x

Ratusan mahasiswa asal Papua di Jakarta menggelar aksi unjuk rasa di depan Markas TNI-AD menuju Istana Merdeka, Kamis. TEMPO/SUBEKTI

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 25 Agustus 2019 18:15 WIB

Problem Papua, Terbelit Soal Rasisme hingga Siklus Kekerasan

Masalah Papua yang tidak bisa dipandang sepele lantaran menyangkut isu rasisme. Kasus ini menambahkan deretan problem selama membelenggu Papua, terutama siklus kekerasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demo dan kerusuhan yang sempat memanas  di Papua merupakan percikan dari problem integrasi  yang belum tuntas.  Secara  politik,  Papua dan Papua Barat  merupakan bagian dari negara Repub;ik Indonesia.  Tapi dari sosial, budaya, bahkan ekonomi,  terasa masih belum menyatu benar.

Kemarahan masyarakat Papua yang dipicu oleh insiden di Surabaya dan Malang  tidak bisa dipandang sepele lantaran menyangkut  isu rasisme.  Problem baru ini menambahkan deretan masalah yang selama ini  membelenggu Papua, terutama siklus kekerasan.

Bahaya  Isu Rasisme
Masalah rasisme akan berkepanjangan dan membuka lagi problem Papua yang lain jika pemerintah tidak segera menyelesaikan.   Itu sebabnya,  langkah Kodam V Brawijaya  untuk menyelidiki  kasus ini cukup bagus.     Kodam akan memeriksa enam anggota yang diduga terlibat dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Sabtu, 17 Agustus 2019.

Enam anggota  itu ditengarai berteriak rasis dalam kejadian tersebut. Menurut Pangdam Kodam V Brawijaya, Mayor Jenderal Wisnu Prasteya Budi, mereka sudah memeriksa anggota TNI sejak video pengepungan viral. "Ini sudah kami limpahkan ke POM, untuk proses hukum selanjutnya itu," tutur Wisnu. Jumat 23 Agustus 2019.  Baca: Enam Aggota TNI Diperiksa

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya, beredar video yang menayangkan pengepungan massa di asrama mahasiwa Papua tersebut. Dari kerumunan massa terlihat seorang yang diduga anggota TNI mengeluarkan makian bernada rasisme kepada mahasiswa Papua. Pengepungan dan teriakan rasis ini yang menjadi pemicu kerusuhan di Papua.Mengakhiri Konflik Papua

Melanggar UU Antidiskriminasi
Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua  sebelumnya telah menilai penangkapan 43 mahasiswa Papua di Surabaya dan penganiayaan terhadap massa di Malang merupakan tindakan rasisme.  “Masih hidup penyakit rasisme dalam tubuh aparatur negara dan warga negara Indonesia,” ujar Direktur LBH Papua Emanuel Gobay dalam keterangan tertulisnya hari ini, Ahad, 18 Agustus 2019.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan RI pada Sabtu lalu, 17 Agustus 2019, terjadi penggerebekan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Pacar Keling, Kota Surabaya, Jawa Timur. Penggerebekan dilakukan oleh aparat TNI diikuti pengepungan Satpol PP dan ormas.

Diduga penggerebekan dipicu kesalahpahaman setelah Bendera Merah Putih milik Pemerintah Kota Surabaya jatuh di depan asrama. Sedangkan di Malang terjadi bentrokan polisi dengan mahasiswa asal Papua yang demonstrasi pada 15 Agustus 2019.

LBH Papua berpendapat pelaku kekerasan melanggar Undang-undang nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik.  Baca: Kasus Surabaya Tindakan Rasisme

Dalam catatan Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, selama 2018 hingga Agustus 2019 telah terjadi delapan kali aksi pengusiran mahasiswa Papua di sana. Pembubaran kerap diwarnai dengan intimidasi, perampasan, pemukulan, hingga penangkapan paksa. Usaha para mahasiswa Papua untuk menyampaikan aspirasi tentang daerahnya justru lebih sering disambut dengan kekerasan.

Siklus Kekerasan di Papua
Kasus rasisme saat ini mengingatkan lagi  siklus kekerasan di Papua yang justru menyebabkan  bibit perlawanan terhadap pemerintah RI  terus tumbuh. Akhir tahun lalu, misalnya. kelompok bersenjata yang membunuh belasan karyawan PT Istaka Karya, awal Desember tahun lalu.

Penembakan serupa sering terjadi di Nduga, yang merupakan basis OPM. Pertengahan tahun lalu, misalnya, milisi pimpinan Egianus Kogeya menembaki pesawat Trigana Air yang mengangkut logistik pemilihan kepala daerah. Pada akhir 1990-an, Nduga telah menjadi sorotan karena serangan yang sering dilancarkan milisi OPM pimpinan Kelly Kwalik.

Pemerintah selalu bereaksi keras tiap kali muncul serangan. Tapi penyelesaian lewat senjata malah berdampak buruk. Sesuai dengan laporan Amnesty International Indonesia, terdapat 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua pada 2010-2018. Pelaku kekerasan didominasi aparat keamanan, baik polisi maupun tentara.

Banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum jelas melukai masyarakat Papua. Laku yang menginginkan kemerdekaan Papua pun terus berkibar  kendati provinsi ini telah resmi bergabung ke Indonesia pada 1969 melalui penentuan pendapat rakyat.

Bukan mengandalkan senjata, pemerintah semestinya menuntaskan akar masalah integrasi Papua secara menyeluruh. Seperti dibeberkan para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku Road Map Papua (2009), ada masalah krusial yang membelit provinsi ini: peminggiran, diskriminasi, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Problem lain adalah minimnya sarana pendidikan dan kesehatan serta kurangnya pemberdayaan ekonomi bagi penduduk asli Papua. Selengkapnya baca:Terjebak Kekerasan di Papua     ***

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler