x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PKS, Nasionalis-Religius dan Sosok Dedi Mulyadi

Istilah “nasionalis-religius” sepertinya menjadi daya tarik dalam banyak hal, terlebih ketika dihadirkan dalam sebuah momentum politik-kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah “nasionalis-religius” sepertinya menjadi daya tarik dalam banyak hal, terlebih ketika dihadirkan dalam sebuah momentum politik-kekuasaan. Tidak hanya saat ini saja, istilah ini sepertinya populer sudah sejak lama, bahkan Pancasila yang saat ini menjadi ideologi politik bangsa, juga mengandung formulasi nasionalisme-religius. Padahal, tidak ada sesungguhnya yang benar-benar “nasionalis” dan juga tak pernah ada yang secara karakteristik menunjukkan sesuatu yang benar-benar “religius”, karena istilah keduanya tentu saja bisa saling menggantikan. Seseorang yang religius bisa saja berideologi nasionalis, begitupun sebaliknya. Artinya, penyebutan klaim “nasionalis-religius” yang diungkapkan Netty Heryawan, Istri Ahmad Heryawan, disaat menghadiri acara Sumpah Pemuda atas undangan PDI-P Jabar, hanyalah sebatas ungkapan “pinangan” politik saja.

Netty yang mewakili suaminya, Ahmad Heryawan yang juga kader PKS, seakan mengklaim bahwa partai yang selama ini mengusung suaminya adalah parpol bercirikan “religius”, padahal, ketika sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan, tak ada sesungguhnya parpol yang benar-benar religius. Semua parpol jelas “nasionalis” terlebih ketika sudah menjadi kendaraan politik, karena religiusitas lebih melekat pada aspek individual seseorang, bersifat privat dan tentu saja sakral. Sebutan bahwa PKS sebagai parpol yang religius, saya kira juga hanya sebuah klaim sepihak, karena religiusitas sulit diukur dalam pandangan rasio dan bukan manusia yang mampu menilainya. Ukuran religius, tentu saja bukan simbol, atribut atau agama tertentu yang berada di belakangnya, tetapi, religiusitas adalah sikap, karakteristik, kebiasaan yang mengusung nilai-nilai moral keagamaan dan jauh dari kecenderungan dunia politik yang serba profan.

Barangkali, untuk menyebut tokoh dalam kontestasi politik Jabar 2018, yang mewakili konsep “nasionalis-religius” sebagaimana diungkapkan Netty, adalah sosok Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. Cagub yang pada awalnya diusung Golkar dan saat ini malah ditinggalkan, secara pribadi sangat matang dalam konsepsi nasionalis-religius, sebagaimana yang diungkapkan Netty. Kang Dedi—sebutkan akrab Dedi Mulyadi—sepanjang menjadi Bupati Purwakarta, sukses merubah daerahnya menjadi perwujudan masyarakat yang nasionalis-religius. Kang Dedi, misalnya, pernah mengusung program kajian kitab kuning yang diberlakukan bagi seluruh sekolah di Purwakarta, dan pada saat bersamaan, mengangkat Purwakarta melalui tradisi dan budaya Sunda, seraya mengangkat tema-tema budaya yang bercirikan kearifan lokal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semangat nasionalisme yang diangkat Kang Dedi, tentu saja penghargaannya yang tinggi atas nilai-nilai kearifan lokal, menyulap Purwakarta menjadi “kota budaya” sebagaimana tercermin dalam pembangunan Air Mancur Sri Baduga. Konon, Tanah Sunda dahulu kala merupakan Tataran Pasundan, dengan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja sebagai penguasanya. Bagi saya, inilah salah satu nilai nasionalisme yang diusung Kang Dedi, sekaligus kedekatan dirinya dengan kalangan muslim tradisionalis yang kemudian mengembangkan budaya literasi Islam Nusantara, melalui program kajian kitab kuning yang sukses dijalankannya. Belum ada kiranya, sosok yang merepresentasikan nasionalis-religius sebagaimana diungkap Netty, kecuali ada dalam diri Kang Dedi.

Sejauh ini, walaupun Deddy Mizwar (Demiz) dianggap sebagai sosok yang “religius”—barangkali karena peran-perannya di sinetron yang bernuansi religi—namun, secara elektabilitas, tidaklah dipandang sebagai sosok yang religius. Demiz, lebih dikenal sebagai cawagub Jabar (petahana) yang pernah populer karena latar belakang dirinya sebagai seorak aktor, bukan politisi. Saya kira, PKS melalui ungkapan Netty yang hadir atas undangan DPD PDI-P Jabar dengan menyatakan kemungkinan koalisi nasionalis-religius terwujud, merupakan pinangan politik kepada Kang Dedi yang juga merupakan cagub terkuat versi PDI-P.

Banyak hal yang menarik di Pilgub Jabar 2018 kali ini, terutama Golkar yang memiliki cukup suara malah tak mengusung kadernya sendiri dan lebih kepincut Kang Emil—panggilan populer Ridwan Kamil—dengan alasan elektabilitas dirinya yang selalu tinggi dalam berbagai lembaga survei. Kang Dedi, tentu saja berpeluang besar dalam Pilgub Jabar, mempunyai track record yang bersih sebagai politisi, sekaligus mampu mencitrakan dirinya sebagai sosok yang nasionalis-religius. Keengganan Golkar untuk mengusung ketua DPD-nya sendiri, jelas karena berdasarkan pada prinsip keekonomian yang dikejarnya, bukan soal ideologi-kebangsaan yang semestinya dikedepankan. Sangat disayangkan, ketika Golkar Jabar memiliki kader mumpuni, tetapi karena alasan elektabilitas, justru lebih memilih kader lain yang belum tentu juga menang dalam ajang kontestasi.

Dalam hal politik, memang bisa saja terjadi dan itu merupakan hal yang wajar, karena tak ada istilah “koalisi abadi” dalam percaturan politik. Ukuran “untung-rugi” dalam perspektif ekonomi-politik biasanya menjadi pemicu utama parpol dalam melakukan koalisi, bukan soal kedekatan ideologi. Cara pendekatan PKS kepada PDI-P dalam Pilgub Jabar cukup unik, karena melalui Netty Heryawan dan bukan melalui pimpinan parpolnya secara langsung. PKS nampaknya cocok dengan PDI-P dalam hal koalisi politik di Pilgub Jabar, sebagaimana ditunjukkan oleh Netty yang datang memakai kerudung warna kebesaran partai berlambang banteng ini. Jika yang dimaksud Netty bahwa koalisi nasionalis-religius adalah perwujudan PDI-P-PKS, saya malah berasumsi bahwa sinyal politik nasionalis-religius yang dimaksud justru mengarah pada cagub Gokar yang ditinggalkan, Kang Dedi.

Warga Jabar pada akhirnya terus menunggu, siapa yang akan diusung PDI-P sebenarnya di Pilgub Jabar 2018 nanti? Walaupun sinyal politik nampaknya lebih kuat pada sosok Kang Dedi yang merupakan representasi kekuatan “nasionalis-religius” yang juga sejauh ini disukai PDI-P. PKS kemudian mencoba “meminang” Kang Dedi secara tidak langsung dengan menyatakan kemungkinan koalisi nasionalis-religius yang mewujud dalam koalisi antarparpol dalam ajang kontestasi politik. Meskipun PKS dan Gerindra telah lebih dulu mendeklarasikan dukungannya kepada Demiz di Pilgub Jabar, namun sulit jika PKS menyodorkan Demiz sebagai cagub Jabar pilihan koalisi, karena PDI-P nampaknya condong kepada Kang Dedi.

Jadi, Pilgub Jabar menjadi semakin menarik, karena “baju parpol” yang melekat pada seorang kontestan ternyata tak begitu mempunyai kekuatan, tetapi soal elektabilitas dan keyakinan atas sebuah asumsi “nasionalis-religius”, sebagaimana yang diusung beberapa parpol yang kemudian memilih Kang Emil, Kang Dedi atau Demiz. Walaupun pada akhirnya, sebuah kekuatan dengan menggunakan bahasa politik tertentu justru akan lebih “menjual” dibandingkan cara pandang yang melulu simbolisasi melalui latar belakang parpol yang melekat dalam diri seorang kontestan. Konsep nasionalis-religius yang diungkap PKS agar bisa dilirik PDI-P di Pilgub Jabar nanti, bisa saja mewujud dalam mengusung “Duo Dedi” di ajang kontestasi bertarung melawan Kang Emil yang selama ini sangat seksi dan diidolakan oleh berbagai lembaga survei. Kita lihat saja nanti!

Kredit foto: gobekasi.co.id

 

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler