x

Iklan

Iman Haris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gie dan Seorang Pemuda

“Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horizon romantiknya.” kenang Soe Hok Gie pada buku catatan hariannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Bagi saya Prabowo adalah seorang pemuda (atau kanak-kanak) yang kehilangan horizon romantiknya.”

Soe Hok Gie, 25 Mei 1969

Gie, yang kisahnya dalam buku Catatan Seorang Demonstran menjadi semacam handbook awal bagi para aktivis mahasiswa terutama angkatan ‘98, mungkin tak melihat pemuda berusia belasan tahun itu menaruh perhatian yang cukup untuk urusan-urusan romantis sebagaimana lazim bagi remaja seusianya, bahkan untuk ukuran seorang aktivis sekalipun. Bisa jadi karena Gie sendiri seseorang yang cukup romantis, meski kisah cintanya tak selalu manis bahkan bisa dikatakan tragis.

Persahabatan keduanya diawali saat Gie hendak menemui Sumitro Djojohadikusumo, pendiri Gerakan Pembaharuan yang dia terlibat di dalamnya. Di rumah Profesor Sumitro sang begawan ekonomi itu, perhatiannya tertuju pada seorang remaja yang tengah asyik melahap jurnal Indonesia terbitan Cornell University. Ya, remaja itu adalah Prabowo Subianto, putera Sumitro yang kala itu baru menginjak usia 18 tahun.

Sejak pertemuan itu keduanya sering terlibat diskusi dan kegiatan bersama. Gie mengingat sahabat mudanya itu sebagai seorang pemuda yang cerdas, meski sebagai remaja menurutnya masih naïf dalam memandang persoalan, “Ia cepat menangkap persoalan-persoalan dengan cerdas tapi naïf. Kalau ia berdiam 2-3 tahun dalam dunia nyata, ia akan berubah,” kisah Gie dalam catatannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di usia yang masih sangat belia itu pula Prabowo muda menggagas Lembaga Pembangunan Korps Pionir (Pioneer Corps), salah satu lembaga swadaya masyarakat paling awal di Indonesia, jauh mendahului banyak LSM atau organisasi non pemerintah yang baru marak lahir di era 80-an.

Gie yang terpaut usia 9 tahun lebih tua dari Prabowo pun tidak sungkan untuk ikut terlibat di dalam Korps Pionir. Organisasi yang menghimpun para pelajar dan mahasiswa ini bergerak dan menyebar ke desa-desa membantu penyediaan bibit dan ternak bagi para petani, memberikan layanan kesehatan bagi orang-orang miskin, mengorganisir proyek pompanisasi dan pembangunan irigasi, serta aksi-aksi lainnya. Baik Gie maupun Prabowo sama-sama percaya, bahwa pembangunan Indonesia hanya bisa dimulai dari desa sebagai fondasinya.

Keterbatasan sumber daya dan kemampuan finansial lembaga tersebut sempat menjadi evaluasi bagi Soe Hok Gie, "Jumlah desa di Indonesia beribu-ribu dan jumlah mahasiswa yang bisa dikerahkan paling hanya beberapa ribu," tulis Gie dalam buku hariannya. Kondisi ini kemudian diungkapkan pula oleh Prabowo dalam salah satu cuitannya di tahun 2014, “Di Korps Pionir, saya menyadari bahwa niat baik tidaklah cukup. Kemampuan ribuan mahasiswa, walau punya niat baik terbatas.” Prabowo menambahkan, “ada puluhan ribu desa di negara kita. Butuh sumber daya yang besar jika ingin buat perobahan besar. Berpolitik adalah perlu.”

Kesadaran ini menunjukkan jika Prabowo kini tak lagi senaif remaja belia  yang dikenang Gie dulu. Pemuda itu kini mungkin lebih menyadari arti dari ungkapan Gie, “Bagiku sendiri, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”

 

Ikuti tulisan menarik Iman Haris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler