x

Iklan

Nun Faiz Habibullah Ahmad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

NKRI Bersyariah: Bungkus atau Isi, atau keduanya?

polemik NKRI Bersyariah berada pada tataran bungkus atau isi atau kedua-duanya? apakah indonesia bisa menjadi negara Islam? jika iya, kapan itu terjadi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Nun Faiz Habibullah Ahmad*

(Seri tulisan merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?)

Dalam tulisan Denny JA, riset yang dilakukan oleh Yayasan Islamicity Index dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghasilkan kesimpulan yang sama. Kedua riset tersebut berkesimpulan bahwa negara barat yang mayoritas non muslim memiliki nilai indeks yang tinggi, sedangkan negara yang mayoritas muslim memiliki nilai yang biasa bahkan rendah.

Tepat untuk menggambarkan kondisi ini apa yang dikatakan Mohammad Abduh, “Saya pergi ke Barat dan melihat Islam, tetapi tidak ada orang Muslim. Saya kembali ke Timur dan melihat orang Muslim, tetapi tidak ada Islam’. Ada apa dengan negara yang mayoritas muslim tidak menjalankan nilai-nilai islaminya? Apakah sibuk membicarakan label (bungkus) negaranya sehingga lupa menerapkan nilainya?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh sebab itu, Denny JA mempertanyakan lebih penting mana negara berlabel islam atau bernilai islami?. buat apa mempunyai negara berlabel islam tapi kenyataannya tidak menjalankan nilai-nilai keislamannya. Bukankah lebih baik tidak berlabel islam tapi islami daripada label islam tapi tidak islami.

namun, kita tidak pernah mempertanyakan Mengapa kita tidak berlabel islam sekaligus mempraktekkan nilai-nilai islam? Apakah itu memungkinkan terjadi di Indonesia? Jika iya, kapan?

polemik melabelkan “islam” pada negara dan perdebatan dasar negara berawal dari perdebatan antara Soekarno dan Natsir pada tahun 1940. Perdebatan antara kubu nasionalis dan agamis itu, berlangsung sampai sekarang.

Soekarno dinilai ahistoris oleh Natsir sebab dalam sejarah islam tidak pernah dikenal adanya paham pemisahan agama dari negara. Hal kecil yang dilakukan sehari-hari saja diatur dalam islam, apalagi kenegaraan?.

memang benar dalam sejarah islam, Nabi Muhammad pernah menjadi pemimpin negara sekaligus pemimpin agama, sehingga tercetuslah Piagam Madinah. Memang itulah potret negara islam yang ideal.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah ada orang seperti Nabi Muhammad di zaman edan ini? Sulit sekali, bahkan tidak ada. Oleh karenanya, Salah satu cara terbaik untuk mengikuti jejak nabi adalah dengan menerapkan nilai-nilai pada piagam Madinah.

Nilai apa yang terkandung dalam piagam Madinah? Keadilan, kesetaraan, perlindungan hak-hak manusia, dan sebagainya yang secara tidak langsung juga tercantum pada nilai-nilai Pancasila. Apapun Namanya, bila masih berpegang teguh pada nilai-nilai islam, tak perlu diributkan. Kendati terjadi kesalahan, pasti itu berasal dari diri manusianya, bukan sebab label negaranya.

-000-

Kali ini muncul Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Bersyariah yang digaungkan oleh Habib Riziq Shihab pada reuni 212. Kendati bernuansa politis, gagasan itu tetap direspon dan menjadi polemik.

sayangnya, beliau tidak menjelaskan secara terperinci sebagaimana yang dijelaskan oleh Denny JA tentang NKRI Bersyariah. Proposal tersebut hanya menjadi bahan orasi untuk menggiring sentimen masa. Seolah-olah negara ini sudah kritis mau hancur, dan hanya bisa diselamatkan dengan NKRI bersyariah.

Jika terpaksa menanggapi NKRI bersyariah, rasanya tak perlu berlebihan. Anggap saja itu merupakan kritik atas kondisi Indonesia saat ini. andai sekarang sudah seperti cita-cita bangsa, tentu proposal ini tak akan muncul ke permukaan.

Sayangnya, Denny JA tidak menangkap di dalam tulisannya bahwa NKRI bersyariah adalah sebuah kritik. Jika dia menangkapnya, mungkin dia akan berkata begini.

“Memang sekarang cita-cita tersebut belum tercapai. Oleh sebab itu, mari kita kawal bersama agar tujuan itu tercapai tanpa harus mempersoalkan labelnya, sehingga kita tidak berlarut-larut dalam urusan label”. Sebagaimana logika natsir saat mengkritik soekarno dengan berkata.

“tidak mungkin penyakit rohani seperti takhayul, kemusyrikan yang merajalela di Turki itu diberantas dengan sekedar menurunkan seorang sultan khalif. Penyakit rohani yang serupa itu hanya mungkin diobati dengan obat rohani.“

Kemungkinan, Denny JA akan berkata. Mengobati permasalahan bangsa (misal hukum), bukan dengan mengganti dasar negara atau menambah label bersyariah pada NKRI, tapi dengan menegakkan hukum yang tidak tegak menjadi tegak (equality before the law). Jika bermasalah pada integritas manusianya, maka yang diganti adalah orangnya.

Kecuali jika kebatilan telah benar-benar nyata dipertontonkan di depan publik dan negara membiarkannya. Nilai-nilai keislaman telah tidak berlaku lagi di negeri ini, maka wajib kita menggantinya. Seperti logika yang  dibawa Gus Dur,”kalau membunuh tikus memang tidak harus membakar lumbungnya. Tapi kalau lumbungnya telah dikuasai tikus, bakar saja lumbungnya”.

-000-

Lontong dan nasi sama-sama berasal dari beras, meski bentuknya beda tapi manfaatnya sama, sama-sama mengenyangkan. Tak perlu diberi label lontong bernasi karena lontong juga terbuat dari bahan yang sama dengan nasi. Begitu pula dengan NKRI, tak perlu diimbungkan bersyariah karena pada dasarnya NKRI sudah bersyariah, atau minimal tidak melanggar Syariah, secara substansi.

secara prinsip konsep NKRI bersyariah sudah terwujud melalui berbagai hukum formal seperti UU pornografi, narkotika, perbankan Syariah, dan semacamnya.

Jika memang substansinya sama, Pancasila dan NKRI sejalan dengan ajaran agama Islam mengapa tidak langsung Islam saja, sebagaimana pertanyaan ust. Abu Bakar Ba’asyir (nasional.tempo.co). jika merubah haluan negara menjadi negara berlabel islam, alih-alih berlabel islam, soal penghapusan tujuh kata pada sila pertama piagam Jakarta saja mengancam bubarnya Indonesia yang baru sehari merdeka pada tahun 1945. 

Lantas, apakah yang dilakukan oleh founding fathers tepat? Sudah tepat sebagaimana yang Denny JA sampaikan.

Bukan Indonesia apabila tidak terdiri dari keragaman agama, budaya, kemajemukan dari sabang sampai merauke. Indonesia merupakan suatu kesepakatan bersama yang menjadi milik kita semua, bukan milik satu golongan. 

Mahfud MD menceritakan saat Gus Dur menjabat Presiden, ada tujuh orang yang menyarankan agar mengeluarkan dekrit merubah Indonesia menjadi negara Islam. Gus Dur menolak usulan tersebut dengan tegas mengatakan “lebih baik saya turun daripada harus melawan Pancasila“.

Kalau begitu, mungkinkan Indonesia berlabel negara islam? Mungkin saja. Kapan? Ketika seluruh golongan masyarakat tidak lagi mempersoalkan label negara, tetapi memprioritaskan substansi bernegara. Karena apabila tujuan bernegara telah tercapai, maka tak peduli mau meributkan bungkusnya atau tidak.

Apakah bisa dipercepat? Bisa saja. Dengan cara berhenti meributkan bungkus, hal hal yang tidak substansial, tapi fokus dengan bagaimana mewujudkan nilai-nilai pancasila.

Pada akhirnya, saya sepakat dengan pernyataan Denny JA, Sekali Pancasila tetaplah Pancasila karena fondasi itu sudah memadai mengantar Indonesia menggapai ruang publik yang manusiawi.

*)Alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur.

Mahasiswa asal bondowoso sedang belajar di Universitas Brawijaya.

Ikuti tulisan menarik Nun Faiz Habibullah Ahmad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler