Sejak tahun 1992 hingga disahkannya Undang Undang tentang Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016, ada sekitar 114 regulasi yang mengatur tentang hak – hak dan kedudukan penyandang disabilitas. Bukan sekedar persamaan saja, regulasi tersebut juga mengatur mengenai pedoman inklusif, dimana penyandang disabilitas tidak lagi dianggap sebagai warga negara berbeda dan memerlukan perlakuan khusus. Tapi apakah sebenarnya, 114 regulasi dalam berbagai bentuk tersebut merupakan produk kebijakan yang berdasar atas persamaan kedudukan sebagai warga negara atau hanya produk “sumbangan”?
Peneliti dari Pusat Study Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menilai 114 regulasi itu mayoritas merupakan produk “charity”. Indikator regulasi tersebut sebagai aturan charity menurut Fajri adalah berbagai hal selalu dibuatkan peraturan khusus yang malah membedakan penyandang disabilitas. Bukan atas dasar inklusif. “Indikator kedua masih banyak aturan dibuat dengan memanfaatkan isu bantuan sosial, bukan pada persamaan hak,” ujar Fajri Nursyamsi saat menjadi pembicara di acara pendidikan inklusif, di Kolega Co Woerking Space, Jalan Prof. Satrio, Jumat dua pekan lalu.
Mayoritas aturan sumbangan yang ada dalam kelompok 114 produk itu bermacam-macam bentuknya. Ada yang berupa undang undang, peraturan pemerintah,peraturan menteri dan peraturan daerah. Aturan aturan tersebut berada pada rentang pembuatan tahun 1992 hingga 2016. “Memang beberapa aturan yang lama juga bersifat charity, tapi aturan lama sudah banyak yang direvisi, kalau yang ada dalam bentuknya sekarang yaitu, 114 regulasi tersebut,” ujar Fajri.
Aturan tentang penyandang disabilitas memang perlu dibuat sebagai penguat dasar hukum bagi para penyandang disabilitas. Terlepas aturan tersebut dibuat atas dasar sumbangan saja dari pemerintah, setidaknya regulasi tersebut dipastikan melewati proses kajian sebelum disahkan. Tentu, aturan tersebut belum sempurna mengakomodasi kebutuhan para penyandang disabilitas. Tapi setidaknya, regulasi yang dibuat dalam setiap rentang pemerintahan dapat melindungi hak penyandang disabilitas sebagai warga negara.
Aturan terbaru yang sangat memberi dampak cukup besar adalah revisi undang undang nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, menjadi undang undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dalam undang undang terbaru, pemenuhan hak bekerja penyandang disabilitas lebih diakomodasi. Undang undang ini mencantumkan pasal yang mewajibkan bidang usaha di sektor privat memiliki karyawan penyandang disabilitas sebanyak 1 persen dari jumlah seluruh karyawannya.
Dalam undang undang tersebut juga tercantum, mengenai kewajiban lembaga pemerintahan menyediakan posisi bagi karyawan penyandang disabilitas sebanyak 2 persen dari seluruh jumlah pegawai. Meski tercantum kata wajib, tidak ada tindak lanjut yang dapat dipertanggungjawabkan institusi bila mereka tidak melaksanakan amanat undang undang. Tidak ada affirmative action yang dapat menggerakkan para penyedia lapangan pekerjaan memenuhi kuota tersebut.
Mungkin, daya atur yang tidak tepat sasaran inilah yang membuat beberapa teman dari organisasi penyandang disabilitas memandang pesimis aturan ini sebagai “charity” dari pemerintah. Padahal faktanya, beberapa lembaga pemerintahan sudah menyediakan kuota pekerjaan untuk penyandang disabilitas. Hanya saja, penyerapan kuota tersebut kurang, karena alasan sosialisasi dan proses perekrutan yang belum memenuhi kaidah inklusif. “Ada juga faktor ketidaktahuan dan ketidakpercayaan diri dari penyandang disabilitasnya untuk melamar posisi pekerjaan tersebut,” tutup Fajri.
Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.