x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Maya Angelou, Memetik Mutiara di Antara Kepahitan Hidup

Bertema kemiskinan, kekerasan, dan keterpisahan putih-hitam, karya Maya Angelou lahir di tengah riuh-rendah gerakan kulit hitam Amerika.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebagian hidup Maya Angelou adalah kepahitan belaka—kepahitan yang membuat penulis Afro-Amerika ini menjadi individu yang tak mudah membuka bilik hatinya kepada orang lain. Letter to My Daughter, yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, merekam perjalanan hidup yang diwarnai kekerasan dalam hubungan cinta, relasi hambar dengan sang ibu, serta diskriminasi ras.

Memiliki seorang nenek yang penuh perhatian menjadi keberuntungan Maya, sebab dialah yang membukakan mata tentang apa arti menjadi perempuan keturunan Afro-Amerika di sebuah negeri yang melahirkan Malcolm-X dan Martin Luther King, Jr.—sebuah negeri yang di suatu masa terkungkung oleh rasisme.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Aku melahirkan seorang anak laki-laki, tapi aku memiliki ribuan anak perempuan. Kau yang berkulit hitam dan putih, kau yang Yahudi dan Muslim, Asia, .... aku berbicara kepada kalian semua.” Seruan bagi keragaman dan toleransi yang ditorehkan dalam Letter to My Daughter ini terus ia kumandangkan hingga Maya berpulang, 28 Mei 2014.

Seruan ini jadi pengingat bagi kita—orang yang mudah lupa dan terlena oleh identitas yang mengungkung. Kepahitan telah mengajarinya bagaimana memberi senyum kepada orang lain—selalu ada harapan di balik kepahitan. “Kita mungkin menjumpai beberapa kekalahan, tapi kita tidak boleh terkalahkan,” ujarnya.

Puisinya, On the Pulse of Morning, yang ia bacakan dalam inaugurasi kepresidenan Bill Clinton pada tahun 1993 berbicara perihal harapan dan tanggung jawab—ia mengajak masyarakat Amerika: ‘lift up your eyes upon/ the day breaking for you/ to give birth again/ to the dream.’ Maya adalah penyair kedua dalam sejarah Amerika setelah Robert Frost yang diundang oleh John F. Kennedy untuk membaca puisi dalam pelantikannya pada tahun 1961.

Dalam usianya yang mencapai 86 tahun, Maya telah mewariskan lebih dari 30 buku. Lebih dari puisi-puisinya, Maya memperoleh tempat dalam sejarah literer Amerika berkat otobiografinya, yang pertama khususnya dari tujuh jilid, I Know Why the Caged Bird Sings (terbit 1969). Bertema kemiskinan, kekerasan, keterpisahan putih-hitam karya ini lahir di tengah riuh-rendah gerakan kulit hitam Amerika.

Presidential Medal of Freedom, penghargaantertinggi bagi warga sipil AS, adalah sejenis pengakuan atas ide dan aksi Marguite Johnson, nama asli Maya Angelou, yang mengilhami orang Amerika dalam memperjuangkan kebebasan, kemajemukan, dan toleransi.

Let the brain go to work,” dalam salah satu cuit-nya, “let it meet the heart and you will be able to forgive.” Inilah warisan berharga yang ditinggalkan Maya. Ia begitu percaya pada harapan. Ia juga percaya, menjadi tugas siapapun untuk berbagi kebahagiaan. “When we decide to be happy we accept the responsibility to bring happiness to someone else.”

Ia juga menginspirasi banyak orang tentang bagaimana memetik mutiara di antara beragam kepahitan hidup. Maya tak mau tenggelam dalam masa silamnya yang pahit. “Aku punya banyak awan, tapi aku juga punya begitu banyak pelangi di tengah awan-awanku.” ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler