x

Iklan

Zulhidayat Siregar

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inikah Teknik Propaganda Rusia Ala Jokowi?

Propaganda Rusia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seminggu setelah debat kedua Joko Widodo dan Prabowo Subianto, masyarakat semakin banyak memperoleh data dan perspektif pembanding untuk menguji kesahihan berbagai pernyataan yang disampaikan para Calon Presiden tersebut. Memang, sebenarnya tidak butuh waktu lama untuk mengetahui apakah informasi yang disampaikan tersebut benar atau tidak.

Karena sejumlah media dan juga lembaga swadaya masyarakat yang konsen terhadap topik debat (energi, pangan, infrastrukur, sumber daya alam dan lingkungan hidup) langsung melakukan cek fakta atau menyuguhkan data yang sebenarnya kalau ada informasi tidak tepat. Tidak ketinggalan, para netizen juga melakukan tracking untuk mengungkap jejak digital keterkaitan para kandidat dengan isu yang diangkat.

Dari kedua calon yang paling banyak mendapat sorotan adalah Jokowi. Karena capres petahana ini dianggap paling banyak mengungkap data yang tidak tepat. Pernyataan keras bahkan disampaikan Koordinator Jubir Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak: Kebohongan-kebohongan yang disampaikan kekuasaan sering kali disampaikan dengan penuh percaya diri. Karena laku itu sudah menjadi habitus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dahnil memang mendominasi kicauan dari kubu tim sukses Prabowo-Sandi, berdasarkan pantauan pengamat media sosial Twitter. Karena itu tidak heran, sejumlah pernyataan mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah tersebut paling banyak menuai tanggapan. Misalnya terkait dengan data luas panjang jalan desa yang telah dibangun hingga soal pemanfaatan lahan Prabowo oleh eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka alias GAM.

Jokowi mendapat sorotan juga karena yang bersangkutan lebih banyak mengeluarkan pernyataan berbasis data. Catatan Koran Kompas menunjukkan Jokowi menyampaikan 31 pernyataan yang berbasis data. Sementara Prabowo mengeluarkan 17 pernyataan berbasis data.

Cuma sayangnya, banyak data Jokowi yang dianggap tidak tepat. Misalnya soal data kebakaran hutan dan lahan, konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur, panjang jalan desa yang dibangun, impor beras, impor jagung, hingga yang terkait dengan palapa ring, sistem 4G, produksi kelapa sawit, pemanfaatan lubang galian bekas tambang untuk kolam ikan dan penegakan hukum yang tegas terhadap perusahaan yang terkait pembakaran hutan.

Tapi yang menarik, ada sejumlah data yang diluruskan langsung oleh 'alam', kalau boleh menggunakan istilah demikian. Misalnya terkait pernyataan Jokowi tidak adanya kebakaran hutan dan lahan dalam tiga tahun terakhir. Pernyataan Jokowi tersebut disambut dengan masifnya pemberitaan media bahwa ada ratusan hektar hutan dan lahan yang sedang dilanda kebakaran. Bahkan terungkap kebakaran sudah berlangsung sejak awal tahun 2019.

Informasi resmi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) total 858 hektar lahan sudah terbakar sejak 1 Januari 2019 hingga 21 Februari 2019. Pemrov Riau pun sudah menetapkan status siaga untuk 8 bulan ke depan. Apakah Jokowi sengaja menyembunyikan informasi ini atau dia memang sama sekali tidak tahu sehingga bisa dengan sesumbar menyatakan tidak ada kebakaran pada saat si jago merah tersebut sedang menggasak hutan dan lahan.

Demikian pula soal klaim Jokowi bahwa dana desa telah dipergunakan untuk membangun jalan desa yang panjangnya mencapai 191.000 Km. Keesokan hari setelah debat, publik dihebohkan foto seorang ibu hamil di Desa Dayakan, Ponorogo ditandu warga karena kondisi jalan yang tak memungkinkannya untuk dibawa menggunakan motor atau mobil.

Bupati Ponorogo memang melakukan pembelaan bahwa jalan tersebut sudah dilebarkan pada tahun 2018 menggunakan dana desa. Namun diakui politikus  Nasdem tersebut jalan tidak bisa dilalui kalau musim hujan karena belum diaspal. Terlepas dari itu, publik mempertanyakan apakah jalan ini termasuk yang 191 ribu Km yang dimaksud oleh Jokowi tersebut.

Berbagai kesalahan data yang diungkap oleh Jokowi tersebut patut diduga merupakan kesengajaan untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Karena tidak mungkin Jokowi yang masih menjabat sebagai Presiden tidak bisa mendapatkan informasi yang akurat. Bahkan diyakini pejabat yang terkait dengan berbagai topik debat tersebut sudah memasok Jokowi data-data terbaru. Jokowi ditengarai sengaja memainkan data-data untuk mengupgrade citranya.

Ada pula data yang diungkap Jokowi mendowngrade lawannya. Misalnya soal ratusan ribu hektar lahan yang dikuasai Prabowo, yang sebenarnya bahkan diakui sendiri oleh Jokowi tidak ada persoalan hukum. Malah Dahlan Iskan tahun 2012 saat menjadi Meneg BUMN di detik.com memberikan pernyataan positif terhadap lahan Prabowo. Belum lagi pembelaan Wapres Jusuf Kalla dan Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.

Tapi sayangnya, dalam acara live debat yang ditonton seluruh rakyat itu, Jokowi tidak mengungkap semua data pengusaha yang menguasai lahan seperti Prabowo. Padahal, berdasarkan laporan Koran Tempo, jumlah pengusaha dari timses Jokowi lebih banyak yang menguasai lahan, bahkan lebih luas. Ada yang mencapai hampir 500 ribu hektar. Ini belum termasuk para konglomerat yang diindikasikan mendukung sang petahana.

Gencarnya mengungkap data-data yang tidak tepat atau tidak utuh tersebut membuat Jokowi dinilai sedang menjalankan propaganda Rusia, sebuah istilah yang sebelumnya dia tuding dilakukan oleh tim sukses lawan politiknya. Propaganda Rusia lewat teknik firehouse of falsehood atau FoF ini dilakukan dengan menyebarkan banyak informasi yang salah atau sebagian salah secara berulang-ulang lewat berbagai saluran media. Dengan teknik itu, masyarakat akan lebih percaya terhadap berbagai semburan informasi hoax tersebut.

Jokowi bisa dianggap meniru propaganda Rusia ini karena dua hal. Pertama, banyaknya informasi yang tidak tepat dan utuh yang disampaikan. Kedua, panggung tempat dia mengeluarkan data-data tersebut disiarkan secara live oleh berbagai media elektronik seperti televisi dan radio yang menjangkau sampai ke pelosok negeri. Sehingga hampir semua mata menyaksikan atau telinga mendengarkan jalannya acara debat. Malah bukan tidak mungkin, banyak rakyat yang biasanya jarang menonton lalu menyempatkan diri mengingat pentingnya untuk mengetahui apa dan bagaimana visi-misi calon presiden tersebut.

Acara dan materi debat itu lalu juga diberitakan dan diulas secara masif oleh berbagai media elektronik tersebut, termasuk koran dan media online siber. Tapi bukan disitu poinnya. Poinnya adalah Jokowi sadar acara debat yang disiarkan secara live tersebut ditonton banyak orang sehingga momentum yang tepat untuk menyampaikan apa saja, walaupun ada data yang kurang tepat.

Dalam perkembangannya kemudian, memang ada data dan informasi yang diralat atau diluruskan. Tapi hampir bisa dipastikan tidak semua rakyat yang menonton acara live debat tersebut mendapatkan informasi atas ralat yang dilakukan Jokowi. Belum lagi, stasiun-stasiun televisi yang banyak pemiliknya merupakan pendukung Jokowi diduga kuat tidak akan gencar memberitakan pelurusan informasi tersebut.

Media cetak, juga siber dan termasuk berbagai media sosial lainnya memang masif mengulas dan meluruskan berbagai data dan informasi Jokowi. Termasuk mengungkap penguasaan lahan pendukung Jokowi. Tapi tentu jumlah mereka yang mengakses koran dan media sosial tidak sebanding rakyat yang hanya mendapatkan informasi lewat saluran televisi.

Data yang dirilis Nielsen pada Februari 2018 seperti dilansir Kompas.com ini setidaknya bisa memberikan gambaran. Generasi Z (10–19 tahun), misalnya, sebanyak 97 persen masih menonton televisi, 50 persen mengakses internet, 33 persen mendengarkan radio, 7 persen menonton televisi berbayar dan 4 persen membaca media cetak.

Sementara generasi Milenial (20 – 34 tahun), 96 persen menonton televisi dan 58 persen mengakses internet. Generasi X (35-49 tahun) yang menonton televisi (97 persen), mendengarkan radio (37 persen) dan mengakses internet (33 persen). Terakhir, 95 persen dari Generasi Baby Boomers (50 – 64 tahun) menonton televisi, 32 persen mendengarkan radio dan 9 persen mengakses internet.

Data ini tampaknya belum mencakup masyarakat lintas generasi di sejumlah daerah pelosok negeri yang hanya bisa mengakses televisi.

Karena itu, bisa dipastikan bukan jumlah yang sedikit masyarakat termakan permainan propaganda Rusia ala Jokowi ini

Ikuti tulisan menarik Zulhidayat Siregar lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler