x

Ilustrasi garis tangan by boldsky

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menolong Orang Lain, Menolong Diri Sendiri

Manusia cenderung lebih memikirkan diri sendiri ketimbang orang lain, tidak bisakah keduanya berjalan beriringan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Baru-baru ini, saya menjumpai seseorang yang dikenal hidup sederhana. Betul-betul sederhana secara materi, bukan hidup relatif sederhana dibandingkan kekayaan yang ia miliki. Apa yang menarik perhatian dari sosok ini ialah, di tengah keterbatasan materi, ia senantiasa bersikap dermawan kepada siapa saja yang memerlukan. “Kita tetap bisa bederma sekalipun kita tidak punya uang banyak dan tidak memiliki harta lebih,” ujarnya.

Bagaimana mungkin, pikir saya. “Siapapun dapat bederma melalui beragam jalan,” ujarnya lagi. “Jika kamu tidak mampu bederma dengan hartamu, kamu masih bisa bederma dengan tenagamu, waktumu, dan pikiranmu.” “Jika tetangga sedang memperbaiki genteng karena terpaan angin dan hujan, kamu bisa membantunya tanpa minta bayaran. Jika saudara sedang kesusahan, kamu dapat menolong mencarikan jalan keluar. Dengan cara seperti itu, kamu sudah bederma dengan tenaga, pikiran, dan karena itu juga dengan waktumu.”

Waktu adalah harta yang sangat bernilai, sumber daya yang sama sekali tidak dapat diperbarui dan tidak bisa dibeli. Jadi, jika kamu menyediakan waktu untuk membantu orang lain dengan tenaga dan pikiran, sesungguhnya kamu sudah bederma. Bederma, dalam konteks ini, memberi nilai tambah kepada waktu.

Bederma memang kerap dimaknai dalam konteks harta dan uang—karena itu, hanya dengan menjadi kaya seseorang berpeluang lebih besar untuk bederma, begitu asumsinya. Namun, sosok ini meluaskan pemahamannya bahwa bederma adalah jalan membantu orang lain melepaskan diri dari kesukarannya, menolong orang lain meringankan beban hidupnya. Karena itu, harta dan uang bukan satu-satunya jalan. “Siapapun tetap bisa bederma sekalipun hidup dalam keterbatasan,” katanya. “Jika kamu tidak punya cukup harta dan uang untuk berbagi, kamu masih punya waktu, tenaga, dan pikiran.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian orang berpikir bahwa di zaman sekarang, manusia cenderung lebih memikirkan diri sendiri ketimbang orang lain. Semakin kaya, semakin orang memikirkan cara menambah kekayaannya; semakin miskin, semakin orang memikirkan bagaimana keluar dari kemiskinan. Inilah aksioma zaman modern bahwa ada ketegangan yang tidak terhindari antara kecondongan membantu orang lain (altruisme) dan kecondongan mementingkan diri sendiri (selfishness). Semakin kita memusatkan perhatian, energi, maupun sumber daya untuk kemanfaatan diri sendiri, semakin berkurang pula yang dapat kita lakukan untuk orang lain lain.

Sebagian orang berusaha menemukan keseimbangan di antara kedua hal itu, dan mendapati bahwa dua kubu itu bagaikan sisi berlawanan yang sukar diakurkan. Ketika kita sibuk memikirkan orang lain, kita tidak memperoleh apa-apa untuk diri sendiri. Ketika kita sibuk memikirkan diri sendiri, kita tidak sempat membantu orang lain. Di satu momen, mungkin kita merasa bersalah karena hal itu.

Mestikah seperti itu bahwa altruisme dan selfishness dipertentangkan tanpa titik temu? Mungkinkah dikotomi ini salah? Bagaimana jika kita mengambil sudut pandang yang berbeda, bahwa dengan menolong orang lain berarti kita menolong diri sendiri, dan dengan demikian menolong kemanusiaan. Ketika kita menolong orang lain, kita telah berinvestasi kebaikan yang membuat orang lain lepas dari utang, membantu keluarga tetangga tidur lebih lelap setelah atap rumahnya tidak lagi bocor karena kita ikut memperbaiki tanpa bayaran, ataupun mengusir dahaga pedagang keliling dengan menyediakan secangkir teh manis. “Kita dapat bederma dengan beragam jalan, dengan jalan yang sederhana,” kata sosok tadi. "Dengan menolong orang lain, hati tetangga menjadi tenang, hati kita pun ikut tenang."

Dengan berbuat baik kepada orang lain, kita telah berbuat baik kepada diri sendiri, sekaligus menjaga spirit kemanusiaan kita. Dengan menolong orang lain berarti kita selalu mengasah rasa kemanusiaan kita agar tidak tumpul, menjaga agar diri kita tidak semakin tertimbun oleh debu. Di tengah rasa benci dan caci maki yang diumbar di media umum, menjaga rasa kemanusiaan memang pekerjaan yang tidak mudah. Dengan tidak ikut mencaci maki orang yang berbuat kekeliruan, sesungguhnya kita telah menolong diri sendiri. Dalam hidupnya yang sederhana, sosok ini telah memetik kearifan yang tidak sekedarnya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu