x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Leviathan dan Negara yang Humanis

Demokrasi akan berjalan sebagai mana mestinya jika perimbangan kekuatan terjadi di dalamnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demokrasi akan berjalan sebagai mana mestinya jika perimbangan kekuatan terjadi di dalamnya. Kekuatan masyarakat berada di posisi yang setara dengan kekuatan negara atau pemerintah. Jika hal ini dapat terpenuhi, konsolidasi demokrasi akan dapat berjalan lancar. Namun, jika negara berada pada posisi yang lebih kuat dan superior dibanding masyarakat, maka cepat atau lambat negara tersebut akan sampai kepada otoritarianisme.  

Negara jangan menampilkan wajah seramnya, atau malah membuat regulasi yang melemahkan masyarakat. Pelemahan terhadap masyarakat dengan embel-embel regulasi adalah sebuah paradoks dalam berdemokrasi. Karena, secara tidak sadar negara secara harus berupaya memperkuat diri. Bukan cuma itu, pelibatan alat negara dalam setiap pengamanan kegiatan elit nasional dan kemudian dihadapkan dengan masyarakat, juga menjadi ketidaketisan dalam ranah demokrasi.

Cara pandang yang harus di ubah adalah, negara harus bersinergi dan gotong royong dalam pembangunan dengan masyarakat. Upaya negara untuk memperkuat diri, justru dapat ditafsirkan sebagai pola fikir negara ingin menguasai masyarakat. Negara tidak boleh menyuperiorkan diri atas masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kekuatan dan kekuasaan negara atas masyarakat menjadi modal dasar wajah seram negara. Dengan dua hal tadi, membuat masyarakat tunduk dengan cara-cara paksa. Negara bisa saja bertransformasi menjadi Leviathan (sejenis makhluk raksasa penguasa lautan menurut perjanjian lama) seperti yang disampaikan oleh Thomas Hobbes. Makhluk ini selalu mengancam keberadaan makhluk lain, sehingga membuatnya ditakuti dan perintahnya dituruti. Maka seperti itulah seharusnya negara menurut Hobbes, dimana negara itu harus ditakuti oleh masyarakat atau rakyatnya. Negara itu mutlak atas kekuasaannya dan tidak boleh terpecah. Hal ini tentu untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah atas rakyatnya, dan juga meminimalisir the people power.

Negara dengan sifat seperti itu harus dihindari, terlebih di zaman demokrasi ini. Sifat negara yang diibaratkan seperti Leviathan tadi justru akan membuat batas yang kuat antara pemerintah dengan masyarakat. Dengan terpusatnya perencanaan pembangunan pada pemerintah, masyarakat hanya menerima jadi kebijakan pemerintah, dan menjadi obyek dari kebijakan itu. Sehingga, tidak akan ada feedback yang didapat pemerintah dari masyarakat atas kebijakan tersebut.

Negara itu tidak perlu memasang wajah “seram” untuk  memunculkan kepatuhan dan ketertiban masyarakat, penggunaan aparat bersenjata salah satunya. Hal ini layaknya upaya “penjinakan” paksa dari negara kepada masyarakat. Memunculkan penghormatan dari masyarakat kepada negara cukup di dapat dari hal-hal yang humanis dan hakikat keberadaan negara itu sendiri. Pemerintah, selaku representasi dari negara, harus melakukan tupoksi dan menyadari arti keberadaan mereka untuk rakyat.

Sifat Kolektif

Pemerintah itu ibarat orang tua, dan masyarakat adalah anaknya. Orang tua mengajarkan anaknya untuk mandiri dan berfikir untuk mengatasi setiap permasalahan, dan tak lupa membedayakan kemampuan anak-anaknya untuk menunjang kemandirian tadi, misal dengan memberi pelatihan ketimbang terus memanjakan anaknya dengan uang. Soal anggaran, orang tua memang tidak bisa melepaskan tanggung jawab ekonominya terhadap anak, kebutuhan primer sang anak tentu harus dipenuhi, namun kebutuhan sekunder dan tersier sang anak biar sang anak sendiri yang memenuhinya dengan kemampuannya. Nah, dalam konteks pembangunan, seperti itulah gambaran relasi antara pemerintah dengan anaknya, relasi yang bersifat konstruktif. 

Masyarakat yang partisipatif bukanlah Animus Dominandi, yaitu masyarakat yang haus akan kekuasaan, tetapi adalah masyarakat kolektif. Dalam pembangunan partisipatif, konsep negara  ibarat Leviathan itu tidak bisa dipakai. Bagaimana negara itu menjadi fasilitator untuk “menggali” potensi masyarakat bila pemerintah merupakan sesuatu yang ditakuti oleh masyarakatnya? Masyarakat menjadi takut dan tidak ingin berpartisipasi terhadap hal yang berkaitan dan dilaksanakan oleh pemerintah. Apakah negara dengan konsep Leviathan itu menjamin kesamarataan kualitas penduduk? Tentu tidak, karena kecendrungan pilih kasih wilayah akan terjadi.

Kebersamaan atau kolektivitas dari para partisipatoris, itulah yang diperlukan dalam pembangunan partisipatif. Ego dan kepentingan individu hanya akan menghambat kemajuan. Seperti ungkapan Thomas Hobbes, Bellum ompium contra omnes, yang artinya setiap orang yang memperlihatkan perasaannya sungguh egoistis. Pembangunan partisipatif bukan untuk kekuasaan atau bahkan eksistensi, tetapi justru untuk kemaslahatan bersama, yang merupakan refleksi dari kesamaan kualitas antar daerah.

Pembangunan itu mestinya berlangsung timbal balik, interaksi antara pemerintah dan masyarakat mestinya bersifat interaktif (tidak satu arah). Karena, pembangunan itu bersama masyarakat, bukan diperuntukkan untuk masyarakat. Karena dengan bersama, maka sifatnya akan partisipatif. Dan untuk lebih jauh, untuk terciptanya Good Governance, sinergitas ditambah dengan kehadiran pihak swasta. Apabila pemerintah kesulitan dalam penyediaan lapangan kerja dan surutnya perputaran uang, maka pihak swasta hadir untuk menutupi itu.

Seperti halnya Demokrasi, Pembangunan partisipatif ini juga bersifat dari masyarakat, untuk masyarakat dan oleh masyarakat. Perlu dihilangkan batas yang tebal antara pemerintah dengan rakyatnya, terlalu jauh beda kualitas pakaian dan pola hidup pemerintah dengan rakyatnya, ibarat kata, jika kau ingin merasakan penderitaan hidup petani, tidurlah dengan kutu-kutu petani”. Sehingga, akan ada feedback dari pembangunan yang kontruktif ditengah-tengah masyarakat, tidak lagi bersifat satu arah dari pemerintah. Dengan pembangunan partisipatif, masyarakat akan diberdayakan untuk meningkatkan kualitasnya, karena masyarakat dilibatkan dalam berbagai tahap dalam proses pembangunan. Pemerintah menjadi fasilitator dalam proses pemberdayaan masyarakat. Dengan metode Pedagogi, maka pemerintah menjadi tipe fasilitator yang ‘mengaduk’ berbagai kelebihan dari masyarakat, bukan menjadikan masyarakat sebagai gelas kosong yang selalu diisi.

Ikhsan Yosarie

Sumber Foto : sandara - DeviantArt

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler