x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kegalauan PAN dan Sentilan Pak JK

Sentilan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada Partai Amanat Nasional (PAN) soal penolakannya terhadap UU Ormas yang dianggap tidak etis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sentilan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada Partai Amanat Nasional (PAN) soal penolakannya terhadap UU Ormas yang dianggap tidak etis, membuat PAN tampak melunak. Hal ini jelas terlihat dari pernyataan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan yang menyatakan bahwa PAN memang menolak UU Ormas, tetapi karena ada revisi, PAN akan mendukungnya (detik.com, 31/10/2017). Sejauh ini, keberadaan PAN yang paling buncit di partai koalisi pendukung pemerintah, beberapa kali berbeda pandangan politik dengan pemerintah, khususnya soal beberapa kebijakan yang dianggap krusial. Sebelumnya, PAN pernah menolak klausul 20 persen parliementary treshold (PT) yang disepakati dalam UU Pemilu, berbeda dengan parpol koalisi pendukung pemerintah lainnya yang sepakat besaran PT 20 persen.

Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa partai berlambang matahari ini memang sedikit “nyeleneh” dibanding parpol koalisi lainnya yang berada di pemerintahan. PAN malah dianggap sebagai parpol “oportunistik” oleh banyak kalangan, karena sikap politiknya yang sering berlawanan  dengan pemerintah. Bagaimana tidak, PAN sudah terakomodasi mendapatkan satu kursi kementrian di pemerintahan Jokowi-JK, dan sudah semestinya sejalan dengan arahan dan berbagai kebijakan pemerintah. Namun disisi lain, PAN juga sepertinya ingin memainkan isu politik ditengah menguatnya kelompok-kelompok kritis di luar parlemen. Alih-alih dianggap sebagai parpol pendukung pemerintah, PAN malah terjebak menjadi parpol yang distigmatisasi dekat dengan kalangan “fundamentalisme Islam”, melihat dari berbagai manuver politiknya yang dilakukan oleh para petinggi di partainya.

Sebut saja, Amien Rais misalnya, beberapa kali tampak berbeda pandangan dengan beberapa politisi PAN sendiri, sehingga PAN juga tampak galau berada di parpol koalisi pemerintahan. Dengan demikian, keberadaan PAN sebagai partai pendukung pemerintah sepertinya terkesan “setengah-setengah”, karena tetap memainkan isu-isu politik dalam “dua kaki”: mendukung kebijakan pemerintah yang digaungkan bersama partai koalisi, dan berperan mencuri perhatian publik bersama beberapa kelompok yang selalu kritis dengan kebijakan pemerintah. Saya kira, peran Amien Rais yang tampak lekat dengan kelompok-kelompok kritis di luar parlemen, juga ikut mempengaruhi sikap PAN sebagai partai koalisi dalam pemerintahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya malah apresiasi kepada Golkar, yang meskipun sama-sama dengan PAN bergabung dengan parpol koalisi pemerintah belakangan, namun sejauh ini tetap konsisten mendukung setiap kebijakan pemerintah. Golkar tetap memberikan dukungan terhadap seluruh kebijakan pemerintah, walaupun ketua umumnya sedang dirundung masalah. Konsistensi Golkar, tak terpengaruh oleh munculnya konflik internal partai, entah itu adanya restrukturisasi para elite politiknya ataupun efek ketua umumnya sendiri yang saat ini sedang terjerat kasus korupsi. Konsistensi Golkar tentu saja bukan berarti kosong ide, karena ruang kritis terhadap kebijakan yang tidak selaras dengan kepentingan nasional, tetap disediakan partai berlambang beringin ini. Keberadaan UU Ormas bagi Golkar, dapat memperkuat civil society (okezone.com, 8/9/2017), ini artinya bahwa jika keberadaannya justru memperlemah tatanan sosial atau menimbulkan konflik, Golkar tentu kritis terhadap pasal-pasal krusial yang nantinya akan direvisi oleh DPR.

Saya kira, sikap penolakan PAN terhadap UU Ormas secara terbuka, padahal ia merupakan bagian dari parpol pendukung pemerintah, memang sangatlah tidak etis. Terlebih ditengah kondisi politik yang menghangat ditengah ajang kompetisi politik nasional 2019 mendatang. Jangan sampai PAN terkesan sedang mencari celah dukungan publik kelompok lain diluar parlemen yang membangun sikap bertentangan dengan berbagai kebijakan pemerintah. Dalam adagium bahasa Jawa, “wis ditulung mentung” seakan sedang menggelayuti PAN sebagai parpol yang dianggap sebagai bagian dari pendukung pemerintah. Alangkah lebih baik, jika PAN memang ingin terus bersikap kritis dan berada di jalur oposisi, dapat bersama-sama parpol lainnya, seperti Gerindra dan PKS.

Memang tak bisa dipungkiri, bahwa politik itu dinamis, sehingga wajar jika terjadi perbedaan pandangan politik terhadap isu-isu yang berkembang, termasuk soal kebijakan pemerintah. Hanya saja, PAN tidak semestinya tampak sebagai “bagian” dari berbagai kelompok kritis di luar parlemen. Walaupun seringkali loyalitas kepartaian cenderung lebih dominan dibanding loyalitas kenegaraan, namun sebagai bagian dari parpol pendukung pemerintah, memang sudah semestinya mendukung kebijakan, namun tetap mengkritisi jika ada penyimpangan yang berdampak bagi kepentingan nasional. Ungkapan Zulkifli Hasan yang tiba-tiba melunak soal perlunya revisi terhadap UU Ormas, jangan sekadar menjadi sikap “oportunistik” PAN untuk mempertahankan kursi kementriannya dalam pemerintahan Jokowi-JK. Bisa jadi akibat “sentilan” Pak JK ini lalu berimbas pada soal evaluasi parpol koalisi yang kemungkinan “mendepak” PAN dari unsur koalisi.

Saya rasa, menjadi “oposan” dalam sistem kekuasaan politik tidaklah dipandang buruk, malah bisa menjadi baik, karena jelas akan menjadi semacam penyeimbang bahkan “penyentil” yang tidak saja berfungsi menahan sikap “otoritarianisme” penguasa, tetapi akan lebih mudah menyampaikan aspirasi politik dari berbagai kelompok kritis di luar parlemen. Namun, jika saat ini PAN seperti bermain di “dua kaki” antara menjadi pendukung pemerintah sekaligus penyampai aspirasi kelompok politik diluar parlemen bahkan terkesan menjadi “bagian” didalamnya, rasa-rasanya PAN sedang mempertontonkan kegalauan politik yang luar biasa. Pilhannya hanya dua: menjadi parpol pendukung pemerintah atau oposisi, karena keduanya tetap baik jika konsisten menjalankan setiap garis kebijakan partainya yang selaras dengan isu kebijakan nasional. Jadi, setelah “disentil” Pak JK, quo vadis PAN? Mau menjadi oposisi atau tetap berada di koalisi pemerintahan?

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB