x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Selasa, 2 Juli 2019 16:47 WIB

Cerpen: Politikus Plong

Memang pilpres kali ini begitu menyedot emosi banyak orang. Bahkan membelah rakyat ke dua kutub yang berseberangan. Sambil menikmati tegukan kopi. sang politikus pun menanti hasilnya ...Akankah ia plong?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pagi itu, langit berkabut tipis. Aku tertengadah menyaksikan hamparan langit di media sosial. Sinar mentari pun sepertinya belum mampu mengusir kegalauan. Resah, angka-angka hitung cepat hasil pilpres 2019 kian mendebarkan.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sambil menonton TV, sang politikus berkata “Gue harus menang. Bila kalah pasti ada kecurangan”.

Aku hanya mendengarkan. Berusaha memahami kondisi psikologis yang dialaminya. Maklum, pilpres telah menghancurkan segalanya. Pertemanan yang terkoyak. Fakta yang terfitnah. Hingga cacian bertebaran di mana-mana. Beruntung, aku dan sang politikus masih bisa bertahan. Tetap merajut pertemanan sekalipun punya pilihan yang berbeda.

 

“Gue udah habis-habisan. Maka pantas dong gue menang” kata Sang Politikus.

“Sabar bos. Habis-habisan kan bukan berarti harus menang. Kita tunggu saja, pengumuman resmi KPU. Asal apapun hasilnya, kita harus legowo untuk menerma” kataku sambal menpuk pundaknya.

“Iyaa… Tapi quick count di TV itu bikin emosi. Padalah, exit poll di TPS, gue menang” tegas Sang Politikus.

“Hahaha, gampang saja bos, Quick count gak usah ditonton. Itu kan cuma metode ilmiah, Cuma estimasi. Kalau suka ya diterima, kalau gak suka ya tolak saja. Gampang kan…” kataku lagi. 

 

Aku, kemudian berpikir.

Memang pilpres kali ini begitu menyedot emosi banyak orang. Bahkan membelah rakyat ke dua kutub yang berseberangan. Saling adu argumen, saling menjatuhkan. Tapia da yang dilupkan. Bahwa pilpres hanya alat berdemokrasi dalam memilih pemimpin. Jadi harusnya, setelah pencoblosan. Penting untuk menjaga suasana lebih tenang, lebih adem.

 

Sambil menikmati tegukan kopi. Aku pun mendekat ke sang politikus.

“Bos, apapun hasilnya. Seusai nyoblos, harusnya kita semua dalam keadaan yang plong. Agar kita merasa lega, lebih bebas dari beban pikiran macam-macam” ujarku.

“Plong, gimana? Kan belum ada hasilnya. Apalagi gue udah habis-habisan” sergah Sang Politikus.

“Loh, semua proses kan sudah dijalani. Kampanye sudah, coblos sudah. Jadi, kita tunggu saja. Asal kita tetap besar hati, tidak perlu emosi” kataku.

 

Plong itu keadaan jiwa yang dibutuhkan hari ini.

Karena sebentar lagi, kita tahu siapa presiden yang dipilih rakyat. Suasana plong. Agar tidak ada lagi caci-maki, hujatan, bahkan ujaran kebencian. Ibarat jomblo yang bertahun-tahun pacaran, lalu akhirnya bisa menikah. Pasti perasaannya plong. Berjiwa plong. Agar kita kembali jernih. Tetap rendah hati dan tidak perlu berlebihan. Karena nantinya, Allah SWT pasti punya alasan yang tepat untuk menempatkan bangsa ini seperti apa, siapapun presiden-nya.

 

“Bos, sebagai teman, gue berharap elo bisa jadi politisi yang plong. Bisa menerima realitas” saranku.

“Lah, gimana caranya bisa plong. Kan penghitungan suara belum kelar. Ya, kita tunggu saja hasilnya” kata Sang Politikus bernafsu.

“Iya, gue hanya saran agar plong. Bukan malah jadi blong. Karena bila blong, maka kita jadi kebablasan. Karena gak ada lagi yang menahan. Gagal berjiwa besar” jelasku padanya.

 

Sungguh, politik telah mengkoyak segalanya, pikirku lagi.

Begitu banyak pendukung capres. Berjibaku setiap hari untuk membenci, lalu menghujat. Seolah mereka sudah blong bukan plong. Mereka sering lupa. Bila kita merasa baik, belum tentu orang lain tidak baik. Bila kita tidak bisa sama, mengapa tidak boleh beda?

 

Karena itu, menyikapi pilpres yang baru saja terjadi. Sikap plong lebih penting daripada blong. Agar semua pihak bisa lebih realistis. Menerima apapun hasilnya. Kita sudah ikhtiar, sudah berdoa. Tingga menunggu hasilnya. Pasti itu semua atas kehendak-Nya, begitu kata batinku.

 

Sang politikus pun berdiri sambal menghisap sebatang rokok.

Raut wajahnya tampak galau. Pikirannya tercabik-cabik seolah sulit menerima realitas politik. Pikiran jeleknya lebih dominan daripada baiknya. Konsekuensi berat ke depan, harus dihadapinya.

 

“Sudahlah bos, kita rileks sejenak. Buatlah hati dan pikiran kita lebih plong. Toh, bila kita tidak bisa jadi matahari. Cukuplah jadi lentera yang bisa menerangi orang-orang di sekitar. Dan untuk itu, kita tidak harus jadi politis. Jadi orang biasa pun bisa” nasehatku kepada sang politikus.

 

“Iya, elo ngomong gampang. Tapi gue sulit bisa menerima bila kalah. Karena semuanya sudah gue kerahkan. Habis-habisan” kata Sang Politisi agak emosi.

“Loh, justru ini ujian dan konsekuensi atas pilihan elo sendiri. Kalau kita siap berkompetisi, kita pun harus berkonsekuensi. Kita harus berjiwa besar dalam menerima realitas politik.

Memang sulit untuk mengakui kelemahan diri sendiri. Apalagi mengakui keunggulan orang lain” tambahku lagi.

 

Matahari pun kian meninggi. Senja sebentar lagi tiba.

Ada pelajaran berharga dari pilpres kali ini. Bercermin dari sang politikus. Politik dan pilpres memang ganas. Ia menjadi  sebab hancurnya sebuah cinta. Karena terbalut dalam belenggu harapan yang berlebihan. Pantas, politik selalu menyeret banyak orang. Memilih larut dalam kebodohan dan keegoisan diri.

 

Dari wajah sang politikus. Hampir saja “kapal" yang terus berlayar itu kandas; tidak bisa beranjak karena terombang-ambing siasat politik atas nama cinta ...

 

Aku pun berdoa untuk sang politikus. Agar lebih plong menerima segalanya.

Karena aku yakin. Hidup berdampingan bersamanya dan tetap berjiwa besar adalah kemenangan terbaik yang pantas kita rayakan bersama … #TGS

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB