x

Benny Wenda

Iklan

Alfin Riki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Rabu, 14 Agustus 2019 14:20 WIB

Benny Wenda Tak Pantas Terima Oxford Freedom Of The City Award

Benny Wenda Tak Pantas Terima Oxford Freedom Of The City Award

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penghargaan kepada Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan Untuk Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda berupa “Oxford Freedom of The City Award” dari Dewan Kota Oxford pada 17 Juli 2019 lalu, terasa janggal dan kurang tepat. Walupun itu bukan penghargaan resmi dari pemerintah Kota Oxford ataupun Pemerintah Inggris, namun penghargaan dari Dewan Kota (sejenis DPRD tingkat Kota), tetap dapat dijadikan mercusuar atau kampanye kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) Papua.

Begitu oleh Benny Wenda yang sejak tahun 2002 telah bermukim di Inggris karena mendapat suaka dari Pemerintah Inggris tahun 2002. Dengan penghargaan itu Benny Wenda akan lebih nyaring menyuarakan kemerdekaan Papua di dunia internasional.

Hal yang menjadi pertanyaan, apa kriteria Dewan Kota Oxford dalam memberikan penghargaan itu kepada Benny Wenda--seorang separatis yang selalu menggunakan kekerasan dan teror untuk mencapai tujuannya? Perlu diketahui bahwa ulah Benny Wenda telah menimbulkan korban. Oleh karena itu Benny Wenda dan kelompoknya tidak mendapat simpati rakyat Indonesia, khususnya Papua. Benny akhirnya melarikan diri ke Inggris, sedangkan kelompoknya ada yang tewas. Sebagian lagi hidup di hutan karena kebaradaannya ditolak rakyat Papua yang cinta damai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ditinjau dari kriteria obyektif yang universal, tidak ada faktor pendukung bahwa Benny Wenda layak memperoleh penghargaan. Dia mempunyai sifat yang jauh dari sifat perjuangan Nelson Mandela maupun Mahatma Gandhi. Dua tokoh itu dikenal anti kekerasan, dekat dan didukung mayoritas rakyatnya. Mereka juga berani berhadapan dan berdialog dengan pemimpin negara, bukan malah lari dan hidup enak di negeri orang.

Jadi sama sekali tidak ada sifat kemanusiaan sebagaimana tokoh yang seharusnya mendapat penghargaan. Seorang separatis yang menggunakan kekerasan dalam ukuran Hukum Internasional, tidak (bisa) diakui sebagai pahlawan.

IRA di Irlandia Utara (sekarang bagian dari Inggris Raya), misalnya, ditumpas oleh militer Inggris. Di Spanyol, gerilyawan Basque yang ingin memisahkan wilayah Catalan (sekitar Barcelona) dari Spanyol juga ditumpas militer Spanyol. Para pemimpinanya tidak ada yang mendapat penghargaan dari manapun. Begitu juga separatis di Rusia, Cina dan Myanmar, mereka ditumpas, dan warganya pun diusir.

Sangat disayangkan, Dewan HAM PBB berdiam diri (dalam soal ini) dengan dalih separatisme bukan merupakan “the right to self-determantioan” seperti yang terkandung dalam Declaration Universal of Human Rights PBB tahun 1945. Padahal gerakan tersebut menggunakan kekerasan seperti teror untuk mencapai tujuannya. Justru gerakan ini yang bertentangan dengan HAM. Tidak sepantasnya orang yang menggunakan kekerasan justru mendapat penghargaan.

Sudah sewajarnya bangsa Indonesia mempertanyakan kriteria penghargaan tersebut, tanpa mengurangi kebebasan dalam memberikan penghargaan. Jika penghargaan tersebut tidak pantas, tentu perlu dievaluasi di masa mendatang. Bagi bangsa Indonesia, penghargaan tersebut tidak mendatangkan manfaat untuk kemajuan, kesejahteraan, dan perdamaian wilayah, negara dan dunia.

Ikuti tulisan menarik Alfin Riki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler