Alexis Ditutup (Lagi)
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB![img-content](https://img.tempo.co/indonesiana/images/all/2018/04/02/Alexx.jpg)
Iklan
![img-content](https://webtorial.tempo.co/mulyana/indonesiana/desktop/assets/image/ads/adsartikel.png)
Semata untuk memenuhi janji kampanye ataukah hanya langkah awal pemerintah mengontrol moral warganya?
Urusan 'dada, paha, dan ranjang', memang mudah menarik perhatian khalayak. Hal itu terkadang menjadi bahan pergunjingan dalam mengukur moral seseorang. Saking mudahnya topik itu menggema, sangat ampuh dimanfaatkan sebagai amunisi politik saat pilkada.
Alexis adalah contohnya. Hotel plus panti pijat ini terus diburu pemprov DKI lantaran santer dianggap sebagai tempat prostitusi dan terlanjur terlontar saat kampanye pilgub DKI 2017 lalu. Tentu saja, janji harus ditepati.
Ada dua hal yang dicermati dalam penutupan penuh Hotel Alexis. Apakah itu semata hanya untuk memenuhi janji kampanye, ataukah hanyalah langkah awal pemerintah dalam mengontrol moral warganya?
Tempat hiburan malam -yang biasanya dikonotasikan kaum religi sebagai sarang maksiat- sebenarnya bertebaran di Jakarta. Hanya dengan ngulik Google, lokasinya langsung terlihat. Lalu kenapa hanya Hotel Alexis yang gencar diburu? Apakah referensi pemprov sangat minim soal ini? Faktanya tempat lain masih subur beroperasi di Jakarta. Lihat saja laporannya di sini.
Mengingat penutupan 'sarang maksiat' itu mendapat dukungan warga. Lantas, apakah ini menjadi langkah awal pemerintah dalam mengontrol moral warga? Yang nantinya bisa dimanfaatkan oknum tertentu untuk mengurusi gaya berpakaian hingga urusan telanjang di kamar sendiri.
Sebenarnya, agak sulit menakar moral seseorang hanya dari gaya berbusana, tutur katanya ataukah rajin sholatnya. Satu takaran yang paling mudah diukur adalah 'Apakah dalam perilakunya mengandung unsur pidana?'. Pada bisnis hiburan pun demikian. Jika suatu tempat hiburan malam ditutup semata karena dicap sebagai tempat maksiat, ini akan menjadi bola liar.
Terkadang, alasan lain yang muncul untuk menutup tempat hiburan adalah bisnisnya dianggap meresahkan masyarakat. Lantas, bagaimana jika misalkan ada tempat maksiat yang bisa menjaga tata krama bisnisnya dan mampu meredam keresahan di masyarakat? Apakah tempat itu diizinkan beroperasi?
Menemukan unsur pidana pada tempat maksiat pasti lebih sulit dibanding hanya sekadar mengeluarkan instruksi penutupan. Tetapi, sebagai negara hukum, sesulit apapun bukti itu diperoleh, pihak terkait wajib memburunya.
Kalaupun pemprov DKI masih berpedoman pada alasan 'sarang maksiat', maka tempat maksiat lainnya seharusnya sudah ditutup. Sehingga tidak terkesan dianggap sebagai komoditas politik dan pencitraan. Langkah pemprov DKI untuk melawan prostitusi tentu patut diapresiasi. Tapi harus diingat pula, jangan sampai celah itu dimanfaatkan untuk mengatur moral warga. Tetaplah fokus pada unsur pidana, dengan begitu tolok ukurnya pun menjadi jelas.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
![img-content](https://img.tempo.co/indonesiana/images/all/2020/01/13/f202001131538222.jpg)
Langkah Mudah Bangun Podcast Sendiri (Bagian 2)
Jumat, 14 Februari 2020 13:13 WIB![img-content](https://img.tempo.co/indonesiana/images/all/2020/01/28/f202001281918239.jpg)
Sistem Perpanjangan Paspor Online Acakadut, Malah Merepotkan
Rabu, 29 Januari 2020 08:07 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler