x

Iklan

Dudi Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengkhianatan dan Kematian Kaum Cendekiawan Indonesia

Mengupas tentang intelektual yang mengkhianati ilmu, masyarakat dan diri nya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengkhianatan dan Kematian Kaum Cendekiawan

Penulis: Muhammad Dudi Hari Saputra

Direktur Eksekutif Moderate Institute dan Tenaga Ahli Staf Khusus Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

 

Matinya Ilmu Pengetahuan

Dunia abad 21 adalah dunia penuh paradox, dunia dekonstruksi dan dunia kematian massal, dari kematian tanda, kematian makna, kematian petanda,kematian realitas, kematian representasi, kematian ideologi, kematian seni, kematian “tuhan”, kematian teori, kematian manusia, kematian seksual, kematian politik, kematian media, kematian epistemologi, kematian logos, kematian metafisika, dan berbagai kematian lain nya (Yasraf Amir Piliang, 2012).

Opini ini memfokuskan kepada kematian epistemologi, kematian ilmu dan kematian kaum cendekiawan. Kematian ilmu lahir dari berbagai symptom, symptom utama adalah "apa itu kebenaran" menurut para peneliti, scientist atau scholars yang sedang marak sekarang ini, yakni dunia abad 21 memasuki puncak evolusi teknologi komunikasi-informasi dan cybernetic, dunia kini adalah dunia tanpa sekat, dunia yang mengalami pelipatan ruang-waktu atau dromologi (Yasraf Amir Piliang, 2004).

Dunia yang penuh arus informasi tidak terkontrol, telah melahirkan berbagai rekayasa informasi yang tidak lebih menjadi ajang "propaganda-agitasi", yang lacurnya para intelektual menjatuhkan validitas kebenaran penelitian atau analisis nya berdasarkan informasi-informasi yang sering kali tidak memiliki korespondensi realitas itu.

Kebenaran ilmu kini, adalah kebenaran "kata nya", kebenaran yang tidak lebih seperti dunia gosip, kebenaran "performatif" yang pada prinsipnya benar atau tidak itu relatif, sebab sebenarnya itu soal bagaimana kita meyakinkan, mempengaruhi dan mengubah pendapat orang lain (Bambang Sugiharto: 2013).

Fenomena kontemporer keilmuan yang seperti itu, merupakan petanda dari sebuah "kematian" dan kemerosotan/degenaratif epistemologi, ilmu tidak lebih menjadi sebuah justifikasi/pembenaran diri (Imre Lakatos: 1989).

Pendekatan ilmu yang menggunakan metode untuk dijadikan pisau analisa observasi , hanya semakin mengaburkan "kebenaran". Karena, metode sering kali lahir secara tidak ilmiah dan tidak metodis (Feyerabend: 1993), dan para peneliti/scholar hanya menggunakan metode-metode yang sesuai dengan paradigma berfikirnya, yang digunakan bukan karena faktor "keobjektifitasan" melainkan karena faktor psikologis, sosial dan kultural (Thomas Kuhn: 1996).

Kondisi ilmu pengetahuan yang semakin degenaratif, dan sekedar menjadi "alat" pembenaran terus menerus (Karl Popper: 1962) dan pengaruh (Habermas: 1976) oleh individu atau kelompok tertentu, melahirkan ketidakpercayaan kepada pendekatan metode (method-driven), dan menggesernya kepada pendekatan tanya langsung (questioned-driven) (Alexander Wendt: 2012). Tapi, apakah yang ditanya ini menggambarkan peristiwa secara apa-ada nya ?, apakah ungkapan mereka tidak akan dipengaruhi oleh paradigma, ideologi dan kepentingan nya ?.

 

Pengkhianatan Kaum Cendekiawan

Disinilah peranan kalangan intelektual korup itu, Antonio Gramsci menjelaskan perihal intelektual organik, bahwa kalangan intelektual lah yang membentuk kesadaran pengetahuan dan kebiasaan (kultur) masyarakat, kalangan kapitalis (pemilik modal) menggunakan jasa intelektual ini untuk "membius" masyarakat agar tetap mempertahankan sistem yang mendukung kekuasaan menindas para kapitalis terus berjalan.

Mengambil contoh universitas Harvard, di film Inside Job digambarkan bahwa sebagian besar ahli ekonomi Harvard diam bahkan menganggap keadaan ekonomi AS berjalan dengan normal di periode sebelum tahun 2009, dan seolah-olah tidak mampu memprediksi krisis yang akan terjadi, bahkan menganggapnya sebagai sebuah fenomena biasa. 

Ternyata, hampir kebanyakan jajaran penting di Pemerintahan AS dan industri jasa finansial AS yang sebagian besar di isi dari kalangan intelektual Harvard tadi, dan jasa mereka sering kali digunakan dengan bayaran yang sangat mahal. Fenomena ini membuat kita memiliki wawasan filosofis untuk mengkiritk basis penilaian kualitas terhadap instansi /orang tertentu, apakah penilaian bisa benar-benar objektif ?.

Dalam konteks Keindonesiaan, dengan mengutip ucapan Airlangga Pribadi tentang intelektual dan penguasa lokal. Temuannya untuk kasus Jawa Timur paska reformasi, cukup menarik. Betapa intelektual tidak berperan bagi agen pemerintahan yang baik. Sebaliknya, mereka menjadi bagian kekuatan predator yang membajak demokrasi (Denny JA, 2016).

Di era demokrasi liberal seperti sekarang, Indonesia memasuki kematian yang memilukan, yaitu kematian “kaum cendekiawan”, di mana kaum ini pada awalnya diharapkan mampu membawa pergerakan yang nyata, bahwa manusia-manusia pilihan dengan segenap ilmu nya bisa menjadi agen perubahan sosial secara organik sebagaimana yang dicita-citakan oleh Gramsci, Ali Syariati, Cak Nur, hingga Kuntowijoyo.

Tapi fakta yang terjadi malah terbalik, banyak kaum intelektual yang berselingkuh dengan kekuasaan praktis dan jangka pendek untuk memperbanyak kekayaan pribadi, seperti perkataan Julien Benda: kaum intelektual telah melakukan pengkhianatan, yakni ketika mereka menggunakan argumentasi dan ilmu nya untuk membenarkan dan menipu pandangan masyarakat yang melanggengkan tindakan yang merusak rasa kemanusiaan dan keadilan, dengan memperkuat hasrat kepentingan ras, hasrat kepentingan kelas atau kelompok dan hasrat kepentingan etnis-bangsa tertentu (Robert Kimball, 1992).

Wiratmo Soekito dalam mencermati intelektual pada tahun 60an pernah mengkritik bahwa para cendekiawan (kaum intelektual) sudah tidak bersikap "bebas" lagi, yang dalam bahasa Belanda nya "Hij is niet meer vrij" (ia sudah tidak bebas lagi). Padahal seorang cendekiawan tidak boleh terkooptasi dalam berfikir dan bertindak. Jika orde lama cendekiawan terkooptasi karena Soekarnois, orde baru karena Soehartois, maka era reformasi karena sikap Oportunis.

Ikuti tulisan menarik Dudi Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB