x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 3 Juni 2019 07:24 WIB

Seruan Rekonsiliasi, Mengapa tak Bergema?  

Seruan rekonsiliasi yang otentik akan lebih dapat diterima oleh kedua kubu dan dipandang oleh masyarakat luas sebagai kontribusi positif untuk menyelesaikan perbedaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Seruan rekonsiliasi antara dua kubu yang berkompetisi dalam Pilpres 2019 belakangan ini kerap dikumandangkan. Para penyeru rekonsiliasi berusaha mendorong Jokowi dan Prabowo agar bertemu. Dalam pandangan mereka: pertemuan kedua calon presiden tersebut akan meredakan ketegangan di antara kedua kubu dan pendukungnya.

Tampaknya, usulan rekonsiliasi-yang-segera belum dapat diwujudkan karena kedua kubu memiliki pandangan berbeda mengenai hasil pilpres. Kubu petahana Jokowi memegang pengumuman Komisi Pemilihan Umum [KPU] yang menyatakan pihaknya memenangkan pilpres, sedangkan kubu Prabowo belum bisa menerima keputusan KPU dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi [MK]. Karena pemenang sudah ditetapkan oleh KPU, kubu petahana menilai rekonsiliasi sudah waktunya dilakukan. Sementara, kubu Prabowo menunggu persidangan gugatan dan keputusan MK nanti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dua pandangan yang berbeda ini perlu juga dipahami dalam konteks psikologi kedua belah pihak. Pemenang tentu saja beranggapan bahwa kompetisi sudah selesai, sedangkan yang dinyatakan kalah menilai bahwa perjuangan belum usai. Tidak mudah mempertemukan dua pandangan ini walaupun seruan rekonsiliasi beberapa kali disuarakan.

Betapapun rekonsiliasi itu penting, tapi ternyata tidak bergema. Tampak bahwa pihak yang lain tidak begitu antusias menyambut seruan rekonsiliasi. Mengapa? Karena seruan rekonsiliasi itu mengandung persoalan, pertama-tama terkait siapa yang menyerukan rekonsiliasi. Penyeru rekonsiliasi ini adalah figur-figur yang sebelumnya telah menyatakan preferensi dukungan secara terbuka kepada salah satu capres, sehingga seruan mereka kurang memperoleh sambutan dari kubu lainnya.

Seruan rekonsiliasi oleh figur semacam itu mungkin saja diwaspadai oleh salah satu kubu capres sebagai bermuatan kepentingan tertentu, bukan seruan rekonsiliasi yang murni dan otentik. Seruan rekonsiliasi akan lebih bermakna bila disampaikan oleh figur yang tidak pernah menyatakan dukungan secara terbuka kepada salah satu capres. Ia menyimpan pilihannya di bilik suara. Bagi figur semacam ini, pernyataan dukung-mendukung di muka publik akan membatasi peran dan geraknya, mengurangi keleluasaannya untuk menjalin komunikasi dengan kedua belah pihak—sesuatu yang sangat diperlukan untuk memulihkan keadaan pasca pilpres.

Seruan rekonsiliasi oleh figur yang tidak pro kepada capres manapun akan dianggap lebih otentik bukan saja oleh salah satu pihak, tapi oleh kedua belah pihak. Ketidakberpihakan kepada salah satu capres memungkinkan sosok seperti ini untuk berperan sebagai jembatan yang menghubungkan kedua kubu agar dapat saling berkomunikasi. Kesediaannya untuk mendenngarkan pihak-pihak yang semula berkompetisi dan memiliki pandangan berbeda mengenai hasil pilpres dapat membantu proses rekonsiliasi.

Seruan rekonsiliasi yang otentik akan lebih dapat diterima oleh kedua kubu dan dipandang oleh masyarakat luas sebagai kontribusi positif untuk menyelesaikan perbedaan. Siapa figur semacam itu? Saat ini, menemukan sosok nasional yang jangkauan keberpihakannya melampaui kedua kubu capres dan dapat diterima oleh kedua kubu ternyata tidak semudah yang diduga. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler