekretaris militer saat Rabin menjadi perdana menteri, mengikuti perintah itu. Namun kini ia adalah kepala Mossad. Ia memutuskan mengabaikan instruksi peninggalan Rabin itu dan mengusulkan nama Khaled sebagai target. Usulan ini didukung oleh kepala Caesarea (tim penyerang Mossad) dan perwira intelijennya, Mishka Ben-David.

Operasi Senyap di Amman

Netanyahu memberi persetujuan dan memerintahkan operasinya bersifat senyap agar tak memicu kegaduhan dengan Yordania. Yatom menugaskan Group Kidon, unit elite dari Caesarea, untuk melaksanakan operasi ini. Dokter biokimia, yang bekerja di Pengembangan Riset Mossad, menyarankan pembunuhannya menggunakan racun mematikan yang sedang dikembangkan di Institut Biologu di Kampus Ness Ziona. Beberapa tetes saja dari racun bisa ditaburkan ke kulit orang, bisa menyebabkan kematian.

Enam pekan sebelum tanggal operasi, Agustus 1997, agen pertama Mossad tiba di Yordania. Dia memakai paspor negara lain dan mulai mengamati aktivitas rutin Khaled, mulai dari kapan dia meninggalkan rumahnya, dia berkendara dengan siapa di pagi hari, rute mana yang diambil, dan bagaimana kondisi lalu lintasnya. Sang agen juga menghitung waktu yang dibutuhkan Khaled untuk keluar dari mobil menuju kantor Biro Bantuan Palestina. Ini adalah penyamaran untuk kantor Hamas di ibukota Yordania. Sang agen juga mengamati apakah Khaled berbicara dengan orang lain selama menuju kantor itu, dan info lain yang akan mempengaruhi jalannya operasi.

Tim pendahuluan itu lantas memberitahu markas besar soal temuannya. Ringkasan laporannya sebagai berikut: Setiap pagi Khaled keluar dari rumahnya tanpa pengawalan. Ia naik SUV bersama asistennya menuju kantornya yang berada di gedung Shamia Center. Setelah Khaled keluar dari mobil dan masuk ke kantor, asistennya pergi dengan mobilnya. Saran dari tim pendahuluan Mossad, saat terbaik untuk menyerang Khaled adalah pagi hari, di area pejalan kaki saat ia hendak masuk ke gedung itu.

Tak Bisa Menunggu Lebih Lama

Persiapan untuk eksekusi operasi ini berlanjut dengan melakukan pengintaian, mengirim tim tambahan, menyewa 'rumah aman'. Pada kurun waktu itu terjadi ledakan di Tel Aviv. Tiga orang anggota Hamas meledakkan dirinya di Ben-Yehuda Street, pada 4 September 1997, dan menewaskan 5 orang Israel dan melukai 181 lainnya. Peristiwa itu membuat Israel merasa tak bisa menunggu lebih lama lagi dan mengatakan ini saatnya beraksi.

Tanggal 24 September 1997, sehari sebelum operasi. Sepasang turis tampak sedang berlama-lama di kolam renang sebuah hotel besar di Amman. Si laki-laki memakai baju mandi. Dia mengatakan kepada petugas hotel bahwa ia baru pulih dari serangan jantung. itu sebabnya ia berjalan pelan. Perempuan muda yang bersamanya adalah seorang dokter. Sesekali ia mengecek denyut jantung dan tekanan darah laki-laki itu. Sebagian besar waktu keduanya dihabiskan di kolam renang.

Laki-laki yang memakai baju mandi itu tak lain adalah Mishka Ben-David, orang yang bertanggungjawab atas komunikasi antara markas besar Mossad dengan agen di lapangan. Sedangkan si perempuan juga agen, dokter, yang membawa suntikan penawar dari racun yang akan disemprotkan ke Khaled. Penawar itu mampu menetralkan efek dari racun, dan nantinya akan digunakan jika ada agen yang terkena racun itu selama operasi itu berlangsung. Penawar itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya dari kematian akibat racun tersebut.

Pada hari yang sama tim lain juga datang ke Amman, yang tugasnya adalah menyiapkan kendaraan untuk pelarian bagi agen setelah melakukan operasi. Setelah itu tim penyerang yang terdiri dari dua orang yang datang. Dua agen Kidon itu memakai paspor Kanada dan memakai nama Shawn Kendall dan Barry Beads. Keduanya check-in di Intercontinental Hotel.

Skenarionya, serangan terhadap Khaled akan dilakukan di pintu masuk gedung Shamia. Perjumpaan dua agen itu dengan Khaled harus dilakukan dengan cepat dan mematikan. Shawn dan Barry harus mendekati Khaled, menyemprotkan racun cair di belakang lehernya, setelah itu kabur ke belakang gedung. Di sana sudah ada tim yang menunggunya untuk menjauh dari lokasi tersebut.

Keduanya sudah latihan untuk operasi ini di Tel Aviv. Shawn akan memegang kaleng minuman bersoda. Ketika berhadapan dengan Khaled, dia akan menarik penutupnya dan secara tak sengaja luapan minuman sodanya mengarah ke petinggi Hamas itu. Minuman bersoda itu hanya pengalihan saja. Barry, yang memegang kotak kecil berisi racun, akan menyemprotkan racun itu ke arah leher belakang Khaled. Racun itu akan membuat dia mati karena serangan jantung.

Selain itu, ada dua "turis" laki-laki dan perempuan, yang akan bersiaga di dalam lobi gedung jika dua agen itu membutuhkan pertolongan. Jika misalnya Khaled berjalan terlalu cepat ke dalam gedung dan tak bisa dikejar Shawn dan Barry, dua agen yang menyamar sebagai turis itu akan keluar gedung dan menabrak Khaled, untuk menghambat langkahnya, sampai bisa dijangkau oleh dua warga Kanada palsu itu.

Operasi yang Berantakan

Dalam rencana Mossad, mereka tak akan berhadapan dengan aparat keamanan Yordania. Mereka juga harus memastikan bahwa Khaled tak bersama pengawal, anggota keluarga, polisi, militan Hamas, atau lainnya yang bisa menggagalkan operasi itu. Instruksi terhadap 8 agen yang sedang bertugas di Amman itu jelas: jalankan operasi jika semua kondisi itu terpenuhi. Yatom berpesan, jika kondisinya beda dengan rencana awal, kita selalu bisa mengeksekusinya di lain waktu.

Hari H operasi, 25 September 1997. Komandan operasi mengambil posisi di seberang jalan, persis di depan gedung. Diputuskan bahwa mereka tak akan memakai telpon seluler untuk berkomunikasi. Mereka akan berkomunikasi secara manual dan memakai bahasa tubuh. Dalam hal mereka perlu membatalkan operasi, komandan operasi perlu memberitahu dua agen penyerang dengan isyarat mencabut topi yang dikenakannya.

Di belakang gedung, sebuah mobil sudah menunggu. Shawn dan Barry juga sudah ada di tempat, termasuk dua lainnya yang di dalam lobi. Pada waktu itu semua sudah siap sesuai rencana.

Pada saat yang sama, di rumahnya Khaled beraktivitas seperti biasa namun ada sedikit perubahan rencana. Istri Khaled memintanya untuk mengantar dua anaknya ke sekolah hari itu. Biasanya sang istri yang melakukan tugas tersebut. Sang anak lantas masuk ke dalam SUV bersama sang ayah. Agen Mossad, yang bertugas melakukan pengintaian, tak menyadari soal adanya anak kecil itu. Sang agen melaporkan kepada koleganya bahwa Khaled dalam perjalanan ke kantornya, tapi tak memberitahu soal dua anak kecil yang duduk di kursi belakang mobil. Kaca mobilnya berwarna gelap sehingga dua anak itu tak terlihat dari luar.

Tak berselang lama Khaled tiba di gedung Shamia Center, keluar dari mobil, melintasi sisi pejalan kaki dan menuju pintu masuk gedung. Dua agen Mossad juga mendekatinya. Saat dalam jarak kurang dari meter dari sasaran, mereka dikejutkan oleh suara anak kecil yang berteriak "Baba!" Ternyata anak Khaled keluar dari mobil dan berlari ke arah ayahnya. Sopir Khaled juga keluar menyusul anak kecil itu.

Sang komandan operasi, yang berada di seberang jalan, menyadari adanya anak kecil itu. Dia membuka topinya sebagai tanda bahwa operasi ini harus dibatalkan. Tapi, di saat yang kritis itu, dua agennya berada di sekitar pilar beton gedung di pintu masuk dan kehilangan kontak sesaat dengan sang komandan. Lebih celakanya lagi, dua agen itu tak menyadari adanya anak kecil itu dan sopir yang menyusulnya.

Tak menyadari ada yang tidak berjalan sesuai rencana, dua agen ini meneruskan operasinya. Keduanya mendekati Khaled dan Shawn menggoncang-goncangkan minuman sodanya dan berusaha membuka penutupnya. Penutup minuman itu tak terbuka. Barry lantas mengangkat tangannya untuk menyemprotkan racun ke leher belakang Khaled.

Sopir Khaled, yang mencurigai bahwa bosnya akan ditusuk, mulai berteriak dan berlari cepat ke arah Barry dan mencoba menyerangnya dengan suratkabar yang dilipat. Khaled mendengar teriakan itu dan memalingkan wajahnya. Akibatnya, racun yang semula akan diarahkan ke leher belakang malah mengenai telinga Khaled. Dia sepertinya merasa ada tusukan ringan tapi menyadari ada sesuatu yang salah sehingga berlari menjauh sebisanya. Sedangkan Shawn dan Barry bergegas menuju mobil yang sudah menunggu di belakang gedung.

Pada saat itulah datang anggota Hamas, Muhammad Abu Seif, yang dalam perjalanan untuk mengantarkan dokumen untuk Khaled. Mendengar teriakan dan konfrontasi antara bosnya dengan dua orang itu, Seif berusaha menghentikan Shawn dan Barry. Dia berkelahi dengan Shawn. Keduanya akhirnya bisa masuk ke dalam mobil dan melaju dengan cepat. Saat itu sang sopir memberitahu bahwa Seif mencagtat no plat mobil itu. Mereka lantas sepakat menyingkirkan mobil itu. Keduanya keluar dari mobil, dan sang sopir tetap membawa mobil itu untuk membuangnya.

Saat Shawn dan Barry keluar dari mobil, ia tak menyadari bahwa Seif mengejarnya. Seif berhasil menggapai Barry, menarik bajunya dan berteriak bahwa orang ini mencoba melukai Khaled. Shawn, yang berada di sisi lain jalan, berusaha membantu tapi tak berhasil. Teriakan Seif membuat orang berkerumun. Tak berselang lama polisi datang, membubarkan kerumunan, dan menyetop taxi untuk membawa tiga orang yang terlibat perkelahian itu.

Dua Warga Kanada Palsu

Di kantor polisi awalnya Seif yang diduga menyerang dua orang asing. Namun setelah mulai pulih dari rasa sakit, Seif mengatakan bahwa dua orang inilah penjahatnya karena ingin melukai Khaled. Saat mengecek paspor keduanya, diketahui bahwa mereka warga Kanada. Polisi lantas menghubungi Kedutaan Kanada untuk mengkonfirmasi benar tidaknya informasi itu.

Menurut Paul McGeough dalam The Star edisi 28 Februari 2009, penangkapan dua orang itu membuat kegaduhan di Kedutaan Besar Kanada di Amman. Soal ini awalnya diketahui oleh staf lokal dari siaran radio tentang dua orang Kanada yang ditahan di kantor polisi. Siaran radio tersebut melaporkan dua insiden terpisah, soal penahanan itu dengan serangan terhadap Khaled.

Kabar soal ini segera mencapai Kanada dan ini menjadi pertanyaan oposisi terhadap pemerintah. Kabar yang beredar liar, dua orang Kanada telah bertindak sebagai pembunuh bayaran untuk Israel. Oposisi mendesak pemerintah menjelaskan, apakah paspor itu nyata dan apakah Kanada memberikannya kepada Mossad? Kedutaan besar negara Arab di Ottawa juga perlu diyakinkan bahwa Kanada tidak ada urusan untuk memukul pemimpin Palestina atas nama Israel.

Seorang staf konsuler wanita dari Kedutaan Kanada di Amman dikirim untuk menyelidiki dan menemui dua orang itu di ruang tahanan markas polisi Wadi Al-Seer. Pemeriksaan sepintas tentang paspor mereka menambah masalah Ottawa. Sebab, staf konsuler itu menyimpulkan bahwa paspor itu asli dan oleh karena itu mereka memang orang Kanada. Tapi anehnya mereka menolak tawaran bantuan konsuler dan memohon agar namanya tidak dipublikasikan.

Setelah itu giliran diplomat Kanada Steve Bennett yang menengok mereka. Kali ini tidak di Wadi Al-Seer, melainkan di markas besar Direktorat Keamanan Umum Amman. Bennett diizinkan untuk mewawancarai mereka satu per satu. Keduanya menolak untuk mengungkapkan identitasnya. Dalam pengamatan Bennet, keduanya berbicara dengan aksen Israel yang kuat. Tapi setelah didengarkan sebentar, Bennett menyimpulkan bahwa mereka ini belajar bahasa Inggrisnya di Australia.

Bennett kemudian menguji pengetahuan orang ini tentang Kanada. Misalnya, bisakah dia menyebut nama jalan di Kanada tempat dia tinggal semasa kecil? Atau kota tempat dia sekolah? Jawabannya, mereka tidak tahu. Mereka juga ditanya soal geografi dan olahraga favorit orang Kanada. Jawabannya juga sama. Terakhir Bennet meminta keduanya menyanyikan beberapa bar dari lagu kebangsaan Kanada, O Canada. Hasilnya juga sama. Pada titik ini Bennet yakin bahwa dua orang ini penipu.

Saat ditahan di kantor polisi, dua agen itu mendapat kesempatan menelpon. Mereka berhasil menghubungi markas operasional Mossad di Eropa dan mengabari soal penangkapan ini. Agen perempuan, yang ikut melihat berantakannya operasi ini, memberitahu Miskha Ben-David di hotel. Setelah itu Miskha menggelar pertemuan darurat. Tak berselang lama komandan operasinya juga datang. Mereka belum bisa membayangkan kekacauan akibat kegagalan ini.

Mencari Suaka ke Kedutaan

Miskha segera mengabari markas besar. Ramsad Danny Yatom berdiskusi dengan pejabat lainnya dan kemudian memerintahkan semua agennya meminta perlindungan ke kedutaan Israel, bukan memakai rute pelarian yang sudah disiapkan. Usai pertemuan itu, Miskha dan kawan-kawan menuju kedutaan Israel. Hanya dokter perempuan itu saja yang tetap di hotel.

Pada saat yang sama, racun itu mulai bekerja dan membuat Khaled Mashal ambruk dan dibawa ke rumah sakit. Tanpa penawar, dia diperkirakan akan mati dalam beberapa jam mendatang. Netanyahu mendengar kabar buruk soal operasi di Amman ini saat dalam perjalanan untuk menghadiri tahun Baru Yahudi di markas besar Mossad. Ia sangat kaget mendengar kabar itu.

Netanyahu saat itu memutuskan agar Yatom segera bertemu kepala negara Yordania Raja Husein dan memberitahu dia semuanya, tak usah ditutup-tutupi atau berbohong. Dari markas Mossad, Netanyahu menelpon Raja Husein dan memberitahu dia bahwa ramsad akan menemuinya untuk urusan penting. Raja Husein setuju meski tak terlalu tahu sebenarnya pertemuan itu untuk urusan apa.

Pada saat itu Netanyahu juga menginstruksikan Yatom untuk memenuhi semua permintaan Raja Husein sebagai pertukaran dengan para agen Mossad itu. Dia juga memerintahkan Yatom untuk memberikan penawarnya agar Khaled tidak mati.

Ancaman Raja Husein

Raja Husein, mendegar penjelasan Yatom, terlihat bingung dan putus asa. Dia segera memerintahkan untuk mencari tahu nasib Khaled dan mendapat kabar bahwa kondisi kesehatan tokoh Hamas itu memburuk dengan cepat. Raja pun memerintahkan Khaled dipindahkan ke rumah sakit kerajaan dan memutuskan menerima tawaran Yatom untuk memberikan penawar racun itu agar nyawanya bisa diselamatkan.

Miskha Ben-David lantas kembali ke hotel. Obat penawarnya sudah ada di sakunya. Dalam wawancara dengan Ronen Bergman, Miskha sempat berputar-putar di kamarnya dengan obat penawar itu. Ia sempat berpikir untuk menghancurkan obat penawar itu. Tapi, pada saat itu datang telpon dari komandan unit militer Israel. Dia tanya apakah Miskha memegang obat penawar itu, dan ia membenarkannya. Sang penelpon minta Miskha turun ke lobi karena komandan militer Yordania sudah menunggu penawar itu dan membawanya ke rumah sakit.

Penawarnya sudah ada, tapi dokter perempuan Israel itu menolak menyuntikkan kepada Khaled kecuali ada perintah langsung dari ramsad. Yatom, yang saat itu baru keluar dari istana Raja Husein dan dalam perjalanan menuju kedutaan, menelpon dan memberi perintah itu. Hanya saja, setibanya di rumah sakit, orang Yordania secara halus menolak dokter Israel itu menyuntikkan penawar ke tubuh Khaled. Ada kekhawatiran bahwa itu adalah salah satu cara untuk menyelesaikan misinya.

Masalah lainnya, dokter kerajaan, yang bertugas untuk menyelamatkan Khaled, juga menolak melakukannya tanpa lebih dulu mengetahui apa isi penawar itu. Mereka tak ingin dianggap bertanggungjawab jika Khaled kemudian meninggal. Orang Yordania meminta formula dari penawar itu, tapi Israel menolak memberikannya.

Saat dua kubu tetap pada pendiriannya, kondisi Khaled terus memburuk. Dia sudah tak bernapas dan dibantu selang pernapasan di ICU rumah sakit kerajaan. Raja Husein yang sangat marah atas peristiwa itu, mengancam akan memerintahkan tentaranya menyerbu masuk ke kedutaan Israel di Amman untuk menangkap empat agen mossad yang mencari suaka di sana. Dia juga akan mengakhiri hubungan serta kerjasama politik dan militer dengan Israel.

Raja Husein juga menyatakan, jika Khaled meninggal, dia akan menghukum pelakunya dengan pidana mati. Pada saat yang sama Raja Husein juga menelpon Presiden AS Bill Clinton. Ia pun ikut menekan Israel untuk memenuhi permintaan Raja Husein. Netanyahu menggelar rapat maraton dengan menteri kabinetnya dan akhirnya setuju memberikan formula dari penawar racun itu.

Setelah itu dokter Yordania menyuntikkan penawar ke Khaled. Reaksinya lang sung terjadi: Khaled bisa membuka matanya. Saat Khalid masih di ICU dan terus membaik, Israel mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Amman, termasuk Netanyahu, Menteri Luar Negeri Ariel Sharon, dan Menteri Pertahanan Yitzhak Mordechai. Karena kesal, Raja Husein menolak menemui mereka dan menugaskan saudaranya, pangeran Hasan, untuk menemui utusan Israel itu.

Kabinet Israel juga memanggil Efraim Halevy, mantan deputi ramsad dan teman pribadi Raja Husein. Saat itu Halevy merupakan Duta Besar Israel di Uni Eropa yang berkantor di Brussel. Halevy lantas bergegeas menuju Amman dan menawarkan kesepakatan. Sebagai pertukaran dengan 4 agen Mosssad itu, Israel akan membebaskan pendiri Hamas, Sheikh Ahmad Yasin. Raja Husein setuju. Empat agen Mossad itu pun pulang ke Israel bersama Halevy.

Ariel Sharon meminta pembebasan dua agen Mossad yang masih ditahan. Sebagai pertukarannya, Yordania meminta pembebbasan 21 orang Yordania di Israel. Sharon setuju. Namun pada detik-detik terakhir Yordania berubah pikiran dan meminta konsesi lebih. Sharon kehilangan kesabarannya dan mengatakan, "Jika kamu terus seperti ini, orang kami tetap di tanganmu, kami akan memutus suplai airmu (di mana Israel mensuplai air ke Yordania), dan kami akan membunuh Mashal sekali lagi." Gertakan Sharon cukup efektif sehingga kesepakatan itu selesai.

Warga Israel dan media mengkritik operasi di Amman ini. Kritik juga dialamatkan kepada Netanyahu. Tak punya pilihan lain, ia membentuk komite penyelidikan. Komite menyatakan Netanyahu bersih dan kesalahannya ada di tangan ramsad karena salah dalam bekerja dan melancarkan operasi yang sudah dipastiikan gagal sejak dari awal. Komite tidak meminta Yatom mundur.

Yatom akhirnya memutuskan mengundurkan diri setelah insiden tertangkapnya dua agen Mossad di Swiss. Keduanya ditangkap polisi saat berusaha menyadap telpon tokoh Hizbullah, Februari 1998. Kedua agen itu lantas diadili dan divonis bersalah. Dalam wawancara dengan suratkabar Israel Haaretz, Yatom mengatakan, "Sebagai komandan saya mengambil tanggungjawab atas kegagalan itu dan memutuskan mundur karena kecelakaan di Yordania dan Swiss tersebut." Posisinya kemudian  sebagai ramsad digantikan oleh Efraheim Halevy.

Foto: Aljazeera

Ikuti tulisan menarik Abdul Manan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler