Ribut Vonis Kebiri buat Pemerkosa: Kenapa Hukuman ala Jokowi Ini Kuno?
Kamis, 29 Agustus 2019 16:48 WIBKebiri itu merupakan hukuman tambahan bagi Muh Aris bin Syukur yang divonis 12 tahun penjara.
Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, semestinya tidak memvonis kebiri kimia bagi pemerkosa anak. Meski ada memuji, putusan ini sebetulnya kuno sekaligus kurang manusiawi.
Kebiri itu merupakan hukuman tambahan bagi Muh Aris bin Syukur yang divonis 12 tahun penjara. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Surabaya pada 18 Juli lalu.
Aris, 20 tahun, dinyatakan terbukti bersalah memerkosa sembilan anak di bawah umur di Mojokerto. Ia melakukan perbuatan kejinya sejak 2015 sampai akhirnya ditangkap pada Oktober 2018.
Hukuman lain lebih manusiawi
Putusan itu sebenarnya sesuai Undang Nomor 17 Tahun 2016, yang merupakan perubahan atas regulasi tentang perlindungan anak sebelumnya. Undang-undang itu memuat adanya penambahan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Hukuman kebiri kimia dilakukan dengan cara mengurangi hormon testosteron pelaku untuk menekan dorongan seksualnya. Kebiri jenis ini bersifat sementara. Tapi dampaknya akan sama dengan dengan kebiri fisik jika dokter memasukan zat kimia secara terus menerus.
Hakim sebetulnya memiliki opsi menambahkan vonis dengan hukuman tambahan jenis lain yang lebih manusiawi. Hukuman ekstra yang bisa dipilih antara lain penjara seumur hidup, mengungkap identitas pelaku kepada publik, atau memasang alat deteksi elektronik. Identitasnya dibuka ke publik untuk membuat orang waspada. Bisa juga dengan memasang alat deteksi elektronik, agar keberadaan pelaku terus-menerus bisa dipantau setelah dia menjalani masa hukuman pokoknya.
Jika semangatnya untuk memberi efek jera, sejumlah hukuman tambahan--selain memaksimalkan hukuman pokok--itulah yang perlu diberikan kepada pelaku seperti Aris.
Bermula dari Perppu Jokowi
Aturan mengenai kebiri kimia mula-mula dimuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016. Perppu ini merevisi sejumlah pasal dalam Undang-undang Perlindungan Anak.
Saat itu Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Menurut Komnas Perempuan, pada 2014 terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015 (6.499 kasus), 2016 (5.785 kasus).
Kendati mendapat kritik keras dari para aktivis hak asasi manusia, Jokwi mempertahankan aturan itu. perppu itu bahkan disetujui oleh DPR dan disahkan lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Para aktivis hak asasi manusia menolak jenis hukuman keberi lantaran sangat represif sekaligus primitif. Zaman dulu, jika orang mencuri, tanganlah yang dipotong. Hukum kebiri berasal dari cara pikir yang sama: menghukum organ yang dianggap bersalah.
Hukuman seperti itu juga bertentangan dengan konvensi antipenyiksaan yang telah ditandatangani Indonesia. Pada 2016, Ikatan Dokter Indonesia pun meminta agar anggotanya tidak dilibatkan dalam eksekusi hukuman kebiri kimia, karena bertentangan dengan sumpah dokter yang harus menghormati makhluk hidup.
Kami setuju hukuman pemerkosa anak diperberat, tapi tidak harus dengan cara mengebiri pelaku. Pemerintah dan DPR semestinya merivisi aturan kebiri agar tidak memberikan peluang bagi hakim untuk menerapkan hukuman yang kuno itu. ***
Jurnalis yang tertarik mengamati isu jurnalisme, pertahanan, dan intelijen. Blog: abdulmanan.net, email abdulmanan1974@gmail.com
0 Pengikut
Ribut Vonis Kebiri buat Pemerkosa: Kenapa Hukuman ala Jokowi Ini Kuno?
Kamis, 29 Agustus 2019 16:48 WIBKhaled Mashal dan Misi Gagal Mossad di Yordania
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler