x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 1 Juli 2019 18:57 WIB

Pemimpin: Mendengarkan, bukan Sekadar Mendengar

Pemimpin yang baik mengembangkan kemampuan mendengarkan secara aktif. Di dalam kata ‘aktif’ terkandung pengertian ‘kesadaran, kemauan, kehendak, cara, maupun tujuan’. Tidak mudah berempati kepada orang lain bila tidak mau dan mampu mendengarkan suara orang lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Manusia dianugerahi kemampuan untuk mendengar. Seperti halnya mata ada dua, lubang hidung ada dua, begitu pula daun dan lubang telinga ada dua—lebih banyak ketimbang mulut yang hanya satu. Orang tua zaman dulu memberi nasihat, karena lubang dan daun telinga lebih banyak ketimbang mulut, maka manusia diperintahkan untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara.

Orang tua zaman dulu juga memberi nasihat lain dengan mengajukan pertanyaan: apa bedanya mendengar dengan mendengarkan? Bila yang ditanya tak mampu menjawab, orang tua memberi jalan keluar. Mendengar itu bersifat pasif, umpamanya ‘mendengar pintu diketuk’, ‘mendengar namamu dipanggil’, ‘mendengar suara dentuman dari jauh’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata mendengarkan lebih condong ke arah aktif, di dalamnya terkandung upaya untuk menyerap, mencerna, dan memahami apa yang didengar. Bukan sekedar mendengar suaranya, tapi berusaha memahami maknanya. Bukan hanya telinga yang berfungsi, tapi hati dan nalar berikhtiar menangkap pengertian dari apa yang didengar telinga. Nalar berusaha memahami, sedangkan hati berusaha berempati—ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Banyak pemimpin—masyarakat, organisasi sosial, keagamaan, politik—sering merasa harus didengar suaranya daripada mendengarkan suara rakyat. Mereka kerap berkata: rakyat harus begini, mesti begitu, jangan gaduh, jangan macam-macam, jangan menyalahkan kami, dan banyak lagi permintaan, petuah, hingga perintah. Model komunikasi satu arah lebih dikedepankan.

Mendengar merupakan kemampuan alamiah yang dianugerahkan kepada manusia, namun mendengarkan merupakan kompetensi, kapabilitas, serta keterampilan yang perlu dipelajari. Kemampuan mendengarkan tidak akan tumbuh dan berkembang begitu saja. Masing-masing orang punya kemampuan yang berbeda, pertama-tama karena bakat bawaan yang berbeda, tapi yang tidak kalah penting ialah bagaimana mengembangkan kemampuan itu melalui latihan, pengasahan, dan terjun langsung.

Pemimpin yang baik mengembangkan kemampuan mendengarkan secara aktif. Di dalam kata ‘aktif’ terkandung pengertian ‘kesadaran, kemauan, kehendak, cara, maupun tujuan’. Sebagian orang mampu dengan sabar dan tekun mendengarkan perkataan orang lain: keluhan, curahan hati, pengakuan. Tidak mudah berempati kepada orang lain bila tidak mau dan mampu mendengarkan suara orang lain.

Sebagian lainnya lebih senang berbicara dan didengarkan orang lain. Para orator tahan berbicara berlama-lama sebab ia senang orang mendengarkan pembicaraan dan pidatonya. Bahkan, ia pun menikmatinya secara narsistik. Seseorang yang hanya mampu berbicara, memerintah ini dan itu, tidak akan memiliki kemampuan empatetik yang diperlukan untuk memimpin. Ia tidak akan tahan mendengarkan orang lain berbicara, apa lagi berkeluh kesah.

Pemimpin yang baik bukanlah orang yang senang dibuat senang oleh orang-orang di sekelilingnya. Pemimpin yang baik akan berusaha menemukan suara-suara kebenaran dan mendengarkan suara-suara otentik yang mengungkapkannya, yang mungkin berada di belakang orang-orang di sekelilingnya. Pemimpin yang baik tidak akan silau oleh penghormatan, tepuk sorak, maupun kemeriahan yang menyambut setiap kedatangannya. Ia akan berusaha menelisik ada apa di balik semua itu—apakah penghormatan, tepuk sorak, puja-puji, dan kemeriahan itu sejati ataukah maya? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler