x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Keberlanjutan: Tantangan Mutakhir untuk Sekolah Bisnis

Sekolah-sekolah bisnis paling terkemuka sudah menerima tantangan untuk menghasilkan lulusan yang bisa membawa perusahaan menjadi berkelanjutan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dunia memang terkadang menyediakan peluang lewat cara yang ganjil.  Entah sudah dalam berapa kesempatan dan tulisan saya menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia tak cukup cepat mengikuti perkembangan tuntutan pengelolaan lingkungan, sosial dan tata kelola (environment, social, and governance—biasa disingkat ESG) mutakhir itu lantaran sekolah-sekolah bisnis memang tidak mengajarkannya.  Nah, secara kebetulan beberapa minggu yang lalu saya diminta untuk mengampu mata kuliah Etika Bisnis dan CSR di Universitas Prasetiya Mulya. 

Sebelum itu, sudah beberapa kali saya diminta Prasetiya Mulya untuk menguji tesis magister para mahasiswanya.  Di sana, sama dengan di banyak sekolah bisnis, tesis yang diajukan adalah rencana bisnis yang lengkap.  Betul-betul lengkap, sehingga saya bisa membaca mulai dari bagaimana five forces-nya Michael Porter diuraikan dengan mendalam, hingga rancangan baju seragam para karyawan.  Saya juga pernah menjadi juri sebuah perlombaan rencana bisnis di universitas tersebut, bersama-sama dengan salah seorang idola (dan kakak kelas) saya, perintis energi terbarukan dan bisnis sosial di negeri ini, Tri Mumpuni.

Apa yang saya saksikan dari pengalaman sebelum saya menerima tantangan mengajar di sana sangatlah menarik.  Para mahasiswa yang tesisnya saya uji sangat jelas menunjukkan minat untuk membuat bisnis yang benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat luas.  Mereka ingin bekerjasama dengan petani dan komunitas lain untuk membangun bisnisnya.  Mereka percaya pada blended value, yaitu bahwa memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dan berbisnis dengan  mereka adalah strategi yang mumpuni untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan.  Sekitar dua bulan lalu, belum lagi memulai ujian, saya bahkan sudah diberi tahu akan ada rombongan mahasiswa yang hendak membuat rencana bisnis yang memecahkan masalah kekeringan di Nusa Tenggara Timur, dan mereka menunggu saya untuk berkonsultasi.  Beberapa minggu sebelum itu, para mahasiswa yang membuat tesis tentang konversi sampah pusat perbelanjaan (dan pemukiman sekitarnya) menjadi energi juga berkonsultasi dengan saya.  Sungguh menyenangkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak kalah menyenangkannya juga ketika saya menjadi juri lomba rencana bisnis itu.  Saya tak mengikuti seluruh fase perlombaan, melainkan hanya di babak delapan besar.  Tetapi, di delapan besar itu saya mendapati rencana-rencana bisnis yang benar-benar membuat saya sumringah.  Juara pertamanya membuat rencana bisnis yang menggabungkan kecanggihan aplikasi IT, kendali atas belanja individu, dengan perhatian yang mendalam atas sampah kertas.  Juara keduanya menggunakan bisnis kain berbasis rancangan desain kontemporer dengan proses produksi yang memberdayakan para pengrajin sambil mengurangi pencemaran dari pewarnaan tekstil.  Tetapi sangat jelas, di kedelapan rencana bisnis itu, pemihakan kepada masyarakat dan/atau lingkungan, sangatlah menonjol.  Padahal, itu bukanlah lomba rencana bisnis sosial!

Saya teringat beberapa tahun lalu sempat mencuri dengar pembicaraan para mahasiswa Sekolah Bisnis Universitas Harvard di perpustakaan mereka yang terkenal itu.  Benar-benar blended value telah merasuk ke benak mereka, dan membuat saya bertanya-tanya apakah memang artikel Jed Emerson di California Management Review, Vol. 45/4 2003 yang bertajuk The Blended Value Proposition: Integrating Social and Financial Returns, adalah bacaan wajib bagi tesis mereka.  Tapi, di negeri sendiri pun, yang saya sangat yakin para mahasiswa bisnisnya tak pernah diwajibkan membaca artikel brilian itu, saya menyaksikan betapa dekatnya rencana bisnis mereka dengan pemikiran Emerson. 

Oleh karena itu, betapa bodohnya saya kalau menolak tawaran untuk mengajar mata kuliah tersebut, walau saya sesungguhnya merasa tak punya kualifikasi akademik yang memadai untuk itu.  Saya sekadar ingin untuk berbagi pemikiran, ikut mendorong percepatan, syukur-syukur bisa mengilhami para mahasiswa magister itu untuk makin meyakini bahwa bisnis masa depan adalah bisnis yang membawa manfaat yang semakin besar untuk masyarakat dan lingkungan, dengan mudarat yang sekecil-kecilnya (bahkan kalau mungkin, nihil mudarat).

Setelah saya nekat menerima tawaran itu, apa yang kemudian saya lakukan adalah memeriksa bagaimana CSR diajarkan di sekolah-sekolah bisnis paling terkemuka.  Jadilah saya memeriksa Sloan, Harvard, Stanford, Wharton, Kellogg, Columbia, Said, Cambridge Judge, dan beberapa yang lain.  Hasilnya sangatlah menarik.  Tak banyak yang mengajarkan filosofi bisnis di mata kuliah CSR-nya (mungkin hanya di Sloan, MIT, yang demikian), tetapi semuanya langsung mengasumsikan bahwa masalah yang ada di masyarakat adalah peluang untuk pemecahannya.  Demikianlah ‘CSR jaman now’, bukan lagi donasi dari ‘recehan’, sebagian kecil dari keuntungan perusahaan, melainkan bagaimana perusahaan bisa sebesar-besarnya membawa manfaat buat masyarakat luas.  CSR menjadi strategi bisnis, atau bahkan ruh perusahaan.

Saya lalu memutuskan bahwa saya akan memperkenalkan 5 tingkatan CSR perusahaan yang selama ini saya susun dari ratusan artikel dan buku yang sudah saya baca. Lima tingkatan itu: manajemen risiko, filantropi, strategik, transformatif dan disruptif; tetapi saya tak akan menjelaskan lebih lanjut tentang 2 tingkat terbawah.  Untuk apa?  Sekolah-sekolah bisnis paling terkemuka tak lagi mengajarkan CSR di tingkat itu pula.  Juga, di Indonesia, penghambat kemajuan CSR sendiri adalah benak yang masih berpikir bahwa CSR adalah sekadar alat untuk menjinakkan pemangku kepentingan (terutama masyarakat) atau sekadar berbagi keuntungan perusahaan.  Saya tak menyangkal manfaat dari keduanya, tetapi saya ingin menginspirasi para mahasiswa magister di Universitas Prasetiya Mulya untuk ‘naik tingkat’, setara dengan apa yang diajarkan di sekolah-sekolah bisnis paling terkemuka itu. 

Saya menulis ini di penghujung minggu keempat perkuliahan.  Jumat malam lalu, kami baru mendiskusikan CSR transformatif, yang diilhami oleh teori pemangku kepentingan dari Edward Freeman.  Minggu sebelumnya, kami mendiskusikan CSR strategik, dengan memanfaatkan pemikiran Michael Porter dan Mark Kramer tentang Creating Shared Value, juga sedikit memanfaatkan teori CSR dan First Mover Advantage dari Carol-Ann Sirsly dan Kai Lamertz.  Sekitar separuh waktu saya pergunakan untuk menjelaskan konsepnya, lalu separuh waktu dimanfaatkan untuk mempraktikkan bagaimana CSV dibangun (dalam CSR strategik), dan bagaimana pemangku kepentingan diidentifikasi dan isu-isu yang mereka ajukan diuji materialitasnya (dalam CSR transformatif). 

Mungkin ini klise, tapi saya merasa sangat dekat dengan sentimen sang guru Anna Leonowens dalam musikal klasik karya Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein, The King and I: "If you become a teacher, by your pupils you'll be taught."  Alih-alih saya yang merasa mengajari mereka, saya mendapatkan banyak wawasan baru dari berinteraksi dengan mereka, terutama ketika mereka memaparkan apa yang mereka temukan dalam kerja kelompok yang menggunakan alat analisis yang saya minta mereka pergunakan.  Mereka punya banyak ide yang membuat saya tergelitik, dan membuat saya tak sabar berjumpa dengan mereka lagi di penghujung minggu depan, di mana kami akan membicarakan CSR disruptif, yaitu bisnis sosial.

Pagi ini saya membaca dua buah artikel yang sangat menarik.  Yang pertama dari penulis buku The Sustainable MBA: A Business Guide to Sustainability, Giselle Weybrecht.  Yang kedua ditulis oleh Amy Lunt dari Sekolah Manajemen Universitas Bath.  Artikel Weybrecht, Greening the Business of Business Education, terbit pertengahan Oktober lalu di majalah Corporate Knights, yang mengklaim diri sebagai “the magazine for clean capitalism.”  Sementara, Lunt menulis artikel Business Schools Still Have Work to Do to Prepare Future Managers for a "Better World” di laman universitasnya.

Weybrecht melihat bahwa ada empat hal yang perlu dilakukan oleh sekolah bisnis agar bisa berkontribusi secara optimal bagi keberlanjutan.  Pertama, berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan yang sedang mencari dan menerapkan keberlanjutan dalam bisnisnya. Kedua, melakukan perubahan di kurikulum yang diajarkan kepada para mahasiswa.  Ketiga, bekerjasama dengan masyarakat sipil untuk mengetahui beragam isu keberlanjutan dan ide-ide pemecahannya yang bisa dilakukan melalui mekanisme pasar. Dan, keempat, dengan memastikan bahwa operasi sekolah bisnis itu sendiri memang taat pada prinsip-prinsip keberlanjutan, termasuk mempromosikan keadilan sosial dan lingkungan.  Saya rasa, keempat resep itu sangatlah tepat.  Kalau ada yang kemudian bisa ditambahkan mungkin adalah bahwa sekolah bisnis—yang sudah benar-benar memahami dan mengamalkan keberlanjutan—bisa membantu pemerintah membuat kebijakan publik yang mendorong keberlanjutan dalam dunia bisnis, termasuk mengusulkan perubahan dalam regulasi tata kelola serta mengusulkan kebijakan yang berpihak pada model-model bisnis berkelanjutan.

Tulisan Lunt sendiri terkait dengan hasil pemeringkatan Better World MBA yang juga dibuat oleh Corporate Knights.  Hasilnya bisa dilihat di sini: http://www.corporateknights.com/reports/2017-better-world-mba-ranking/2017-better-world-mba-results-15081317/. Berturut-turut, sekolah bisnis yang dianggap memproduksi lulusan yang kompatibel dengan tujuan masa depan (alias keberlanjutan) adalah Exeter, York, Warwick, Copenhagen, Duquesne, TIAS, MIT Sloan, Vermont Grossman, McGill, Georgia Tech, Wharton, Duke Fuqua, Erasmus Rotterdam, INSEAD, Calgary Haskayne, Griffith, Harvard, Bath, Stanford, dan Edinburgh.  Terbit tanggal 2 November lalu, tulisan itu adalah otokritik dari seorang pengajar sekolah bisnis yang kampusnya masuk 20 besar di atas.  Lunt mengingatkan bahwa sekolah bisnis perlu memperbaiki kurikulumnya, meningkatkan afiliasinya dengan berbagai pusat keberlanjutan, serta memperbanyak penelitian dan publikasinya tentang keberlanjutan bisnis. Sebuah otokritik yang, saya rasa, sangat tepat dilancarkan oleh dan kepada sekolah-sekolah bisnis.

Begitulah, tampaknya apa yang saya saksikan sedang terjadi di Indonesia memang lekat dengan apa yang terjadi di level global.  Hanya memang perlu terus difasilitasi agar semakin sempit jaraknya.  Saya betul-betul berharap bahwa di Indonesia sekolah-sekolah bisnis akan menerima tantangan sebagaimana yang sudah diambil oleh sekolah-sekolah bisnis terbaik di dunia, yaitu untuk menghasilkan para lulusan yang akan menggunakan perusahaan sebagai force for good—sebagaimana yang menjadi  motto B Corporation.  Saya juga mengkhayalkan para wisudawan sekolah bisnis di sini kelak akan membaca MBA Oath, lalu mengamalkannya sepanjang berkarier di perusahaan.  Dan, lewat peluang yang Universitas Prasetiya Mulya berikan, saya berharap bisa memberi sedikit pengaruh untuk mencapai kondisi itu.    

 

Sumber foto: https://www.anaheim.edu/schools-and-institutes/kisho-kurokawa-green-institute/mba-in-global-sustainable-management/mba-in-sustainable-management-overview.html

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler