Ketika Puan Maharani Mengadu ke Bung Karno

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Puan Maharani berziarah ke sumur peninggalan Bung Karno

Siang itu, dengan mengenakan baju putih berbalut selendang, Puan Maharani menyempatkan diri melihat isi rumah pengasingan Bung Karno (kakeknya) di Bengkulu. Seperti ada perasaan khas yang ia rasakan setiap kali mengunjungi tempat bersejarah itu. Bukan hanya merasakan seperti pulang kampung, tapi semacam ada kedekatan psikologis yang tak terbantahkan, dan seakan-akan ia begitu dekat dan menyatu dengan suasana tempat itu.

Melihat seisi rumah, membawa imajinasinya pada puluhan tahun silam, bagaimana Bung Karno diasingkan di tempat itu. Jauh dari keluarga dan teman-teman pergerakan karena dianggap membangkang terhadap pemerintahan kolonialisme Belanda. Tempatnya sederhana, atau mungkin cukup lumayan ketika pada masa itu. Tapi seindah dan sebagus apapun, diasingkan tetaplah sebuah penderitaan. Puan Maharani mencoba merasakan itu, melalui setiap sentuhan tangannya pada benda-benda peninggalan pendahulunya itu.

Penat yang dirasakannya karena tugas negara yang padat dan menumpuk, seperti lenyap ketika menikmati dan ikut merasakan kembali bagaimana suasana di rumah itu. Pada saat yang bersamaan, segala usaha dan ikhtiar yang dilakukan Puan Maharani untuk ikut memberikan kontribusi terhadap negeri seperti tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan para pendahulunya. Meski dengan fasilitas seadanya, dan serba kekurangan, tapi kecintaan terhadap negeri mampu diwujudkan dengan kerja besar yang nyata.

Tidak lupa, ia bergegas menuju sebuah sumur di belakang rumah. Sumur warisan Bung Karno, yang disebut-sebut mendatangkan berkah bagi siapa pun yang datang. Puan Maharani menyempatkan diri untuk mengambil wudhu dengan air sumur itu. Ia merasakan kesegaran luar biasa dari setiap siraman air wudhu dari air sumur tersebut. Bukan hanya segar secara fisik, tapi menelusup pada relung-relung psikis yang membuat tubuh seperti tenang, damai, dan nyaman. Kekuatan magis, yang selalu ia rasakan dalam setiap berwudhu. Lelah fisik bisa dengan istirahat, tapi lelah psikis bisa dihilangkan dengan mengambil wudhu, begitu keyakinan religius yang tertanam dalam diri Puan Maharani.

Dalam Islam, wudhu bukan hanya “ritual” cuci muka dan sebagian anggota badan lainnya untuk menghilangkan hadas kecil sehingga bisa melakukan ibadah seperti shalat, membaca al-Quran, dan lainnya. Tapi lebih dari itu, wudhu sendiri pun adalah ibadah. Jadi bagi siapa yang melakukan wudhu, ia sudah mendapatkan pahala. Wudhu adalah simbolisasi kesucian tubuh, sehingga tidak “tertarik” untuk melakukan hal-hal yang dilarang dan maksiat. Orang yang sedang mempunyai wudhu akan terlindungi, terselamatkan, dan berkah. Sehingga tidak aneh ketika dalam ajaran Islam, dianjurkan untuk dawam wudhu (terus menerus dalam kondisi tidak batal wudhu).

Melalui kunjungan ke tempat itu, Puan Maharani merasakan kesegaran-kesegaran yang tak mampu dijelaskan. Merasa segar karena bisa melakukan napak tilas dan menikmati kembali suasana psikologis di tempat itu, dengan merenung dan mengingat segala bentuk perjuangan dan suasana yang dirasakan dulu ketika dengan segenap kekurangan dan kondisi tertekan dirasakan oleh Bung Karno. Segar karena mendapatkan banyak pelajaran. Segar karena bisa menyempatkan diri mengambil wudhu di sumur peninggalan Bung Karno. Segar secara fisik dan psikis karena tubuh seperti di recharge sehingga memunculkan semangat dan optimisme baru untuk kembali mengabdi pada bangsa.

Maka, dalam konteks ini, kita tidak bisa hanya memaknai sikap Puan Maharani dalam konteks menghargai dan merawat sejarahnya, tapi ternyata sikap dan perilaku religius Puan Maharani terlihat ketika ia mengambil wudhu. Puan Maharani luar biasa.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Samsul Khairuman

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler