Mempertahankan dan membela pilihan sikap terhadap pilihan politik itu wajar. Begitulah memang politik. Lumrah saja.
Namun bertindaklah dengan elegan. Sesuai etika dan menghormati mekanisme. Menjunjung aturan main. Itu baru terhormat sebagai seorang masyarakat Indonesia.
Kalau tiba-tiba menggeruduk salah satu kantor penyelenggara Pemilu 2019 di sebuah kota, lalu memaksa melihat form rekapitulasi suara Pemilu 2019 sambil marah-marah dan membawa sekelompok ibu-ibu, itu cara bejat preman terminal.
Tindakan yang tidak mendidik. Padahal seharusnya diharapkan semua masyarakat mengajarkan kebaikan di kehidupan bernegara. Khususnya pasca-Pemilu 2019.
Bukan karena pangkat tinggi, gelar terhormat, atau kerabat pejabat, lantas bisa seenaknya ingin membela kepentingan junjungan politiknya di Pemilu 2019.
Sambil menebarkan kabar kalau ada kecurangan. Ah, itu amat membodohi masyarakat. Sikapnya mencoreng citra Indonesia sebagai bangsa yang santun dan menghormati etika.
Orang-orang berkarakter seperti itu membahayakan masa depan kelangsungan Indonesia. Sikapnya bukan tidak mungkin akan membuat Indonesia jadi lemah pertahanan agar tetap utuh.
Padahal Indonesia selalu membutuhkan contoh teladan. Sosok bijaksana yang menuntun Indonesia dan masyarakatnya jadi adiluhung. Indonesia ingin kuat di dunia.
Namun gaya oknum yang berlaku kasar menggeruduk kantor penyelenggara Pemilu 2019 di sebuah kota justru tak memahami aturan. Bahwa Indonesia menegakan hukum. Malah dia melanggarnya.
Kita masyarakat yang baik. Masyarakat yang ingin pertahanan Indonesia tidak rapuh sebab ulah premanisme. Marilah menyadari pentingnya menghargai mekanisme untuk menjaga Indonesia terus beradab.
Ikuti tulisan menarik Ahmad Irso Kubangun lainnya di sini.