x

Iklan

James Tampubolon SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Balada Keadilan Jero Wacik (Bagian 2)

Feature

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aneka pertanyaan masih terus bergelayut di benak saya tentang kasus yang kini menimpa Mantan Menteri Jero Wacik. Sebagian dari pertanyaan itu telah saya coba kupas pada tulisan-tulisan sebelumnya. Ada kalanya logika hukum yang saya gunakan untuk menganalisis rangkaian-rangkaian peristiwa di sekitar kasus tersebut gagal memberi penjelasan memuaskan. Sebagai selingan di tengah kejenuhan analisis yang tak kunjung memberi titik terang tersebut, saya teringat dengan sebuah pengalaman yang memberi gambaran semakin jelas tentang sosok Mantan Menteri yang selalu tampil sederhana dan ceria tersebut.

Sosok Bersahaja dan Suka Menolong

Dalam sebuah tur wisata ke Bali beberapa waktu lalu, saya menyempatkan diri singgah di sebuah desa kecil di sekitar gunung Kintamani. Saya sengaja berpisah dari rombongan dengan alasan hendak menikmati panorama danau Batur di kaki gunung itu. Sambil sesekali mengabadikan landskap gunung berawan dan sapuan-sapuan gelombang air danau di bawahnya, saya berjalan mendekat ke kios kecil penjual buah di desa itu dengan harapan menemukan satu dua orang yang mengenal Jero Wacik.

Saya tidak menemukan kendala sama sekali untuk menemukan nara sumber karna ternyata semua orang di desa itu mengenal Jero Wacik. Tanpa perlu berbasa-basi panjang lebar dan tanpa rasa curiga akan maksud, asal dan latar belakang saya, semua orang di kios itu dan kemudian di sepanjang jalan yang saya lalui bercerita dengan antusias kemudian ditutup dengan nada sedih tentang sosok yang mereka bangga-banggakan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yah, Jero Wacik, di mata warga desa itu adalah salah satu putra terbaik. Sebagian dengan antusias bercerita bagaimana Jero Wacik menghabiskan masa kanak-kanak hingga masa remajanya di desa itu. Sebagian bercerita tentang latar belakang keluarganya yang miskin tapi pekerja keras dan berpegang teguh pada nilai-nilai religius dan budaya. Jero, singkat cerita, adalah teladan bagi banyak orang di desa itu bahwa kerja keras yang disertai dengan kejujuran, rasa kemanusiaan dan iman yang kuat pasti membuahkan keberhasilan. Orang-orang tua menjadikan Jero sebagai pelecut semangat bagi anak-anak mereka. “Rajin belajar, beribadat dengan tulus dan bekerja keras, Nak. Biar kelak kau bisa seperti Pak Jero Wacik”, begitu kira-kira nasehat orang tua kepada anak-anak mereka.

Cerita sukses Jero Wacik beserta inspirasi kehidupannya rupanya sudah bertiup kencang di desa itu dan desa-desa sekitarnya jauh sebelum dia menjabat menteri. Sejak lulus dari ITB dan mulai meraih sukses di berbagai perusahaan besar, Jero tak pernah lupa dengan kampung halamannya. Dia selalu menyempatkan diri pulang kampung saban tahun. Bercengkerama dengan teman-teman sekampungnya di banjar (unit pengorganisasian kegiatan adat dan agama di Bali) dan terus menelurkan berbagai inspirasi bagi orang-orang di kampungnya.

Beberapa warga menunjukkan padaku bangunan Pura, bangunan sekolah dan aneka bangunan lain yang berhasil dibangun berkat kedermawanan Jero bahkan sebelum dia menjabat sebagai menteri. Anak-anak kurang mampu dibantunya melalui beasiswa dari kantongnya sendiri.

“Maka saya heran. Mengapa orang baik seperti Pak Jero Wacik bisa masuk penjara”,  seorang warga kemudian menutup rangkaian cerita itu dengan nada sedih dan seketika kisah-kisah antusias tadi berubah menjadi sebuah narasi pilu. Tak seorangpun di kampung itu yang percaya Jero Wacik bersalah. Mereka yang mengenalnya sejak kecil hingga menjadi orang sukses di Jakarta tak pernah melihat bibit-bibit ketamakan, kejahatan dan niat busuk dalam diri Jero Wacik.

Kabut di puncak Gunung Kintamani semakin tebal sementara riak-riak Danau Batur tak terlihat lagi. Sekonyong-konyong saya sadar telah melangkah jauh ke dalam kampung, terbawa oleh rasa penasaran terhadap sosok Jero Wacik dan hanyut dalam tiap kisah yang dituturkan tiap warga yang saya temui. Warga-warga sederhana itu akhirnya saya tinggalkan dalam raut wajah sedih. Tapi keyakinan mereka bahwa keadilan suatu saat akan ditegakkan bagi Jero Wacik, sosok yang mereka banggakan itu, terus menerus merasuki pikiranku di sepanjang jalan berbukit yang saya lalui dalam perjalanan pulang. Sesekali saya dihantui rasa bersalah karna tidak menjelaskan kepada mereka pandangan saya dari kaca mata hukum tentang berbagai kejanggalan dalam kasus Jero Wacik. Tapi sejurus kemudian saya sadar, nurani warga yang bersih dan polos kadang lebih peka terhadap keadilan daripada analisis seorang yang paham akan hukum.

 

Ikuti tulisan menarik James Tampubolon SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler