x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Seruan Boikot Tumpul?

Memboikot produk akan efektif jika dijalani sebagai aksi kultural.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Beberapa minggu lalu, sebagai tanggapan atas keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel, seruan boikot terhadap produk Amerika berkumandang. Seruan itu kini luruh, kumandangnya memudar, sebab setelah seruan tidak ada tindak lanjut secara politik, ekonomi, maupun kultural.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Boikot produk bukanlah sekedar konsumsi politis agar pihak lain mendengar seperti apa sikap kita, tapi juga menyangkut aspek budaya, termasuk gaya hidup masyarakat. Banyak sekali produk perusahaan Amerika yang sudah puluhan tahun dikonsumsi masyarakat kita, bahkan banyak yang diproduksi di sini. Masyarakat menonton film-film Hollywood, menyantap ayam KFC, memakai sepatu Nike, dan mengisap rokok Marlboro.

Jelaslah bahwa banyak sekali produk Amerika yang sudah jadi bagian dari gaya hidup masyarakat kita. Sebagai contoh, masyarakat kita sejak lama terbiasa makan sayuran, tapi sebagian generasi baru kita lebih menyukai hidangan cepat saji yang miskin sayuran: ayam goreng saja tanpa lalap, burger tanpa sayuran, minuman bersoda ketimbang air kelapa muda. Boikot produk akan efektif secara politik dan ekonomi apabila masyarakat mampu keluar dari kultur yang selama ini sudah mereka serap melalui makanan, minuman, tontonan, busana, kendaraan, hingga cara hidup.

Sanggupkah masyarakat tiba-tiba harus melepas semua itu? Tidak lagi makan ayam KFC dan beralih ke ayam goreng Hisana kalau di Bandung), tidak lagi memakai sepatu Nike dan beralih ke produk Cibaduyut, tidak akan menonton The Last Jedi tapi akan membanjiri gedung bioskop yang sedang memutar Keluarga Cemara? Tidak lagi minum di kedai Starbuck dan lebih bangga menyeduh kopi sendiri?

Kita tahu Indonesia salah satu produsen terbaik kopi dunia, tapi kita juga tahu bahwa sebagian masyarakat tergila-gila pada kopi Starbucks, yang sebagian kopinya berasal dari Indonesia. Di dalamnya ada urusan gengsi, karena menyangkut brand dunia dan akses pada secangkir kopi yang mahal [Tanpa ada seruan boikot sekalipun, saya selama ini belum pernah minum kopi di Starbucks karena tak mampu mengakses produknya; dan karena itu saya terbebas dari gaya hidup Starbucks].

Lebih dari sekedar isu politik maupun ekonomi, boikot produk sesungguhnya merupakan aksi kultural jika kita mampu melakukannya. Sebagai perlawanan budaya, boikot bermakna kita berpindah dari produk asing ke produk buatan sendiri. Tentu saja, ini bagus karena akan mendorong pertumbuhan masyarakat kita sendiri, secara ekonomi maupun kultural. Pertanyaannya: “Apakah kita sanggup melakukannya? Apakah kita percaya diri untuk melakukan hal itu? Apakah kita tidak jadi minder karena tidak lagi makan di restoran waralaba Amerika? Apakah kita jadi bangga karena setiap hari menyantap nasi pecel, soto, rendang, kopi tubruk, teh tarik?” Seharusnya begitu, tapi kenyataannya ini bukan hanya perkara ‘seharusnya’ atau normatif belaka. Seruan tidak akan efektif tanpa aksi kultural.

Boikot akan efektif apabila masyarakat sanggup beralih kepada produk-produk domestik. Kita memiliki banyak produk mengesankan dan membanggakan: mulai dari kuliner, musik, busana dengan tenun dan batiknya, tari, lukis, dan sebutkan apa saja. Soalnya ialah hegemoi budaya melalui makanan, musik, tontonan, tari, busana, dan sebagainya itu sudah merasuki sumsum kehidupan masyarakat. Memboikot produk berarti membersihkan sumsum kehidupan ini dari pengaruh asing secara berlebihan. Sebagai aksi kultural, ini lebih mudah dikatakan ketimbang dijalani. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB