x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 1 Juli 2019 11:46 WIB

Berhargakah Suara Rakyat di Mata Politikus?

Para elite politik mesti menunjukkan fatsun politik dan penghargaan yang layak kepada jutaan pemilih dengan tidak begitu gampang berpaling ke kiri berpaling ke kanan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sudah usai dengan hasil-hasil yang sudah sama-sama kita ketahui. Suara-suara rekonsiliasi terus dikumandangkan. Menariknya, suara-suara ini disertai pula selentingan tentang reposisi koalisi—sebuah istilah yang terkesan samar, yang sesungguhnya ingin mengungkapkan adanya tawaran [atau tawar-menawar?] kepada anggota Koalisi Indonesia Adil Makmur alias kubu Prabowo Subianto untuk bergabung dengan Koalisi Indonesia Kerja alias kubu Joko Widodo.

Dalam masyarakat yang diikhtiarkan untuk dibangun atas dasar sistem demokrasi, jika tawaran untuk bergabung dengan mayoritas pemenang pileg dan pemenang pilpres itu diterima, sistem demokrasi akan berjalan timpang. Eksekutif akan menjadi sangat kuat sebab memperoleh dukungan mayoritas anggota DPR dari partai-partai koalisi. Sebaliknya, kekuatan yang dapat mengimbangi eksekutif akan lemah sehingga fungsi pengawasan, koreksi, kritik, serta check and balances, DPR akan tumpul.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di luar soal itu, ada pertanyaan yang layak diajukan: seberapa besar penghargaan politikus terhadap suara rakyat? Di mata politikus, seberapa berharga suara rakyat yang telah menjatuhkan pilihan kepada mereka?

Politikus agaknya perlu diingatkan kembali bahwa rakyat memilih mereka berdasarkan pertimbangan tertentu, antara lain karena agenda yang mereka usung, visi yang mereka kemukakan, janji yang mereka ucapkan, dan program yang mereka tawarkan. Walaupun tak bisa dipungkiri banyak pula yang asal pilih, namun banyak pula yang memilih atas dasar kesadaran politik.

Rakyat memilih partai tertentu karena menaruh harapan bahwa politikus di partai tersebut akan memperjuangkan gagasan yang juga menjadi atau seiring dengan aspirasi mereka. Gagasan tersebut bisa jadi tidak sama dan seiring dengan gagasan partai lain, yang kemudian ternyata meraih suara mayoritas parlemen dan sekaligus memenangi pilpres. Jika kemudian partai yang semula berbeda haluan bergabung dengan mayoritas pemenang, apa makna gagasan yang telah ditawarkan partai tersebut kepada rakyat? Apakah sekedar tawaran kosong?

Pertanyaan berikutnya: apakah partai-partai yang setuju bergabung dengan koalisi pemenang itu akan mengubur gagasan yang telah mereka tawarkan kepada rakyat selama kampanye? Lalu mereka ‘menyesuaikan diri’ dengan gagasan yang telah mereka kritik sebelumnya?

Rakyat boleh jadi bertanya-tanya, bila demikian, seberapa besar penghargaan partai kepada rakyat yang telah memilih calon-calon mereka karena mengapresiasi gagasan mereka? Dengan bergabung koalisi pemenang, bukankah ini berarti para elite partai telah meremehkan suara rakyat yang memilih mereka?

Salahkah bila rakyat mempertanyakan seberapa serius komitmen elite partai-partai ini dalam memperjuangkan gagasan yang mereka tawarkan? Ataukah para elite partai hanya menggunakan suara rakyat untuk transaksi politik dan tidak memperlakukan pilihan rakyat sebagai amanah, sebuah kepercayaan yang harus dirawat dan diperjuangkan?

Ini bukan perkara siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan para elite seharusnya memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan kepercayaan yang telah diberikan rakyat melalui kotak suara. Para elite politik mesti menunjukkan fatsun politik dan penghargaan yang layak kepada jutaan pemilih dengan tidak begitu gampang berpaling ke kiri berpaling ke kanan. >>>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB