x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 20 Agustus 2019 08:21 WIB

Mendengar Manokwari, Teringat Black Brothers dan Johanes Auri

Ketika itu, Irian [Papua] begitu dekat—Persipura selalu kami jagokan bila bertanding, sebagaimana Black Brothers juga kami sukai musiknya. Kini, hampir 50 tahun kemudian, kami ingin Irian [Papua] tetap dekat, bahkan semakin dekat. Tidak cukupkah masa setengah abad?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mendengar kabar Manokwari bergejolak, saya teringat masa-masa menjelang remaja pada tahun 1970-an awal. Dengan alat putar kaset seadanya milik ayah, saya dengarkan lagu-lagu Black Brothers—[maaf] kasetnya bajakan yang dijual di kaki lima. Di tengah dominannya grup band dari Bandung, seperti Giant Step, The Rollies, Freedom of Rhapsodia, dan Bimbo, lalu Koes Plus, D’Lloyd, dan God Bless dari Jakarta, AKA dari Surabaya, hingga Panbers dan Mercy’s dari Medan, kehadiran Black Brothers sungguh mengejutkan.

Siapa sangka dari Irian akan muncul grup band yang berhasil mencuri perhatian masyarakat masa itu. Zaman itu rambut bergaya kribo ala Ucok AKA dan Ahmad Albar God Bless memang lagi populer. Pemusik Black Brothers pun berambut kribo, yang entah kenapa ketika itu rasanya cocok dengan gaya musik mereka yang funky. Suara saxophone, trompet, dan kadang-kadang koor di latar belakang menjadikan grup musik ini tampil beda.

Lagu-lagu Black Brothers pernah ngetop dan menduduki tangga lagu musik Indonesia. Penggemar musik masa itu boleh jadi tidak akan lupa pada salah satu lagu mereka, Hari Kiamat. “Di tepi jalan, si miskin menjerit, hidup meminta dan menerima. Yang kaya tertawa berpesta pora, hidup penuh kecurangan. Bintang jatuh, hari kiamat, pengadilan yang penghabisan.” Liriknya beraroma sosial dan sindiran atas ketimpangan—yang sampai sekarang, sayangnya, juga belum lenyap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lagu populer lain yang dinyanyikan Black Brothers ialah Kisah Seorang Pramuria, yang menjadi judul album pertama mereka. Karya Hengky MS, personil Black Brothers, ini dengan cepat populer—di youtube ada rekaman Hengky, yang tinggal di Belanda ketika direkam, tengah bermain gitar dan menyanyikan lagu ini. Lagu ini kemudian dinyanyikan oleh Charles Hutagalung, motor The Mercy’s. Melalui suara khas Charles, lagu ini semakin populer sehingga sempat disangka bahwa lagu itu ciptaan The Mercy’s.

Puluhan tahun waktu sudah berlalu. Setelah sempat mencapai puncak popularitasnya dan sempat mengguncang panggung musik di Istora Senayan pada akhir 1976 bersama grup SAS—pecahan AKA, Black Brothers menghilang entah kemana, tak terdengar lagi kabarnya. Belakangan tersiar kabar mereka ke luar negeri, entah karena alasan politik atau karena ingin mendongkrak karir musik.

Di masa itu pula, pada tahun 1970-an, di dunia sepak bola Indonesia, hadir sejumlah pemain sekaligus seniman bola dari Indonesia Timur. Klub sepakbola ‘swasta’ belum lagi hadir, yang ada sejenis perserikatan seperti Persija, Persebaya, PSM Ujungpandang, dan PSMS Medan. Nama-nama seperti Johanes Auri, Timo Kapisa, dan Hengky Rumere amat dikenal seperti halnya Risdianto, Waskito, Yuswardi, Ronny Pasla, ataupun Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.

Mereka menjadi motor kesebelasan Persipura yang dikenal trengginas dalam bermain dan memperlihatkan bakat alami yang khas. Nama Persipura melambung tatkala berhasil menjuarai Piala Suharto tahun 1976. Beberapa pemainnya, di antaranya Johanes Auri, dipanggil masuk untuk memperkuat tim nasional.

Di Manokwari, Johanes Auri dilahirkan. Ketika memperkuat tim nasional pada 1975, ia menempati posisi bek kiri. Sebagai pemain mashur pada masanya, ia tidak banyak cakap dan rendah hati, hingga dijuluki sebagai black silent. Pada masanya, Persipura merupakan kesebelasan yang disegani di tanah air, sehingga Black Brothers mengeluarkan lagu khusus untuk menyanjung Persipura: Mutiara Hitam.

“Orang telah tau

Semua pun tau di lapangan hijau

Kini tlah muncul di ufuk timur,

Mutiara hitam...”

Ketika itu, Irian [Papua] begitu dekat—Persipura selalu kami jagokan bila bertanding, sebagaimana Black Brothers juga kami sukai musiknya dan kami baca ulasannya di majalah musik Aktuil yang terbit dari Bandung. Kini, hampir 50 tahun kemudian, kami ingin Irian [Papua] tetap dekat, bahkan semakin dekat. Tidak cukupkah masa setengah abad? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler