x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dilema Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Disabilitas

peserta didik dengan disabilitas lebih baik mengikuti pendidikan inklusif dari awal atau saat jenjang sekolah menengah saja?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi keluarga yang memiliki anak atau anggota keluarga penyandang disabilitas terkadang berdiri di persimpangan jalan, saat memilih metode pendidikan. Apakah anak sebaiknya menempuh jalur inklusif atau pendidikan khusus? Permasalahan yang sering dihadapi adalah, bila diikutkan pendidikan inklusif, anak penyandang disabilitas rawan perundungan. Namun bila terlalu lama merasakan pendidikan khusus, anak akan berada di dalam zona aman dan homogen yang dikhawatirkan nantinya tidak dapat berinteraksi sosial secara umumnya.

 

Akhirnya, ada beberapa keluarga yang memilih menunggu usia kematangan anak untuk menerima pendidikan inklusif. Misalnya, untuk pendidikan dasar, anak penyandang disabilitas disekolahkan di sekolah khusus. Tapi ketika memasuki usia sekolah menengah, anak disekolahkan di sekolah umum. Namun ada pula yang memilih untuk bersekolah di sekolah umum dengan usaha dan biaya dua sampai tiga kali lipat lebih besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dalam sudut pandang lain, masalah yang dihadapi peserta didik inklusif tidak sekedar dari besarnya beban biaya dan usaha yangwajib dimiliki peserta didik dengan disabilitas. Peserta didik disabilitas yang menempuh pendidikan di sekolah umum juga harus menghadapi kurikulum “kaget”. Serta keterbatasan akses yang tidak dapat dipenuhi pihak sekolah. Terutama bagi anak penyandang disabilitas yang awalnya bersekolah di sekolah khusus kemudian melanjutkan ke sekolah umum.

 

Salah satu contohnya, perbandingan kurikulum pendidikan khusus dengan kurikulum pendidikan umum yang berada di bawah kurikulum umum tiga sampai empat tingkat. Misalnya matematika yang diajarkan di kelas VI sekolah khusus, adalah materi yang sudah dipelajari di kelas IV sekolah dasar umum. Bila dijalani ke sekolah umum, peserta didik tentu harus belajar lebih keras untuk mengejar ketertinggalan walau peserta didik disabilitas tidak kalah cerdas dengan peserta didik pada umumnya.

 

Ada pula faktor lain di luar kurikulum yang bisa saja menghambat proses belajar. Misalnya faktor sosial dan psikologis yang jauh lebih sulit dihadapi. Salah satu contohnya perundungan, baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak oleh peserta didik maupun pengajar. Tentu bagi anak yang tidak terbiasa, mereka akan menarik diri.

 

Dalam salah satu survei sosial kemasyarakatan yang dilakukan lembaga swadaya masyarkat internasional, 4,6 juta penduduk Indonesia yang tidak menempuh bangku sekolah, 18 persennya adalah penyandang disabilitas. Salah satu kausanya Menurut analis hukum dan kebijakan mengenai isu disabilitas dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, 18 persen yang tidak bersekolah itu merupakan kelompok yang jengah menerima perlakuan diskriminatif di lingkungan sosial kemasyarakatan. Mereka bukan pula kelompok masyarakat dengan ekonomi lemah yang tidak bisa membayar lebih untuk fasilitas pendidikan.

 

Namunfakta tersebut tidak bisa dijadikan dasar menilai bila penyandang disabilitas putus asa untuk bersekolah. Sebab, ada yang berusaha untuk mengikuti pendidikan dengan kurikulum umum, namun sekolah yang melabeli dirinya sebagai institusi inklusif tidak siap menghadapi peserta didik dengan disabilitas. Sama saja apa yang dilakukan lembaga tersebut menutup akses bagi penyandang disabilitas untuk terpapar pengetahuan. Misalnya, bagi peserta didik dengan disabilitas netra, tidak mungkin proses belajar mengajar dengan menggunakan metode gambar. Atau tidak mungkin bagi peserta didik dengan disabilitas rungu menggunakan fasilitator suara. begitu pun ketikamereka harus mengikuti ujian.

 

Dengan adanya pernyataan kesiapan institusi pendidikan  menjalani program inklusif, lembaga tersebut tetap tidak dapat sembarangan melabeli diri sebagai lembaga inklusif bila belum siap menerima dan menyediakan fasilitas yang pantas bagi peserta didik dengan disabilitas.

 

Beberapa penyandang disabilitas yang sudah menempuh pendidikan umum dari awal menceritakan, tidak jarang mereka harus menyumbang kepada sekolah demi mendapatkan akses yang setara. Misalnya membawa sendiri alat perekam suara dan laptop berpembaca layar bagi penyandang disabilitas netra ketika mengikuti pelajaran di kelas. Ada pula penyandang disabilitas daksa yang sampai membangun railling sendiri di sekolahnya demi mempermudah mengakses kelasnya.

 

Inklusif memang merupakan upaya penyediaan akses pendidikan yang setara bagi penyandang disabilitas. Namun istilah ini tidak serta merta menyerahkan seluruh beban akses pada penyandang disabilitas yang akan mengikuti pendidikan umum. Bagaimanapun beban mereka jauh lebih besar dari padapeserta didik lainnya. Bila ada persistensi dari peserta didik disabilitas, tidak lantas pula membuahkan rasa kasihan. Komponen nilai, tugas, kewajiban sikap dan emosional tetap menjadi tanggung jawab pribadi peserta didik disabilitas.

 

Apapun pilihan bentuk pendidikan yang akan ditempuh dari awal, setiap peserta didik dengan disabilitas harus membekali diri lebih banyak dari peserta didik pada umumnya. Bukan berarti mengikuti pendidikan di sekolah khusus peserta didik disabilitas menjadi terlena. Sebab, ada kehidupan sosial di luar sana yang lebih keras menanti. Namun tak lantas pulamemaksakan diri dari awal mengikuti pendidikan umum bila belum benar-benar terbekali. Jangan sampai jenjang dan jenis pendidikan malah menyedot dan menenggelamkan kualitas diri peserta didik dengan disabilitas.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu