x

Iklan

Wiranto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendidikan Berbasis Subyek

Pendidikan harus mengorientasikan anak sebagai subyek demi keberlangsungan peradaban yang manusiawi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akankah sekolah memunculkan generasi yang gagap sejarah, gagu nilai, gegar identitas, dan parau dalam menyuarakan kebenaran? Jawabannya adalah ya, jika sekolah memperlakukan anak didik sebagai obyek.

Seperti apa? Eksistensi anak didik hanya berhenti pada satuan nilai, data statistik, atau besaran nilai rupiah. Mereka dianggap tak lebih komoditas dan obyek eksploitasi sekolah melalui berbagai macam pungutan atau program-program palsu. Isu  pemberdayaan dan pencerahan untuk memihak anak didik pada akhirnya hanya sekedar wacana kosong. Terbentur kepala-kepala batu.

Kebijakan kurikulum setengah matang, tidak jelas dan bersifat coba-coba turut jelas menempatkan anak didik sebagai obyek kelinci percobaan. Anak didik juga menjadi obyek kekerasan epistemologis yang berupa dominasi kepentingan dan horizon harapan orang dewasa saat transfer nilai-nilai dan pengetahuan di sekolah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekolah tanpa subyek menjadi lokus pengasingan anak terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sosio-kultural di sekitarnya. Tembok sekolah begitu kuat menghalangi proses subyektifikasi yang diharapkan mampu membawa angin segar pada masa depan kemanusiaan anak didik. Kemanakah falsafah pendidikan learning to know, learning to do, dan learning to be yang dicanangkan oleh UNESCO?

Melihat Anak Didik Sebagai Subyek

Pendidikan berbasis subyek menempatkan sekolah menjadi lingkungan dinamis tempat berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran terhadap anak didik. Nilai-nilai, pengetahuan, dan ketrampilan diteruskan kepada anak didik secara sistematis dan terencana.

Guru-guru menempatkan dirinya sebagai medium organik yang menjadi penterjemah materi-materi abstrak dalam kurikulum dengan dunia kehidupan nyata anak didik. Masa depan kemanusiaan anak didik menjadi orientasi utama pembelajaran di sekolah. Anak didik menjadi individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus. Anak didik menjadi dirinya sendiri dan bukan menjadi jiplakan guru. Anak didik dipahamkan bahwa mereka adalah sepenggal narasi dalam sebuah kisah sosial yang lebih besar. Intinya, anak didik benar-benar dilihat sebagai subyek.

Lingkungan sekolah menjadi masyarakat mini yang mencerminkan interaksi sosial yang sehat, saling menghargai, toleran, partisipatif, humanis, dan demokratis. Tak heran jika Hadari Nawawi  jauh-jauh hari menyampaikan  bahwa anak-anak yang bersekolah adalah individu yang merupakan totalitas kepribadian yang dinamis, sehingga harus diperlakukan sebagai subyek.

Pendidikan kebersamaan (togetherness education) penting untuk diselenggarakan guna meningkatkan kesediaan dan kemampuan anak-anak memahami dan menyadari kehadiran orang lain. Orang-orang di luar diri yang juga mempunyai hak dan harus diperlakukan sebagai subyek.

Dalam relasi subyek-subyek ini guru harus mempunyai kompetensi dalam mendidik anak agar mereka bersedia saling menghargai dan saling menghormati. Guru berkewajiban memelihara dan membina hubungan manusiawi atau hubungan sosial yang efektif di kalangan murid-muridnya sehingga kekerasan dan pelecehan terhadap anak didik bisa dikurangi. Mata pelajaran yang ada disekolah harus dikemas sedemikian rupa sehingga tidak hanya menjadi sebuah pengetahuan yang kering akan nilai-nilai kebersamaan dan akhirnya menumpuk menjadi sampah ingatan.

Paradigma pendidikan baru berbasis subyek membuat cara pandang terhadap kesalahan yang dilakukan oleh anak didik mengalami pergeseran revolusioner. Pandangan keliru dalam memaknai kesalahan anak didik rentan memunculkan kekerasan dan pelecehan. Tak ada lagi julukan “nakal”, “berandal”, dan istilah negatif lainnya.

Kesalahan mesti dilihat sebagai salah satu bagian dari proses pembelajaran. Alih-alih menekan anak, guru harus mengajak anak duduk bersama, menelusuri kesalahan secara mendalam, membantu anak meletakkannya dalam kerangka yang benar, memberi tahu anak tentang pilihan dan konsekwensi serta membantunya mengatasi persoalannya tersebut.

Tindakan di atas memang memakan proses,  namun dalam jangka panjang perlakuan seperti ini akan mematangkan kepribadian anak dalam kehidupan sosial. Dalam sebuah sekolah yang dicirikan oleh suasana yang empatis, demokratis, partisipatif dan humanis, kesalahan diletakkan dalam proporsi yang sebenarnya dalam rangka, meminjam kalimat Driyarkara, “memanusiakan manusia muda”.

Anak-anak bisa dididik melalui pekerjaan, melalui kegiatan-kegiatan sosial, melalui partisipasi dalam kehidupan kultural, melalui tanggapan-tanggapan emosional, melalui hubungan antar manusia, melalui perjalanan dan olah raga, serta media lain yang sekiranya memungkinkan anak untuk melakukan proses pendidikan alternatif. Dengan demikian pendidikan tidak semata-mata merupakan suatu operasi intelektual kognitif yang berlangsung di dalam batas-batas tembok sekolah.

            Sebagai subyek, hak anak untuk memperoleh pengetahuan harus dilihat dengan kacamata baru. Anak didik diajarkan untuk terbiasa membangun pengetahuan untuk dirinya sendiri dalam suatu konteks sosial. Konsep ini mendasari metode-metode aktif dalam mempelajari lingkungan bagi anak didik.

Implikasinya, anak-anak hanya sedikit menggunakan “bahan” dari sumber-sumber luar anak yang merupakan produk kebijakan orang-orang dewasa dan menggunakan semua materi yang dialami anak. Ini memungkinkan berkembangnya kreativitas anak-anak dalam memikirkan fungsi-fungsi lain yang mungkin dimunculkan dalam  suatu hal atau peristiwa di luar konteksnya yang biasa.

            Perlakuan di atas memuat konsekwensi bahwa anak didik harus dididik agar mampu untuk “mendidik dirinya sendiri” dan bahwa anak didik harus berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan lingkungan dan perubahannya. Segala jenis informasi, ketrampilan, dan pengetahuan tidak hanya mengandalkan dari sekolah, karena adakalanya sumber-sumber yang diberikan oleh sekolah tidak mempunyai kelanjutan dan tidak berkaitan dengan pengetahuan yang dijumpai di lingkungan anak.

Anak-anak diarahkan untuk menjadi dirinya sendiri, anak didik diarahkan untuk mengetahui potensi apa yang dimiliki dan berbagai macam kemungkinan untuk mengembangkannya. Upaya-upaya penyeragaman, indoktrinasi, dan intimidasi harus dihindari jauh-jauh terutama jika tindakan tersebut dijadikan sebagai alat pembenar upaya guru untuk “mendidik” anak.

Di masa depan, sekolah yang menempatkan anak didik sebagai subyek membuat mereka menjadi individu yang lebih mengandalkan pada pra-karsa sendiri dalam belajar dan membangun pengetahuan. Oleh sebab itu, tempat belajar akan lebih tersebar dan proses belajar akan lebih bergantung pada kemampuan seseorang bukan lagi sekedar tradisi. Bagaimanapun pembelajaran yang hanya didasarkan pada tradisi (dalam hal ini meliputi tradisi pengetahuan yang didapat dari sekolah) tidak akan memunculkan kemandirian dan inisiatif anak didik.

Jelas sudah bahwa melihat anak didik sebagai subyek adalah sebuah keharusan. Agar generasi negeri ini tidak hanya menjadi obyek peradaban. Agar generasi  negeri ini mampu menjadi subyek dalam memberi aksen dan warna pada sejarah peradaban manusia. Bagaimana, sebuah tawaran yang menggiurkan bukan?©

Ikuti tulisan menarik Wiranto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler