x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memoar Oei Tjoe Tat

Keteguhan sikap dan keberanian berkorban membawa Oei Tjoe Tat harus tinggal di penjara dalam waktu yang sangat lama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Resensi ini telah tayang di Harian Suara Merdeka tanggal 30 Desember 2018 dengan judul "Memoar sang Pecinta Republik."

 

Judul: Memoar Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penulis: Oei Tjoe Tat

Tahun Terbit: 2018 (Cetakan VI)

Penerbit: Hasta Mitra

Tebal: xxiv + 591

ISBN: 979-8659-03-1


Kadang seseorang terbawa ke sebuah nasib yang mengasyikkan tetapi sekaligus  memilukan. Milan Kundera mengatakan bahwa orang bisa bertahan mengikuti nasib karena ia jatuh cinta kepada nasibnya, bukan kepada dirinya sendiri. Begitulah kira-kira perjalanan hidup Oei Tjoe Tat. Seorang Sukarnois asal Solo yang bertahan pada pilihan hidup dan tidak memilih untuk mengingkarinya. Meski kesempatan untuk hidup enak dengan cara melakukan kebohongan dalam sidang yang ditawarkan. Ia tetap menolak menyatakan Sukarno sudah tahu sebelum peristiwa G 30 S, karena ia sangat yakin bahwa Sukarno tidak tahu. Meski pilihannya itu membuat ia berada di penjara tanpa persidangan dalam waktu hampir 12 tahun.

Oei Tjoe Tat dipilih oleh Sukarno untuk membantunya dan diangkat menjadi Menteri. Ia dipilih Sukarno karena ia adalah orang jujur, berani, selalu bertindak hati-hati, tanpa ikatan dengan pihak lain serta bisa dipercaya penuh. Sukarno tentu tahu bahwa menjadikan Oei Tjeo Tat sebagai Menteri bukan tanpa resiko. Oei Tjoe Tat adalah seorang peranakan Tionghoa, orang Baperki yang dianggap kiri.

Siapa sebenarnya Oei Tjoe Tat? Bagaimana perjalanan kariernya sehingga akhirnya bisa dekat dengan Sukarno? Apa salahnya sehingga dia dipenjara tanpa proses persidangan yang sangat lama?

Oei Tjoe Tat lahir di Solo tanggal 22 April 1922, dari keluarga Tionghoa kelas menengah. Ia dibesarkan dalam pendidikan Belanda sampai lulus jurusan Hukum. Meski ia dibesarkan dalam pendidikan Belanda, tetapi ia sangat muak dengan penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Ia berprofesi sebagai advokat dan aktif dalam kegiatan sosial peranakan Tionghoa. Ia belajar organisasi dari Sin Ming Hui, sebuah perkumpulan sosial orang-orang peranakan Tionghoa. Selain perkumpulan sosial, Sin Ming Hui menganjurkan kepada para peranakan Tionghoa untuk berkiblat kepada Republik Indonesia. Masa menjelang kemerdekaan dan awal Republik muda, peranakan Tionghoa terbelah menjadi setidaknya 3 kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang berkiblat kepada Negara Tiongkok. Kelompok kedua adalah yang berkiblat kepada Belanda dan yang ketika adalah kelompok yang berkiblat kepada Republik Indonesia. Kelompok yang berkiblat kepada Belanda ini surut jumlahnya menyusul kemenangan Jepang di Indonesia.  Di Sin Ming Hui inilah ia berkenalan dengan banyak tokoh Tionghoa yang di kemudian hari banyak berperan dalam karier politiknya.

Sebagai seorang yang memilih untuk bergabung dengan Republik Indonesia, Oei Tjoe Tat bergiat di Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Selain itu ia juga bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo). Dari dua organisasi politik inilah Oei Tjoe Tat akhirnya dekat dengan Sukarno. Ia mendampingi Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin maupun masa surutnya kekuasaan Sukarno.

Oei Tjoe Tat mendapat tugas khusus untuk melobi berbagai pihak pada saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Ia ditugaskan untuk melaksanakan silent mission (hal 207). Tugasnya ini sangat berbahaya dan sangat rahasia. Sebab ia harus menghubungi pihak-pihak yang bisa bermanfaat bagi konfrontasi. Ia harus berhubungan dengan pihak Tengku Abdul Rahman, Lee Kuan Yew, Barisan Sosialis Singapura dan semua pihak, baik yang mendukung Federasi Malaysia maupun yang menentangnya.

Menjelang G 30 S, Oei Tjoe Tat sangat sibuk dengan tugas yang diberikan oleh Sukarno untuk berhubungan dengan berbagai pihak untuk kepentingan konfrontasi. Ia banyak berada di luar negeri, sehingga tidak terlalu faham apa yang sesungguhnya terjadi di dalam negeri. Bahkan ia tidak merasa ada hal yang aneh saat ikut minum kopi di Istana Bogor bersama Presiden pada tanggal 30 September 1965 (hal. 234). Ia tahu ada sesuatu yang terjadi baru pada tanggal 1 Oktober. Namun ia tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi karena banyak pimpinan negara yang menghilang. Bahkan Presiden Sukarno tidak bisa dihubungi. Baru pada tanggal 6 Oktober ia bisa bertemu dengan Presiden Sukarno yang mengadakan Sidang Kabinet di Bogor. Dalam sidang inilah beberapa analisis keluar. Leimena tegas-tegas mengatakan bahwa kejadian tersebut adalah karena perangkap Nekolim (hal. 246). Sedangkan Nyoto, mengatakan bahwa benar ada orang-orang PKI yang terlibat, tetapi juga ada orang-orang CIA (hal. 248).

Pada tanggal 11 November mulai ada demonstrasi untuk mengadili mereka yang terlibat dalam peristiwa G 30 S. Gerakan ini Meski sudah dilarang oleh Leimena – karena namanya termasuk yang akan diganyang oleh para demonstran, Oei Tjoe Tat tetap datang pada apel di Makam Pahlawan. Aksi-aksi ini akhirnya bertujuan untuk menggulingkan Sukarno. Sampai akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966, keluarlah Supersemar.

Pada tanggal 11 Maret 1966, Oei Tjoe Tat masih ikut sidang Kabinet yang diselenggarakan di Bogor, dimana Sukarno memberikan pidatonya. Tetapi sidang ini terhenti begitu saja setelah Brigjen Sabur, Komandan Cakra Birawa membisikkan sesuatu kepada Sukarno (hal. 299). Sejak saat itu Oei Tjoe Tat dan keluarganya sering mendapatkan teror.

Pada tanggal 13 Maret 1966 ia dijadikan tahanan rumah. Pada tanggal 25 Maret 1966, ia ditahan di Komplek Senayan bersama beberapa menteri. Saat penahanan ini ia diperlakukan dengan baik, tetapi juga mengalami teror. Bahkan rumahnya di Jalan Blitar no 10 pernah akan diambil alih. Oei Tjoe Tat pernah ditawari untuk bebas asal ia mau mengakui bahwa pada tanggal 29 September 1965 ia berada di Istana bersama dengan Presiden Sukarno dan orang-orang tertentu. Dalam dokumen yang sudah dipersiapkan tersebut, disebutkan bahwa Sukarno memerintahkan kepada Oei Tjoe Tat untuk menyelamatkan Yurike Sanger (istri Sukarno) (hal. 373). Dokumen tersebut tentu saja adalah dokumen yang dipersiapkan untuk menyudutkan Sukarno. Tentu saja oei Tjoe Tat menolak tawaran tersebut.

Akhirnya pada tahun 1976, Oei Tjoe Tat dihadapkan pada pengadilan atas tuduhan pro PKI. Ia mendapatkan pembelaan dari Yap Thiam Hien, advokat Protestan yang berbeda pandangan dengannya saat di BAPERKI, Albert Hasibuan dan Djamaluddin Datuk Singo Mangkuto. Oei Tjoe Tat dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 13 tahun penjara. Ia menyatakan menolak banding karena pengadilan saat itu belum memungkinkan untuk melakukan fungsinya sebagaimana mestinya (hal. 408). Oei Tjoe Tat dinyatakan bebas pada tanggal 30 Desember 1977.

Dalam memoir ini banyak detail tentang situasi politik, perlikau tokoh-tokoh politik dari sejak masa konfrontasi sampai dengan awal Orde baru. Termasuk pertemuannya dengan Suharto di Markas KOSTRAD (hal. 280). Catatan-catatan Oei Tjoe Tat ini sangat berharga untuk memahami era sejarah yang dianggap kelam dari Republik Indonesia.

Perlu waktu lama bagi Oei Tjoe Tat untuk menulis memoir. Keberaniannya menulis memoir ini adalah bentuk tanggung jawab beliau bagi negeri yang dicintainya dan dibelanya. Kesadaran bahwa Indonesia adalah majemuk, termasuk di dalamnya adalah para keturunan Tionghoa yang adalah bagian tak terpisahkan dari republik Indonesia, membuatnya terus berjuang. Buku Memora Oei Tjoe Tat ini adalah bentuk perjuangannya untuk memberi kesaksian tentang masa dimana ia berperan aktif dalam sejarah Republik Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler