x

Iklan

Untung Widyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perubahan Iklim dan Ajaran Baden-Powell untuk Milenial

Metode dan nilai-nilai yang diajarkan Baden-Powell masih relevan bagi generasi milenial yang kini menjadi korban ketidakadilan iklim.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“…… dan sekalipun di alam ini terjadi segala peristiwa seperti kehidupan yang penuh sensasi, perkembangan biak, kematian maupun evolusi yang berlangsung secara mantap di bawah kebesaran hukum persamaan yang mengatur kita. Manusia dan sahabat alamnya berada di antara tumbuhan hutan serta makhluk-makhluknya. Bagi mereka yang dikarunia mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar, maka hutan adalah sekaligus merupakan sebuah laboratorium, sebuah perkumpulan dan sebuah candi …” [R. Baden-Powell, Bapak Pandu Sedunia, dalam bukunya yang berjudul Rovering to Success: a book of life-sport for young men, terbit di London, tahun 1922].

 

*****.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kecewa dengan sikap sejumlah negara maju yang tidak sungguh-sungguh menurunkan emisi gas-gas rumah kaca dalam kebijakan pembangunannya. Pernyataannya itu disampaikan pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of the Parties 24 (COP 24) di Katowice, Polandia pada 3 Desember 2018.

"Membuang-buang kesempatan ini akan membahayakan usaha terakhir kita untuk menghentikan perubahan iklim," kata Guterres. "Itu bukan hanya tak bermoral, tetapi juga tindakan bunuh diri,” ujar Guteres.  Menurutnya, kita tak punya waktu lagi untuk berpanjang-panjang dalam negosiasi di COP 24 Katowice.

COP Katowice akhirnya menyepakati kerangka transparansi, di mana seluruh negara yang berada di Perjanjian Iklim Paris akan menyediakan informasi mengenai tindakan mitigasi dan adaptasi sebagaimana yang telah dituangkan di dalam Nationally Determined Contribution (NDC) masing-masing.

Hasil COP Katowice mengecewakan karena tidak maksimal menyikapi laporan  Badan PBB Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis 8 Oktober 2018. Para ahli yang tergabung dalam IPCC menggambarkan skenario kondisi Bumi jika suhu naik 1,5 derajat Celcius (1,5 ºC) dan 2 derajat Celcius (2 ºC).

Perbedaan setengah derajat Celcius itu berpotensi mencegah ratusan juta orang dari kemiskinan. Pada pemanasan global 1,5 C, kawasan es abadi Arktik setiap 100 tahun akan mengalami musim panas sehingga semua es dapat meleleh. Pada pemanasan 2 ºC, resiko itu meningkat menjadi satu kali setiap sepuluh tahun.

Di bawah skenario 2 ºC, kenaikan permukaan laut diperkirakan 10 cm lebih tinggi daripada di bawah skenario 1,5 ºC. Perubahan iklim yang disebabkan manusia telah mengakibatkan pemanasan global sekitar 1 derajat Celcius. IPCC menekankan bahwa konsekuensi pemanasan global itu terlihat khususnya dalam bentuk cuaca ekstrem.

 

Indonesia Akan Tenggelam karena Perubahan Iklim

Mantan Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim menjelaskan negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Maladewa dan negara-negara kecil di Samudra Pasifik menjadi korban terbesar dan menderita paling parah dari perubahan iklim.

Apalagi Indonesia letaknya dekat dengan Kutub Selatan.  Jika es di kutub mencair, permukaan air laut meningkat sehingga sungai-sungai menjadi tertutup.  Banjir rob menenggelamkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir Indonesia, kata Emil, seperti di Jakarta, Semarang, dan kota besar serta kecil lainnya.

“Pada peringatan 100 tahun Kemerdekaan Indonesia, kita akan tenggelam jika tidak mengubah pola pembangunan sejak sekarang,” ujar Emil Salim pada konferensi internasional bertajuk Climate Finance and Policy for Paris Agreement yang diadakan Jaringan Ahli Perubahan Iklim Indonesia (APIK) di Jakarta,19 Desember 2018.

Pensiunan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu meminta pemerintah sungguh-sungguh mengubah pola dan cara pembangunan yang saat ini berjalan business as usual.  Emil Salim Emil Salim menjelaskan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mendamaikan ekonomi yang riil atau nyata dengan ekonomi yang ideal dari pembangunan berkelanjutan.

Memang, dampak perubahan iklim kini semakin parah. Negara miskin serta kepulauan menjadi korban terbesar dari bencana hidrometeorologi berupa banjir, longsor, puting beliung, gelombang pasang, dan kekeringan.

USAID di dalam laporan Hidrometeorological Hazard Sector Update 2016, mencatat kekeringan, suhu ekstrim, banjir dan badai di seluruh dunia menghasilkan sebanyak kurang lebih 600.000 kematian, berdampak pada lebih dari 3 miliar orang, dan menyebabkan kurang lebih estimasi 2 triliun dollar dalam kerusakan ekonomi antara rentang tahun 1994 hingga 2013.

Dalam 4 dekade terakhir, jumlah laporan dari bencana tersebut telah mencapai hampir lima kali lipat, dari sebanyak 750 insiden antara 1971 dan 1980 menjadi 3500 kejadian pada rentang tahun antara 2000 hingga 2010.

Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia.  Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI), yang dikembangkan dan dijalankan oleh BNPB, mencatat lebih dari 15.800 peristiwa bencana alam di seluruh Indonesia dalam kurun waktu 2005-2017.  Mayoritas dari bencana alam ini, yaitu sekitar 78%, merupakan bencana hidrometeorologi dalam hal ini banjir, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem dan kebakaran hutan dan lahan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan bencana geologi yaitu gempa bumi, erupsi gunung api, tanah longsor dan tsunami.

Emil Salim berharap generasi muda memilih pemimpin yang bakal menyelamatkan Indonesia agar  tidak hilang atau tenggelam akibat dari perubahan iklim.  “Saya berharap pada yang muda-muda.  Kalau  negara ini hancur, masa depan mereka juga ikut hancur.  Tanya mereka agar ada perubahan. Ini pentingnya pemilu,” katanya.

 

Ketidakadilan Iklim Bagi Generasi Milenial

Kaum muda atau generasi milenial, perempuan dan difabel memang jadi korban terparah perubahan iklim.  Ada dimensi ketidakadilan iklim terhadap mereka yang dilakukan orang dewasa saat ini.  Persoalan ini digugat Greta Thurnberg, remaja perempuan kelahiran 3 Januari 2003 dari Swedia. Sejumlah media internasional memberinya gelar Climate Activist.

Dia diundang bicara pada COP24 di Katowice, Polandia dan World Economic Forum (WEF) yang diselenggarakan pada 23 Januari 2019 di Davos, Swiss. Greta Thurnberg mengecam sikap pemimpin dunia yang terus menggunakan bahan bakar fosil dan tidak serius mengatasi perubahan iklim dalam kebijakan pembangunan negaranya.

Pada akhir pidatonya di hadapan delegasi COP24, Thunberg membayangkan bahwa di tahun 2078 dia akan berusia 75 tahun. Anak dan cucunya akan bertanya soal para perunding perubahan iklim yang berkumpul di Katowice, Polandia. “Maybe they will ask why you didn’t do anything while there still was time to act.”

Pidato Greta Thurnberg juga menyengat sejumlah kepala negara dan bos perusahaan besar dunia yang hadir di WEF 2019, Davos. Melalui pidato yang bertajuk “Rumah Kita Terbakar” (Our House is on Fire), ia mengkritik pertemuan-pertemuan forum ekonomi dunia seperti WEF di Davos.

“Di tempat-tempat seperti Davos, orang-orang suka menceritakan kisah sukses. Tetapi kesuksesan finansial mereka datang dengan label harga yang tidak terpikirkan. Dan tentang perubahan iklim, kita harus mengakui bahwa kita telah gagal. Semua gerakan politik dalam bentuknya yang sekarang telah (gagal) melakukannya. Media juga telah gagal menciptakan kesadaran publik yang luas,” tegasnya sebagaimana dikutip oleh situs guardian.com.

 

Baden-Powell dan Pendidikan Lingkungan Hidup

Generasi milenial memang jadi korban dari perilaku dan kebijakan yang dilakukan orang dewasa dan pemerintah. Oleh karena itu, sejak kanak-kanak dan remaja, mereka harus disiapkan untuk berperilaku yang ramah terhadap alam (aksi mitigasi) dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Sejatinya, sejak 112 tahun lalu, Bapak Pramuka Sedunia, Lord Baden-Powell sudah mengajarkan pendidikan lingkungan bagi remaja. Hari ini, 22 Februari 2019, anggota pandu di seluruh dunia memperingati  Hari Baden-Powell, yang lahir di London, Inggris pada 22 Februari 1857.

Mencintai alam dan lingkungan merupakan salah satu darma pramuka di seluruh dunia. Pada 1 Agustus 1907, pendiri organisasi pramuka sedunia, Baden-Powell mengajak 21 remaja London untuk berkemah di Pulau Brownsea. Mereka diajak menjelajahi, mengamati dan mencintai pulau tersebut. Berkemah selama delapan hari ini mengubah perilaku remaja kota besar London yang sebelumnya ugal-ugalan dan masa bodo menjadi lebih santun dan mencintai  lingkungan.

Pengalaman Baden Powell sebagai tentara (hingga berpangkat letnan jenderal) Kerajaan Inggris yang bertugas di India dan berbagai negara di Afrika, ditularkan ke para remaja. Dari buku-buku Baden Powel seperti Scouting for Boys, Rovering to Success, Aids to Scoutmaster dan lainnya, tema yang paling menonjol adalah penekanan yang sistematik mengenai betapa pentingnya mengamati proses alam yang indah, menghayatinya serta melindunginya, sebagai bagian dari pendidikan dasar bagi anak-anak.  

Di sinilah aku berkemah, dekat sebuah sungai yang mengalir deras di antara bukit-bukit yang diselimuti hutan. Langit bukanlah sesuatu yang samar-samar di angkasa sana, tetapi tepat di sini di dunia ini dalam hati dan di sekelilingmu.

Dekat sebuah api unggun, pikiran dapat terbuka dan menerima pemikiran-pemikiran besar serta denyutan-denyutan lebih cepat.

Penelitian tentang alam, menyatukan secara selaras seluruh pertanyaan mengenai ketidakterbatasan, kesejarahan dan bagian kecil sebagai bagian keseluruhan Sang Pencipta yang Agung. Janganlah puas dengan apanya, namun usahakan untuk mengetahui mengapa dan bagaimananya,” ujar Baden Powell.

Alam dan lingkungan memang menjadi unsur metode kepanduan dan menjadi kerangka yang ideal bagi kegiatan-kegiatan kepramukaan. Pramuka  penegak (usia 16-20) yang suka bepergian dan menjelajahi dunia, menemukan permadani dinding yang kaya, yang disediakan oleh alam. Cara terbaik untuk mendapatkan  sebanyak-banyaknya dari keanekaragaman alam ialah melakukannya bersama-sama dengan pramuka penegak lainnya.

Dalam metode kepramukaan, penegak harus terlibat secara aktif dalam program-program pendidikan serta membuat pilihan-pilihan cerdas mengenai lingkungan hidup, manusia, dan masyarakat – yaitu pilihan-pilihan yang mencerminkan janji dan undang-undang kepanduan (Tri Satya dan Dasa Dharma).

“Tuhan telah mengaruniakan kepada kita dunia tempat kita hidup, yang penuh dengan keindahan dan keajaiban. Dia telah memberikan kepada kita tidak hanya mata untuk melihat keindahan dan keajaiban-keajaiban itu, tetapi juga akal untuk memahaminya, hanya bila kita memiliki perasaan untuk melihatnya,” kata Baden-Powell

Banyak penelitian membuktikan  manfaat hidup di alam terbuka bagi perkembangan jasmani para dewasa muda. Kegiatan-kegiatan kepramukaan  membantu untuk mengimbangi gaya hidup kurang gerak para dewasa muda yang terus meningkat. Menantang penegak dan pandega untuk memperluas keterbatasan mereka dan menguji dirinya terhadap dan dengan alam, akan membantu mereka meraih tujuan-tujuan pendidikannya.

Menggunakan waktu di alam terbuka, khususnya ikut dalam ekspedisi akan membangun daya tahan dan kebugaran anggota pramuka. Hidup di alam memberikan hubungan penting dengan  alam, khususnya remaja yang tinggal di perkotaan, dimana sering kali kurang kesempatan untuk berkelana sendiri atau melakukan penjelajahan  dan berkemah di gunung.

Ajakan kembali ke alam juga relevan dengan sikap dan perilaku generasi milineal yang sudah kecanduan Internet saat ini.  Riset yang dilakukan IDN Research Institute pada 20 Agustus-6 September 2018 menunjukkan hal itu. Survei itu dilakukan  12 kota besar Indonesia, antara lain Medan, Palembang, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Pontianak, Makassar, Manado, Denpasar, dan Mataram.

Hasil riset menunjukkan bahwa 94,4 persen millennial Indonesia telah terkoneksi dengan internet. Internet menjadi kebutuhan utama bagi millennial. Kebutuhan dasar milennial adalah sandang, pangan,  dan colokan.  Mayoritas milennial Indonesia sudah masuk dalam kategori heavy user dan addicted user. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sudah mengalami kecanduan dan ketergantungan terhadap internet. Ibaratnya, lebih baik tidak pegang dompet ketimbang tidak pegang HP.  

Dari metode yang diajarkan  Baden-Powell, alam menyediakan lahan yang ideal bagi perkembangan spiritual/kejiwaan anak-anak dan remaja. Kehidupan di alam menunjukksn betapa berharganya dan lemahnya kehidupan, dan mengajarkan kepada manusia  rentannya daur hidup dunia.

Mendapatkan pemahaman bagaimana mudahnya kita merusak sesuatu dan bagaimana tidak mungkinnya untuk memperbaikinya, mengajarkan nilai-nilai dan membangkitkan penghargaan kepada alam dan orang lain. Alam dan alam terbuka menyediakan banyak sekali kemungkinan untuk mengagumi keajaiban-keajaiban penciptaan dan tempat manusia di dalamnya. Pengungkapan keyakinan dan kepercayaan seseorang akan terjadi dengan arti yang khusus jika diperkuat/didukung oleh unsur-unsur alam.

Baden-Powell menyimpulkan konsepnya dengan kata-kata berikut:

“Pengetahuan tentang alam merupakan langkah untuk menyadari Tuhan. Kerendahan hati dan kepatuhan/ ketaatan dapat diperoleh dengan berhubungan dengan alam di lautan, hutan, dan di antara gunung-gunung.”

Apa yang diajarkan Baden-Powell  (BP) lebih dari 100 tahun lalu masih relevan hingga saat ini. Tidak berlebihan jika BP  disebut sebagai Tokoh Pendidikan Lingkungan Hidup Dunia, karena model pendidikan ini sangat dirasakan manfaatnya hingga kini.  E.E Reynolds dalam artikelnya Perkemahan Pramuka yang Pertama menyebut BP membentuk suatu pola latihan dengan istilah: kehutanan, pengamatan, disiplin, kesehatan dan ketahanan, sifat ksatria, mempertahankan hidup serta patriotism.

Frans C. Verhagen, Direktur Eksekutif International Society of Ecological Educators dalam tulisannya berjudul Earth Literacy Education: What, why and how?, memasukkan model Baden-Powell kedalam enam fase tonggak pendidikan lingkungan di Amerika Utara.   

Fase pertama adalah adalah transmisi sikap, adat istiadat dan praktek-praktek hidup harmoni dengan alam yang dilakukan penduduk asli Amerika.  Fase kedua dari keaksaraan Bumi adalah studi alam yang dilakukan antara lain oleh Thoreau, Muir, Emerson, Whitman, dan lainnya.

Industrialisasi yang pesat membutuhkan konservasi. Hal itu mendorong Presiden Theodore Roosevelt dan Gubernur New York Stat, masing-masing mendirikan Presidential Commission on Conservation and preserved regions di Adirondacks dan Catskills.

Fase ketiga adalah   pendidikan  berkemah oleh pendiri Gerakan Pramuka Sedunia Lord Baden-Powell  pada tahun 1910.  Fase keempat, pendidikan outdoor dan sekolah berkebun  pada kurikulum sekolah di NYC. Fase selanjutnya tahun 1960-an ketika Rachel Carson membawa pendidikan lingkungan ke tingkat yang lebih canggih dengan menekankan pafda degradasi dan disintegrasi system Bumi. Fase keenam adalah pendidikan lingkungan yang  menggabungkan dan didasarkan pada teori environmentalisme yang mengatur masyarakat sesuai nilai-nilai keberlanjutan dan  keadilan/kesetaraan.

Perkemahan di  Pulau Brownsea menjadi cikal bakal berdirinya organisasi kepanduan sedunia, World Organization of the Scout Movement (WOSM). Sejak penerbitannya tahun 1921, World Scouting –majalah bulanan  Biro Kepramukaan Sedunia – memuat berbagai hal mengenai alam dan konservasi. Organisasi WOSM juga mengadakan kerja sama dengan WWF, UNESCO dan UNEP untuk kegiatan lingkungan hidup.

Konferensi Kepramukaan Sedunia ke-23 tahun 1971 mengesahkan Resolusi Nomor 12/71. Isinya menghimbau untuk mengadakan tindakan yang berkesinambungan dalam pelestarian lingkungan hidup secara keseluruhan, karena penting dan sangat mendesaknya, “menggalakkan organisasi Kepramukaan Nasional untuk usaha yang lebih intensif dan kerjasama dengan organisasi lain yang melaksanakan pelestarian warisan alam dari manusia.”

Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Indonesia telah lama mengadopsi hal itu dalam kurikulum pendidikan kepramukaan. Pada tahun 1995, keluar Keputusan Kwartir Nasional Nomor 151 tentang Syarat dan Gambar Tanda Kecakapan Khusus Lingkungan Hidup dan Petunjuk Pelaksanaanya.

Syarat kecakapan itu adalah pengenalan alam, pelestarian fungsi sumber daya, wisata lingkungan, konservasi tanah, konservasi iklim, pengamatan ekosistem, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan pemasyarakatan peraturan lingkungan. Tim penyusun kurikulum ini adalah Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, SH ML, Andalan Nasional (pengurus) Kwarnas dan mantan Sekretaris Menteri Negara Kementerian Lingkungan Hidup (1980-1986).

Selain itu, Kwarnas juga membentuk Satuan Karya (Saka) Wanabakti tahun 1980-an bekerjasama dengan Departemen/Kementrian Kehutanan. Ini merupakan  wadah bagi pramuka penegak dan pandega melaksanakan kegiatan nyata, produktif dan bermanfaat dalam rangka menanamkan rasa tanggungjawab terhadap pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pembinaan Saka Wanabhakti bekerjasama dengan Kementrian Kehutanan, Perhutani, dan LSM lingkungan hidup/lembaga profesional terkait.

Pada 20 November 2011, Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Prof. Dr. Azrul Azwar dan  Menteri Lingkungan Hidup Prof. Dr. Balthasar Kambuaya menandatangani nota pembentukan Saka Kalpataru.

Ada tiga krida sebagai bagian dari Saka Kalpataru,  yaitu: Krida 3R, Krida Perubahan Iklim dan Krida Keanekaragaman Hayati yang masing-masing dijabarkan lebih rinci  dalam syarat kecakapan khusus (SKK) dan TKK (tanda kecakapan khusus).

Krida 3R, terdiri dari komposting, daur ulang dan bank sampah. Krida perubahan iklim, terdiri dari konservasi dan hemat air; hemat energi listrik; dan transportasi hijau. Krida keanekaragaman hayati terdiri dari konservasi sumber daya genetik, pelestari skosistem dan jasa lingkungan.

Saka Wanabakti dan Kalpataru menjadi wadah untuk mendidik kaum  milenial (anak-anak dan remaja) menjadi generasi yang ramah lingkungan (green generation).  Mereka berhak mendapatkan lingkungan hidup yang nyaman dan sehat. Keberadaan Saka ini juga sesuai dengan visi kepramukaan sedunia yaitu  as a global movement, making a real contribution to creating a better world.

Akhirnya mari kita ingat wasiat terakhir Baden-Powell kepada Gerakan Pramuka Sedunia:

“Dengan mempelajari alam anda akan tahu betapa Tuhan telah menciptakan alam yang indah dan menakjubkan untuk dinikmati … Usahakan dunia ini berada dalam keadaan yang semakin baik dari saat ini.”

 

Salam Pramuka. Salam Lestari dan Keberlanjutan.

 

Untung Widyanto [untungwidyanto@yahoo.com]

Wartawan lingkungan, peneliti, trainer, anggota the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan andalan (pengurus) Kwarnas Pramuka masa bakti 2018-2023.

Ikuti tulisan menarik Untung Widyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB