x

Seorang tunanetra sedang membaca Alquran Braille Digital yang diberikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Oesman Sapta Odang alias Oso melalui Yayasan Syekh Ali Jaber di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, 4 Mei 2017. Menurut Yayasan S

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penyandang Disabilitas dan Maskapai Penerbangan

dalam pasal 137 Undang Undang Penerbangan, penumpang disabilitas memiliki hak yang sama dengan penumpang lainnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Senin 4 Desember lalu menjadi kado terindah bagi penumpang disabilitas, Dwi Ariyani sekaligus kado terindah Indonesia untuk hari disabilitas internasional. Di hari itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan kemenangan gugatan Dwi Ariyani terhadap maskapai internasional Etihad. Maskapai itupun diwajibkan membayar kerugian material sebesar Rp 37 juta dan kerugian imateril sebesar Rp 500 juta kepada Dwi Ariyani.

 

Dwi Ariyani adalah penyandang disabilitas pengguna kursi roda yang ditolak terbang Etihad, pada 8 Maret 2016. Ia ditolak terbang dengan alasan dapat membahayakan penerbangan. Dwi juga tidak boleh naik maskapai tersebut tanpa pendamping, karena dianggap sakit dan tidak dapat menyelamatkan diri ketika harus menghadapi pendaratan darurat. Padahal sebelum terbang, Dwi sudah memenuhi berbagai persyaratan. Mulai dari check in, imigrasi hingga mendapatkan boarding pass. Tapi begitu masuk di dalam pesawat, salah satu kru Etihad menghampirinya dan memintanya turun karena Dwi berkursi roda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Perlakuan yang diterima Dwi Ariyani adalah sebuah perlakuan diskriminatif, dan sudah terbukti di pengadilan sebagai tindakan melawan hukum. Sebab, dalam Pasal 137, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disebutkan, penumpang berkebutuhan khusus berhak mendapat perlakuan yang sama. Maka, kasus ini dapat dijadikan yurisprudensi bagi penumpang disabilitas lain ketika mendapat perlakuan diskriminatif dalam sebuah proses penerbangan.

 

Salah satu teman Tunanetra saya juga pernah mendapat perlakuan diskriminatif. Kali ini  dari sebuah maskapai penerbangan dalam negeri. Saat itu, teman Tunanetra yang bernama Deny Yen Martin Rahman mengalami kejadian yang sama dengan Dwi Ariyani. Ia diturunkan karena dianggap tidak dapat terbang sendirian tanpa pendamping. Padahal, sebelumnya Deny adalah pelanggan maskapai tersebut. Namun kasus ini tidak berlanjut. Setelah dimediasi, Deny memperoleh tiket pengganti penerbangan  dengan kelas yang lebih ekslusif, untuk mencapai kota tujuannya.

 

Sebenarnya, ada beberapa tips, agar penyandang disabilitas tidak perlu mengalami resistensi dari maskapai penerbangan. Sebagai penumpang berkebutuhan khusus, ada baiknya, menginformasikan pihak maskapai. Biasanya, bisa dilakukan melalui konferensi telepon. Informasikan, bila sebagai penumpang berkebutuhan khusus, penerbangan, bisa dilakukan secara mandiri. Tapi tak lupa kemukakan soal kebutuhan pendampingan saat menghadapi proses imigrasi atau pengambilan bagasi. Beberapa maskapai kadang mensyaratkan informasi penjemputan, maka tak ada salahnya memberikan nomor kontak penjemput. Pada beberapa maskapai, biasanya langsung ditanggapi dan disediakan pendampingan.

 

Seperti salah satu teman Tunanetra, Juwita Maulida, yang sering melakukan penerbangan sendirian. Ia mengaku, selalu mengkonfirmasikan lebih dulu ke pihak maskapai bila dirinya akan melakukan penerbangan sendirian. Ia juga menginformasikan lebih dulu, mengenai kondisinya yang merupakan penumpang berkebutuhan khusus. Ia akan meminta pihak maskapai penerbangan soal pendampingan sebelum dan sesudah terbang. “Biasanya ada petugas yang kemudian membantu saya di tenmpat check in dan mengambil bagasi,” ujar Juwita.

 

Biasanya, penumpang berkebutuhan khusus akan masuk ke dalam pesawat lebih dulu bersama penumpang kelas bisnis dan penumpang yang membawa balita. Penumpang berkebutuhan khusus,, lalu didudukkan sesuai dengan kursi yang tertera di boarding pass. Selebihnya, penumpang berkebutuhan khusus tetap diperlakukan sama dengan penumpang lainnya. Ketika pesawat mendarat, maka penumpang berkebutuhan khusus menjadi penumpang yang turun paling akhir. Biasanya, awak pesawat akan mendampingi sampai garbarata atau shuttle bus.

 

Sesampai di garbarata atau shuttle bus, pendampingan penumpang berkebutuhan khusus dipindahtangankan. Petugas berbeda akan mendampingi sampai tempat pengambilan bagasi atau imigrasi. petugas yang mendampingi itu juga akan mengantarkan sampai ke penjemput atau kendaraan yang dibutuhkan. Misalnya, sampai penumpang berkebutuhan khusus menemukan penjemputnya, taksi online atau bus bandara.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu