x

Bangunan yang diduga menjadi mes pegawai Alexis di Jalan Kemukus, Taman Sari, Jakarta Barat pada Ahad, 23 April 2017. Tempo/Danang F

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyulap Hotel Alexis Menjadi Hotel Syariah, Kenapa Tidak?

Tidak menutup kemungkinan, jika memang dapat dibangun kerjasama antarberbagai pihak, Alexis dijadikan hotel syariat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerita penutupan Hotel Alexis yang izinnya tak diperpanjang Pemprov DKI Jakarta memang masih menyisakan banyak tanya, terutama pasca penutupan bagaimana solusi terbaik menyangkut nasib para pekerjanya? Lalu apakah lahan dan bangunan yang sudah berdiri itu—jika benar-benar tak berizin—dapat dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat? Penutupan hotel yang diduga menyalahi izin karena diduga terdapat kegiatan prostitusi terselubung, terkait erat dengan program Anies-Sandi dalam mengembangkan halal tourisme atau wisata syariah yang telah menjadi visi-misi-nya selama masa kampanye gubernur. Wakil Gubernur Jakarta, Saindiaga Uno, nampaknya yang sangat memiliki kepentingan dalam prospek pengangkatan wisata halal Jakarta dengan tujuan mendorong kegiatan ekonomi UMKM di Jakarta.

Riwayat yang hampir tamat soal Alexis, membuat Pemprov DKI bekerja cepat, memanggil BUMD yang bergerak di bidang pariwisata untuk duduk bersama mengkaji berbagai kemungkinan bisnis syariah dalam bentuk halal destination di wilayah Ibu Kota. Konsep bisnis syariah memang menggiurkan, melihat pada jumlah umat muslim yang mayoritas di Indonesia, dan Jakarta adalah tujuan para pelancong yang didominasi umat muslim. Saya kira, konsep halal destination sudah terlebih dahulu berkembang di beberapa negara Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand yang justru berangkat dari cara pandang bisnis yang dapat mengelola keuntungan dari para pengunjung yang beragama Islam.

Sebagaiaman dilansir Koran Tempo (03/11/2017), PT Jakarta Tourisindo (JakTour) menyatakan siap merealisasikan konsep pengembangan bisnis syariah di Jakarta. Persoalannya adalah belum adanya lokasi yang tepat dan strategis untuk dimulai pembangunan hotel syariah di Jakarta, menyusul ditutupnya Hotel Alexis oleh Pemprov DKI. JakTour melalui direktur utamanya, Geraard Jeffrey Zacharias Rantung, memastikan akan mendukung upaya visi-misi Anies-Sandi dalam mengembangkan konsep halal tourisme dan halal destinantion di Jakarta, termasuk di dalamnya membangun dan mengelola hotel berbasis syariah. Hotel syariah bukanlah konsep yang baru di Jakarta, karena sebelumnya sudah ada beberapa hotel berbasis syariah yang di kelola pihak swasta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

JakTour memang melirik kawasan Islamic Centre di Koja, Jakarta Utara untuk dijadikan tempat layak percontohan bagi hotel syariah yang akan dibangun atas inisiasi Wakil Gubernur DKI, Sandiaga Uno. Walaupun pihak JakTour belum dapat memastikan, apakah lokasi tersebut milik pemerintah DKI atau bukan. Disebutnya Islamic Centre sebagai lokasi percontohan, karena memang lokasi ini menjadi destinasi halal umat muslim, selain sebagai tempat pertemuan kegiatan keagamaan, lokasi yang dulunya merupakan bekas lokalisasi terbesar di Jakarta, juga sebagai pusat kajian budaya Islam dan Betawi. Jika lokalisasi terbesar di DKI Jakarta saja bisa disulap menjadi pusat kajian kebudayaan dan wisata halal, kenapa tidak untuk Alexis yang hanya sebuah hotel?

Saya jadi teringat akan sejarah masa lampau Ka’bah yang saat ini menjadi kiblat seluruh umat muslim sedunia, bahwa sebelum datangnya Islam, Ka’bah selain sebagai destinasi peribadatan yang mengandung unsur-unsur kemaksiatan dan kemusyrikan, juga menjadi tempat persembahan korban yang mereka persembahkan pada tuhan-tuhan mereka. Dalam kitab Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam menulis, dimana Abdul Muthalib pernah mengundi kesepuluh anaknya untuk disembelih di depan patung Isaf dan Nailah di sisi bangunan Ka’bah dan undian itu jatuh pada salah satu anaknya yang paling dicintai Abdullah (Ayahanda Nabi Muhammad saw). Peristiwa ini digagalkan oleh kaum Quraisy karena menganggap praktik yang dilakukan Abdul Muthalib tidak berprikemanusiaan. Setelah Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad, berangsur-angsur seluruh berhala yang ada di sekeliling Ka’bah dihancurkan.

Saya kira, cerita diatas dapat menginspirasi, bahwa setiap kemaksiatan pasti selalu ada dalam sejarah kehidupan manusia, namun kemudian persoalan “memberantas” kemaksiatan memang harus diselaraskan dengan dampak positif setelahnya. Berhala-berhala di sekitar Ka’bah bahkan termasuk yang didalamnya, dengan sendirinya runtuh oleh kesadaran setiap orang terhadap cara pandang kemaksiatan yang menyimpang dan salah. Inilah informasi yang terus menerus ditularkan kepada umat oleh Nabi Muhammad, sehingga pemberantasan kemaksiatan yang dilakukan nyaris tanpa terjadi kerugian dan kekerasan. Hal ini kemudian dapat dilihat dari pemanfaatan lahan bekas lokalisasi terbesar yang disulap menjadi pusat peradaban Islam Nusantara sebagaimana mewujud dalam bangunan Islamic Center di Jakarta. Bagi saya, menyulap Alexis menjadi hotel syariah bukan suatu kemustahilan, jika memang ada kerjasama yang dapat disepakati antarberbagai pihak.  

Perkembangan bisnis syariah memang menjadi tren belakangan ini. Berdasarkan pencarian saya di internet, terdapat beberapa hotal syariah yang terkenal di kawasan Ibu Kota, salah satunya yang terbesar adalah Hotel Sofyan. Hotel ini walaupun dalam tahap perkembangannya sejak 1970 belum berdasarkan syariah, namun sejak 1993, para pemegang sahamnya bersepakat untuk concern menjalankan bisnis propertinya dengan landasan syariah dan terbukti sukses menjadi lead hotel syariah di berbagai kota di Indonesia (lihat situs sofyanhotel.co.id). Berdasarkan laman di beberapa situs internet, terdapat 4 hotel syariah lainnya di Jakarta, yaitu Audah Guesthouse Syariah, Zen Room Puri Indah Syariah, Hotel Syariah Thamrin, dan Al-Thalib Hotel Syariah. Mungkin masih terdapat beberapa hotel lain yang berbasis syariah yang memang lini bisnisnya bertumpu pada segmentasi masyarakat muslim.

Saya kira, cerita soal penutupan Alexis memang harus diakhiri dengan tentunya win-win solution bukan sekadar mempertahankan arogansi kekuasaan. Intinya, sebuah kebijakan tentu saja harus dikaji sedetil mungkin, sehingga berdampak positif dan menghasilkan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat Jakarta. Saya kira, nama Alexis yang sudah sedemikian lekat dalam benak masyarakat sebagai bentuk destinasi “esek-esek” yang negatif, bisa diubah dan dicitrakan positif melalui gagasan destinasi halal berbasis syariah. Tidak menutup kemungkinan, jika memang dapat dibangun kerjasama antarberbagai pihak, Alexis dijadikan hotel syariat dengan nama “Hotel Syariat Alexis”, selalin sudah memiliki nama yang dikenal, hotel ini pasti akan menjadi tujuan pelancong yang penasaran setelah gaduh soal penutupannya. Bisnis syariah tentu tidak saja menguat di tengah gemerlapnya kota-kota besar yang menawarkan “bisnis kenikmatan”, tetapi justru akan menyadarkan banyak pihak, bahwa halal dan syariat adalah cermin kebaikan dari sebuah sistem bukan berdasar arogansi salah satu pihak.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler