x

Iklan

Syarif Yunus

Pemerhati pendidikan dan pekerja sosial yang apa adanya
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik Jago Koar, Praktik Nol Besar

Zaman now banyak orang pandai bicara alias jago ngomong. Maka jadillah politik jago koar-koar; tapi praktik nol besar ...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Zaman now emang keren banget.

Bukan cuma zamannya yang maju pesat. Tapi orang-orangnya pun makin keren. Salah satu cirinya, makin banyak orang yang jadi "tukang bicara". Iya tukkang bicara. Lihat aja di TV. Atau di seminar-seminar. Orang-orang yang pandai bicara makin banyak saja. Mereka semua tukang bicara. Kadang, kita dibikin terbius kalau mereka udah bicara. Salut pada apa yang dibicarakannya. Apalagi ditambah retorika, plus gaya ngomongnya yang berapi-api. Woww, luar biasa sekali. Hebat, memang jadi tukang bicara.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tukang bicara, itu sama artinya dengan jago ngomong. Alias orang yang kerjaannya bicara. Ngomong melulu. Segala rupa, segala masalah diomongin. Apa saja, kelihatannya gampang banget diomongin. Hampir gak ada masalah yang gak ada solusinya, kata si tukang bicara. Kalo mau bikin negara maju, gampang katanya. Kalo mau ekonomi bangsa ini tumbuh, gampang ngomongnya. Kalo mau masyarakat sejahtera, caranya begini katanya. Pokoknya, semua urusan gampang dan mudah deh di mata si tukang bicara.

 

Ya, namanya tukang bicara. Ngomong di muka umum. Live di televise. Bicara dimana-mana. Terus bilang “negara harusnya begini baru bisa sejahtera rakyatnya”, “pemerintah semestinya begini jika mau gak ada korupsi”. Keren banget si tukkang bicara kalo udah ngocveh. Tapi kalo dipikir, ada benarnya juga sih. Serahin aja semua urusan sama "si tukang bicara", saya rasa negara ini beres dalam sekejap. Semua masalah bakal tuntas. Negara ini bakal "gemah ripah loh jinawi" deh, ciamikk.

 

Namanya juga tukang ngomong. Kan teori doang. Praktiknya belum tentu bisa.

Cuma khawatir saja. Takutnya tukang bicara itu bisanya cuma ngomong doang. Tapi tidak pandai berbuat. Dia pandai bicara tapi tidak pandai aksi nyata. Alias yang dia omongin, sebenarnya gak pernah dia lakukan. Lagian, siapa yang bisa buktikan “yang diomong” itu sama persis dengan “yang diperbuat”? Sama sekali, omongan yang gak bisa dipertanggungjawabkan.

 

Di mata tukang bicara. Negeri ini katanya indah banget. Tapi berapa di mata dia, semua masalah pun bisa dan mudah diperdebatkan. Jika perlu, didiskusikan di depan publik plus live di televisi. Tukang bicara, paling doyan disorot media, dipakein mic, dan tiap ditanya dijawab. Hebat dan hebat semua. Tapi sayang, itu semua versi si tukang bicara; si jago ngomong. Seakan, semuanya beres dengan dibicarakan, diomongin doang.

 

Orang pintar, apalagi rakyat jelata. Kalo lihat si tukang bicara udah berkoar-koar pastinya keren banget. Apalagi ditambahin retorika. Woww, semua yang dengar pasti terbius. Sambil angguk-angguk. Luar biasa sekali. Bahkan di mata si tukkang bicara, “yang salah bisa jadi benar; yang benar bisa jadi salah”. Sesuatu yang jelek buat toleransi bisa di balik jadi baik. Sebaliknya, yang mengancam persatuan bisa dianggap baik. Hebatlah si tukang bicara. Padahal, ahhh… itu semua retorika doang, omongan doang. Lalu, mereka menafikkan akal sehat. Hati nurani pun dibunuh oleh argumentasinya. Apalagi, ditambahin “bumbu” agama sedikit. Wah, jadilah tuh barang ...

 

Zaman now memang aneh.

Kita ini sebagai bangsa, membela rame-rame kedaulatan negeri ini saat dilecehkan bangsa lain. Tapi di saat yang sama, kita juga mudah tercerai-berai akibat beda pilihan politik, beda idola emimpin. Tapi ikrarnya bilang; satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Aneh sekali.

 

Sekali lagi, hati-hati pada si tukang bicara.

Karena biasanya, si tukang bicara itu makin banyak berkicau karena mereka sedang galau, sedang resah. Mereka tak lebih hanya sedang “memperjuangkan” mimpi-mimpi mereka yang gak kesampean. Mereka frustasi pada dirinya sendiri. Tapi ide dan pikirannya “di lempar-handukkan” ke orang lain. Kenapa bisa? Karena mereka sedang hidup di "negeri fantasi" bukan di "negeri realitas". Tukang bicara itu utopis sejati.

 

Sebenarnya, jadi tukang bicara itu bagus. Jika diikuti dengan perbuatan. Apa yang diomong harus sama dengan yang diperbuat. Tapi jangan jadi orang yang pandai bicara. Hanya untuk melemahkan orang lain. Pandai bicara untuk mencela, mencaci lalu mencari salah orang lain atau pemimpinnya. Padahal, dirinya sendiri “gagal” dalam eksekusi pikirannya sendiri. Maka, di mata si tukang bicara. Urusan benar-salah tidak lagi jadi ajaran. Tapi jadi “lahan” perdebatan dan retorika semata.

 

Jadi tukang bicara; jago ngomong. Bahkan mahir menangkis pertanyaan. Itu anugerah yang patut disyukuri. Tapi itu semua, bukan jaminan adanya kebaikan, kebenaran, bahkan kejujuran di dalamnya. Justru, bisa jadi ajang si tukang bicara untuk bersilat lidah. Seperti kata hadits Nabi, "Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada adalah orang munafik yang pandai bersilat lidah." Cobalah hal ini direnungkan sedikit saja...

 

Maka untuk renungan kita. Apalah artinya jadi “tukang bicara” bila tak sesuai dengan yang diperbuat. Berhati-hatilah dalam bicara, hati-hatilah jadi “tukang bicara”.

 

Karena zaman now, BANYAK ORANG YANG HANYA PANDAI BICARA. TAPI PRAKTIKNYA NOL BESAR….. Ciamikk

Ikuti tulisan menarik Syarif Yunus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu