Dua tahun sudah, undang undang nomor 8 Tahun 2016 disahkan. Selama itu pula, para penyandang disabilitas menunggu itikad baik pemerintah mewujudkan pemenuhan dan pelaksanaan hak penyandang disabilitas, seperti yang sudah tercantum dalam beberapa pasal. Salah satu pasal yang paling dinanti adalah implementasi pasal 53 tentang kewajibanPemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, sertaperusahaan swasta menyediakan kuota kerja bagi penyandang disabilitas.
Seperti yang tercantum dalam pasal 53 ayat 1, Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD wajib menyediakan kuota kerja atau dalam UU disabutkan, Wajib mempekerjakan penyandang disabilitas, sebanyak 2 persen dari seluruh jumlah pegawai. Sedangkan perusahaan swasta seperti yang tercantum dalam pasal 53 ayat 2, wajib mempekerjakan penyandang disabilitas sebanyak 1 persen dari seluruh jumlah pegawai atau karyawan.
Meski mencantumkan kata “wajib” bagi penyedia kerja - seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta, pasal 53 belum memiliki konsekuensi yang mengikat. Penyedia kerja tidak memiliki sanksi apapun bila tidak memenuhi penyediaan kuota kerja. Bahkan tidak ada ketentuan mengenai sanksi administratif, seperti pembayaran denda atau pembekuan izin dan pengembangan usaha bila tidak memenuhi kuota yang dimintakan Undang-Undang.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi pernah mengatakan, perlu ada affirmative action atau kebijakan yang memberikan kesempatan dan keistimewaan pada suatu kelompok untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan kelompok lain, dalam implementasi Undang Undang Penyandang Disabilitas. Padahal sejak diberlakukan sejak 2016, Undang-Undang ini memberi waktu dua tahun untuk pemerintah menyelenggarakan berbagai amanat yang tercantum di dalamnya.
Bukan salah penyusunan draft Undang-Undangnya, tidak mencantumkan sanksi bila pasal 53 tidak dijalankan. Penyusun Undang-Undang tentu sudah meneliti dan memperhitungkan “ongkos” yang harus dikeluarkan pemberi kerja saat mempekerjakan penyandang disabilitas. Namun, pada kenyataannya, masih terdapat tindak diskriminasi yang dilakukan pemberi kerja kepada pencari kerja dengan disabilitas, baik disadari maupun tidak. Banyak penolakan yang tidak subtantif dialami para pencari kerja dengan disabilitas.
Salah satu contoh sederhana adalah pencatuman syarat penerimaan karyawan harus sehat jasmani dan rohani. Banyak perusahaan yang menganggap terminasi itu berlaku bagi pelamar kerja non disabilitas. Sehingga pelamar dengan disabilitas dianggap tidak cakap secara jasmani dan rohani. Akibatnya banyak pelamar dengan disabilitas yang gugur lebih dulu di persyaratan administratif sebelum masuk seleksi kemampuan sesuai kompetensi.
Mungkin pula upaya sosialisasi mengenai Undang Undang Penyandang Disabilitas kurang mengena sasaran. Sebab, banyak pula beberapa pemberi kerja yang sudah tahu soal penyediaan kuota yang dimintakan Undang-Undang, namun belum paham prosedur pelaksanannya. Ada beberapa lembaga pemerintah baik Kementerian maupun Non Kementerian yang sudah menyediakan kuota namun belum menunjukkan hasil penyerapan tenaga kerja disabilitas.
Alasan ketidakpercayaan diri dari penyandang disabilitas juga ikut berkontribusi terhadap kurangnya penyerapan tenaga kerja dari kelompok disabilitas. Beberapa pencari kerja menganggap bila kehilangan satu kesempatan kerja, merupakan stigmatisasi terhadap perbedaan yang ada di dirinya. Akhirnya, kelompok ini memilih mundur dan melakukan usaha yang sudah pernah dilakukan pendahulunya. Padahal tak jarang penyandang disabilitas dari kelompok ini memiliki tingkat intelijensia dan pendidikan yang tinggi.
Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.