x

Iklan

Dewa Made

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 5 Agustus 2019 12:21 WIB

Mati Lampu, Jakarta Jadi Hening

Saat Jakarta mati lampu, saya seperti merasakan nuansa Nyepi di Bali yang berpindah ke ibu kota.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Minggu 4 Agustus 2019, gema adzan zuhur yang biasanya menjadi penanda tengah hari, tidak terdengar. Sejenak, tidak banyak pula aktivitas warga yang terjadi. Jakarta begitu hening.

Pangkal keheningan adalah Jakarta mati lampu. Beberapa media menyebut padamnya listrik ibukota ini terparah sejak 2005. Dan ini pengalaman pertama saya merasakan listrik padam terlama selama di Jakarta.

Yang semakin membuat mati gaya adalah aliran listrik tower telekomunikasi sepertinya turut terdampak. Saluran komunikasi sempat lumpuh. Tidak hanya internet, tetapi juga saluran telepon atau SMS juga tersendat, "Emergency Only".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Awalnya saya menganggap mati lampu sebagai kejadian sepele. "Ah ini kan Jakarta, paling beberapa menit langsung menyala lagi". Namun, gema adzan asar pun juga terlewat. Itu artinya mati lampu sudah berlangsung sekitar 3 jam lebih. Dahsyat! Saya bergegas mengaktifkan fitur penghemat baterai di smartphone, berjaga-jaga jika mati lampu lebih lama.

Penat di rumah, saya keliling di sekitaran komplek pada petang hari. Suasana jalanan Jakarta ramai kembali menjelang petang. Meski lampu jalan padam, lalu lalang kendaraan tetap ruweh. Aktivitas PKL di malam hari berjalan normal. Di sebuah minimarket terdekat, tetap diserbu pelanggan. Lengkap dengan stiker tempel bertuliskan "Lilin Habis".

Lilin di Sebuah Minimarket Habis Terjual Akibat Mati Lampu

 

Meski pada akhirnya listrik mati hingga berjam-jam, di komplek saya menyala kembali setelah 8 jam, entah mengapa saya kalem dan tenang. Saya sedikit menikmati Jakarta yang seolah berhenti sejenak. Seperti merasakan nuansa Nyepi di Jakarta. Tangan dan mata yang biasanya terpaku pada layar-layar digital, apalagi ini hari libur, seolah dipaksa untuk istirahat penuh. Suara-suara dari televisi, aktivitas youtube dan media sosial lainnya turut menyumbang keheningan.

Bicara soal mati lampu, ini bukan pengalaman pertama. Di desa tempat asal saya, pernah mengalami listrik mati hingga berhari-hari. Jadi secara psikologi, tidak sepenuhnya berdampak pada diri saya. Rumah sewa pun tidak dilengkapi AC, jadi tidak banyak suasana yang berubah akibat mati listrik, selain gelap gulita di malam hari.

Sayup-sayup ketika jaringan komunikasi perlahan pulih, saya melihat beberapa pemberitaan. Meski mati lampu bagi saya tidak begitu masalah, tidak bagi kebanyakan aktivitas di kota sebesar Jakarta. Listrik mati berdampak signifikan. KRL berhenti beroperasi dan beberapa kereta MRT mesti terhenti di terowongan bawah tanah. Penumpang pun harus dievakuasi. Listrik mati saat berada di bawah tanah, cukup horor bukan? Mobilitas kian terganggu karena jaringan ojek online juga tersendat. Produktivitas yang bergantung pada listrik pun pasti merugi.

Momen mati lampu di Jakarta sungguh tidak pas, karena berdekatan dengan kasus korupsi yang mendera PLN. Anak perusahaan BUMN yang menjadi tumpuan menerangi jutaan rumah, memang kerap tersandung korupsi. Pemadaman massal ini semakin memperburuk citra PLN.

Meski saya terkesan legowo dengan kejadian listrik padam, tapi kejadian ini luar biasa. Mengapa PLN sampai kedodoran menyiapkan rencana cadangan ketika insiden yang kabarnya dipicu gangguan transmisi Sutet 500 kv. Terlebih kita tidak sedang menghadapi bencana.

Setelah 8 jam berlalu, listrik menyala kembali. Warga di komplek saya bersorak. Tapi sekitar 2 jam kemudian listrik mati lagi sampai keesokan harinya. Saya pun tidur didampingi kipas angin yang mati dan dikerubungi nyamuk.

Ikuti tulisan menarik Dewa Made lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler