x

Iklan

Sari Novita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sawit adalah Kita, Begitukah?

Sawit banyak dibicarakan negatifnya, padahal sudah ada ISPO

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

“Sawit adalah kita”, apakah kita akan menentang atau mantap menyepakati kalimat ini? Sementara isu negatif masih bergulir di nasional maupun global, di sisi lain sawit telah berkontribusi  memberikan pendapatan devisa negara yang besar. Bahkan kelompok swadaya petani sawit di Muba, Sumatera Selatan menceritakan bahwa sawit telah membantu perekonomian di daerahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 2018, Ketut Kariyasa, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian menjelaskan adanya peningkatan ekspor di sektor perkebunan. Kelapa sawit, kelapa, kopi, teh, jambu mete, dan tembakau, komoditas-komoditas inilah yang saat ini banyak diminati di negeri sendiri dan dunia internasional, yang otomatis mendongkrak pendapatan negara.

Ekspor komoditas perkebunan meningkat sebesar 26.5 persen dari Rp 341,7 triliun menjadi Rp 432,4 triliun. Sepanjang kuartal II 2018, pertumbuhan tertinggi ditempati sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan angka pertumbuhan 9,93 persen (dibandingkan kuartal I)[1]. Peningkatan produksi terjadi karena adanya pertumbuhan di sektor perkebunan sebesar 26.73 persen.

Seiring itu menurunlah tingkat kemiskinan di daerah, bulan Maret 2015 penduduk miskin di pedesaan sekitar 14,21 persen. Maret 2016 dan 2017 menjadi 14,11 persen dan 13,93 persen, kemudian Maret 2018 turun menjadi 13,47 persen. [2]

“Data tersebut menunjukkan kemiskinan keseluruhan secara nasional telah ditekan menjadi satu digit, 9,82 persen. Ini merupakan angka terendah dalam sejarah,” tutur Syukur Iwantoro, Sekjen Kementan.

Namun data di atas tidak menghentikan lembaga asing dan Uni Eropa memberitakan dampak negatif kelapa sawit bagi manusia dan lingkungan hidup. Di tahun kedelapan ISPO berdiri, telah memberikan 502 sertifikat ISPO kepada perusahaan dan petani sawit (493 perusahaan, 5 koperasi swadaya, dan 4 KUD plasma dengan luas total areal 4.115.434 hektar) pun belum mampu menghalau isu negatif dan diskriminasi kelapa sawit.  Isu-isu tersebut tidak hanya mengarah pada dampak lingkungan dan orangutan, tapi juga pada pekerja di bawah umur dan lainnya. Sedangkan banyak masyarakat Indonesia sendiri bisa dikatakan tidak berbeda dengan pihak asing, bagi mereka kelapa sawit adalah malapetaka!

Mengapa permasalahan sawit selalu saja ada, apakah karena masyarakat yang kurang edukasi atau persaingan perdagangan yang terjadi di dunia internasional?

Semestinya kehadiran ISPO mampu menepis kehadiran isu-isu negatif yang diserang kepada Pemerintah Indonesia. Nyatanya perjalanan tidak semudah yang dibayangkan.  Februari 2018, Dirjen Perkebunan Kementan, Ir. Bambang, MM mengungkapkan luas areal kelapa sawit di Indonesia tercatat sebesar 14,03 juta hektar. Berarti jika dibandingkan dengan luas lahan sawit yang telah mendapatkan sertifikat ISPO, setengahnya pun belum ada dari luas lahan keseluruhan.

Tahun 2019, ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil System) berusia 8 tahun. Bagi yang belum mengenal ISPO silahkan membaca di link https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Sustainable_Palm_Oil

Pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh perusahaan dan petani sawit Indonesia memiliki sertifikat ISPO – yang menekankan 4 aspek: aspek legal, ekonomi, sosial dan budaya, dan lingkungan hidup — dan 8 prinsip dan kriteria: legalitas usaha perkebunan, manajemen perkebunan, perlindungan dan pemanfaatan hutan dan lahan gambut, manajemen dan pengawasan lingkungan hidup, pertanggungjawaban terhadap buruh, tanggung jawab sosial dan memberdayakan perekonomian komunitas, peningkatan keberlanjutan bisnis, serta pelacakan rantai pasokan. Semua aspek dan prinsip kriteria terkait dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

Menurut pengakuan Ahmad Khoirun mewakili KUD Sejahtera Plasma Pinago Utama Palembang yang berhasil mendapatkan sertifikasi ISPO, tidak mudah memperoleh ISPO. Ibarat kata setiap jengkal diperiksa secara teliti termasuk air sungai, limbah, dan pembibitan. Mereka baru mendapatkan ISPO setelah melalui 1,5 tahun (dari proses audit) - luas lahan yang telah tersertifikasi sebesar 2386 hektar dari 3058 hektar.

 

 

Penyerahan Sertifikasi ISPO 27 Maret 2019

 

Pada tanggal 27 Maret 2019, Menara 165, Jakarta, sekitar 23 pelaku sawit menerima penghargaan ISPO. Bersamaan dengan acara tersebut, diberikan juga penghargaan untuk tokoh paling berjasa dalam mendesain dan mengembangkan sistem sertifikasi ISPO, yaitu Prof. Dr. Bungaran Saragih.

Selain pemberian sertifkasi dan penghargaan, 3rd International Conference and Expo on Indonesia Sustainable Palm Oil (ICE-ISPO) menggelar Talk Show yang membahas permasalahan seperti black campaign, pemetaan perkebunan sampai banyaknya petani yang menginginkan berlembaga. Pada salah satu sesi Talk Show Prospek dan Peluang Industri Sawit di Pasar Global, Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mengingatkan kembali soal black campaign

Katanya, semula NGO asing memberitakan lahan gambut, orangutan, tanaman-tanaman yang mati akibat pepohonan sawit, kebakaran hutan, dan lain-lain - setelah melakukan penelitian di lapangan. Tapi permasalahan yang diangkat tersebut perlahan menghilang. Namun ada laporan penelitian yang mulai menyinggung soal ketenagakerjaan. GAPKI tidak tinggal diam, malah melakukan workshop, dialog, kampanye penerapan kerja layak dan ramah anak ke berbagai perkebunan. Diakuinya pemerintah kurang memperhatikan masalah perburuhan di perkebunan kelapa sawit. GAPKI pun tidak bisa bekerja sendirian.

Sawit Indonesia jelas mempunyai peluang besar di pasar global. Tapi tidak semua negara dunia menyetujui penggunaan sawit sebagai biodiesel. Contohnya Uni Eropa yang mengeluarkan kebijakan menolak biodiesel berbahan kelapa sawit.

Sekitar 19 juta petani kelapa sawit Indonesia menaruh kehidupan keluarganya pada tanaman ini. Apabila tanaman sawit dilarang berproduksi, bagaimana nasib para petani dan keluarganya?

Jika sawit dikatakan merusak lingkungan, itu bukan suatu ungkapan yang salah maupun benar. Orang bisa saja menyebut sawit sebagai tanaman selfish, yang tidak bisa hidup dengan tumbuhan lain. Tapi begitulah kelapa sawit, perlu dikelola secara berbeda, tersendiri, dan penanganan ekstra. Masyarakat juga harus menyadari bahwa minyak sawit telah memuaskan lidah dan menyambung kehidupan mereka. Sama halnya dengan produk turunan lain.

Yang jelas para pelaku yang telah mendapatkan sertifikasi dengan susah payah melawan kebijakan Uni Eropa ini.

Mereka bilang dari 16 juta hektar luas lahan kelapa sawit di dunia, deforestasi terjadi hanya sekitar 8 persen. Sedangkan kedelai mencapai 19 persen deforestasi di dunia. Mengapa sawit dibandingkan dengan kedelai, rasanya pembaca tahu jawabannya.   

“Sawit adalah kita”, begitukah? Apakah kita benar-benar mengenal kelapa sawit? Saya rasa tidak. Banyak masyarakat yang menentang kehadiran kelapa sawit, padahal mereka datang ke lahannya saja belum pernah. Banyak juga yang merasakan kerugian akibat kelapa sawit, bisa jadi mereka belum tahu cara penanganan sawit yang baik atau berkonfrontasi pembebasan tanah, banyak hal lain yang tidak bisa diselesaikan dalam sekejap.

Dan mengapa Indonesia dan negara lain tidak bisa menepis Uni Eropa atau negara lain yang menolak sawit? Padahal Indonesia negara pertama di dunia yang mempunyai sertifikasi ISPO yang punya kesamaan dengan RSPO.

Untuk meng-global, terlebih dahulu pemerintah harus bisa mengubah image sawit yang buruk di mata masyarakat. Biarkan petani-petani dan peneliti sawit berkompeten dan terpercaya berbicara fakta sebenarnya tentang sawit, termasuk warga yang mengalami dampak besar negatif. Buka ruang edukasi dengan konten berkualitas dan membuat masyarakat bertambah pintar.

Kalimat “sawit adalah kita” terucap di bibir Sumarjono Saragih saat ICE-ISPO ketiga. Bagaimana jika kita berkenalan dulu dengan sawit, siapa, sih, ia sebenarnya? Tak kenal maka tak sayang!

  



[1] Data BPS 2018

[2] Sekjen Kementan, Syukur Iwantoro

Ikuti tulisan menarik Sari Novita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler