Sulitnya Memulai Diskusi Soal Kualitas Pendidikan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Zaman makin canggih namun kkualitas pendidikan makin dikebiri. Dari mana harus dimulai untuk kualitas pendidikan yang lebih baik?

Tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Lalu, bagaimana mutu pendidikan di Indonesia setelah 129 tahun diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara?

Sungguh sulit, dari mana kita memulai diskusi tentang kualitas atau mutu pendidikan? Di era milenial, memang makin banyak orang pintar di negeri ini. Tapi nyatanya, pendidikan seakan makin dikebiri oleh banyak kepentingan. Makin maju bangsa ini, pendidikan makin jadi polemik. Maka, mutu pendidikan pun menjadi taruhannya.

Besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN atau senilai Rp. 419 triliun, harus diakui, tidak berkontribusi signifikan terhadap mutu pendidikan. Data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, mutu pendidikan di Indonesia hanya menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Sedangkan kualitas guru sebagai komponen penting dalam pendidikan tergolong memprihatinkan, berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia.

Mutu pendidikan, masih menjadi soal di Indonesia. Adalah fakta 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Bahkan kualitas pendidikan Indonesia berada di  peringkat 40 dari 40 negara (The Learning Curve, 2014). Belum lagi maraknya kekerasan yang terjadi di sekolah. Berapa banyak siswa yang meregang nyawa akibat kekerasan di dunia pendidikan? Berdasarkan Ikhtisar Eksekutif Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak 2016-2020 oleh Kemen-PPPA terlihat bahwa 84% siswa pernah mengalami kekerasan di sekolah dan 50% anak pernah mengalami perundungan (bullying) di sekolah.

Sementara potret lainnya, sekitar 27 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa (Puslitkes UI dan BNN, 2016). Data yang mencengangkan dan mewarnai pendidikan di Indonesia adalah 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam (Survei BIN, 2017). Pendidikan di Indonesia, boleh dibilang salah arah jika tidak ingin disebut gawat darurat. Mulai dari krisis identitas, krisis tindak kekerasan, hingga krisis kebangsaan menyelimuti langit pendidikan di Indonesia.

Pendidikan nasional tengah mengalami disorientasi. Banyak hal yang harus diubah dan dibenahi dalam pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia hari ini boleh dibilang pendidikan yang berorientasi pada “tahu sedikit tentang banyak hal, tetapi tidak tahu banyak tentang satu hal”.

 

 

Mutu Pendidikan

Sangat mendesak untuk membenahi mutu pendidikan di Indonesia hari ini. Salah satu caranya adalah membenahi kualitas guru. Harus ada langkah serius untuk membenahi kualitas guru. Karena nyatanya, tidak sedikit guru yang hari ini tetap saja menjalankan proses belajar-mengajar dengan pola “top-down”. Guru seolah berada “di atas” dan siswa berada “di bawah”, guru bertindak sebagai subjek dan siswa objek belajar. Guru merasa berkuasa untuk “membentuk” siswa. Ibaratnya, guru bertindak sebagai “teko” dan siswa sebagai “gelas” sehingga siswa berstatus hanya menerima apapun yang dituangkan guru. Siswatidak diajarkan untuk mengeksplorasi kemampuan dirinya; siswa yang disuruh tanpa diajarkan untuk mengenal dirinya.

Guru sering lupa. Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai “ahli” pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan ‘pengalaman” dalam belajar, bukan “pengetahuan”. Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan meniadakan problematika belajar akibat kurikulum. Kompetensi guru harus berpijak pada kemampuan guru dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan gairah siswa dalam belajar.

Mutu pendidikan akan tetap omong kosong. Bila hari ini, guru masih mengajar dengan cara-cara lama. Guru harus mampu mengubah kurikulum menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Guru tidak butuh kurikulum yang mematikan kreativitas siswa. Seharusnya, guru menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Karena guru bukan pendidik yang berbasis kunci jawaban. Tapi sebagai penuntun siswa agar tahu bidang pelajaran yang paling digemarinya.

Kurikulum berkualitas seperti apapun akan sia-sia. Apabila mindset guru tidak berubah. Guru adalah creator dan tidak perlu text book terhadap kurikulum. Guru tidak boleh nyaman dengan cara belajar yang satu arah. Sekali lagi, mutu pendidikan hanya bisa terjadi bila guru mengajar dengan hati, bukan hanya logika.

Jadi, mutu pendidikan hari ini jelas ada di tangan guru. Kurikulum memang penting tapi tidak urgen bagi kualitas pendidikan. Menteri sehebat apapun tidak terlalu penting bagi mutu pendidikan. Sudah terlalu banyak diskusi tentang teori-teori untuk memajukan pendidikan. Terlalu banyak perdebatan tentang pelaksanaan kurikulum yang efektif dan efisien. Tapi sangat disayangkan, justru kita terlalu sedikit bertindak untuk membenahi kompetensi dan mentalitas guru dalam mendidik. Kompetensi guru adalah jawaban terhadap mutu pendidikan di Indonesia.

Ketahuilah, guru sulit berubah bila kompetensinya rendah. Bila kualitas guru lemah, maka mutu pendidikan pun kian terperangah. Maka, tingkatkan terus kompetensi guru, itulah titik penting mutu pendidikan Indonesia. #SelamatHariPendidikanNasional #Hardiknas2018

Bagikan Artikel Ini
img-content
Syarif Yunus

Pemerhati pendidikan dan pekerja sosial yang apa adanya

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler