x

Iklan

Qusthan Firdaus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Agustus 2019

Rabu, 28 Agustus 2019 15:24 WIB

Sesat Pikir Seputar Khilafah

Meski organisasi seperti Hizbut Tahrir bubar sejak 2017, wacana khilafah justru semakin marak. Apa implikasinya bagi umat Islam khususnya dalam memahami khilafah dan khulafaurrasyidin?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah pembubaran Hizbut-Tahrir (HT) pada 1 Agustus 2017, wacana khilafah justru semakin marak.  Media massa dan media sosial ramai memberitakan TNI AD yang merekrut Enzo Zenz Allie yang diduga terpapar HT. Bahkan Panglima TNI sempat berdiskusi dengannya secara langsung.

Kemudian, beredar poster berjudul "struktur negara khilafah" di beberapa grup Whatsapp yang berisi hierarki mulai dari khalifah hingga pembagian antara "jabatan kekuasaan" dengan "jabatan administrasi." Bahkan, sebagian orang menyebutnya secara keliru sebagai "ideologi khilafah." Sebuah notion yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam diskursus mengenai ideologi maupun Islam.

Alasannya, khilafah hanya salah satu bentuk pemerintahan dalam beragam ideologi seputar Islam, jika Islam itu sendiri bukan ideologi.  Problemnya, apakah penolakan dan/atau penerimaan terhadap HT seharusnya bersifat paralel dengan khilafah atau bahkan khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib)?

Kemudian, apakah khilafah dan kekhalifahan dua hal yang sama atau berbeda?

Hizbut Tahrir (HT)

Cara HT memaknai khilafah terdapat dalam pasal 25 konstitusinya sebagai berikut: "khilafah adalah sebuah kontrak pilihan dan persetujuan, sehingga tidak ada yang terpaksa menerimanya, dan tidak ada paksaan bagi siapa yang akan melaksanakannya."

Sekilas, nuansa demokratis nampak dalam pasal tersebut. Jika hal ini benar, maka penolakan HT terhadap demokrasi bersifat kontradiktif dengan semangat tersebut. Sementara pasal 24 menyatakan "khalifah ialah perwakilan umat dalam menerapkan otoritas dan mengimplementasikan shariah."

Definisi ini merupakan konsekuensi dari pasal 1 konstitusi HT yang menyatakan, "akidah (kepercayaan terhadap Islam) menyusun fondasi negara. Karenanya, tidak ada yang boleh eksis di dalamnya, di strukturnya atau akuntabilitasnya atau aspek lainnya yang berhubungan, kecuali akidah Islam sebagai basisnya. Pada saat yang bersamaan, akidah Islam berperan sebagai basis konstitusi dan hukum-hukum Syari'ah; dengan demikian, tidak ada yang berkaitan dengan konstitusi atau hukum-hukum boleh eksis kecuali dia memancar dari akidah Islam."

Kewajiban negatif dalam komposisi di atas jelas merupakan penyangkalan terhadap entitas lain di luar apa yang mereka percaya sebagai partai politik.

Lalu, ada sesat pikir jenis question-begging nampak pada kalimat kedua dalam pasal 1 di atas. Sebab, tidak ada penjelasan untuk klaim bahwa akidah Islam menihilkan entitas lain atau --dalam komposisi yang berbeda-- premis sudah secara keliru mengandung kesimpulan.

Sebaliknya, kepemimpinan Islam seharusnya tidak menihilkan entitas lain seperti yang Nabi Muhammad SAW contohkan. Dalam kehidupan modern, Malaysia juga mencontohkan hukum syariah hanya berlaku pada warga negaranya yang Muslim. Hal ini merupakan adopsi terhadap tujuh kata dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Ketika Pancasila menjadi "sumber dari segala sumber hukum," bisa saja Indonesia menggunakan nalar yang sama dengan pasal 1 konstitusi HT bahwa tidak boleh ada praktik hukum selain yang bersumber pada Pancasila di dalam wilayah NKRI. Pendukung HT gagal menyanggah klaim ini dalam sidang PTUN.

Namun, hukum adat dan hukum Islam secara faktual berlaku dalam konteks tertentu di Indonesia. Pun sejarah mengajarkan bahwa kompromi selalu terjadi seperti misalnya pendirian Departemen Agama yang merupakan "kompensasi" dari penghapusan tujuh kata dalam Pembukaan UUD 18 Agustus 1945.

Natsir Vs Kartosuwiryo

Dalam sejarah republik Indonesia, ide khilafah pernah menginspirasi Kartosuwiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) berikut dengan Tentara Islam Indonesia (TII).  Uniknya, M. Natsir berusaha mencegah Proklamasi NII 7 Agustus 1949 tetapi terlambat. TII meminta A. Hassan yang membawa surat Natsir untuk menunggu hingga mendapatkan clearance bertemu Kartosuwiryo.

Kartosuwiryo terinspirasi oleh kekhalifahan Turki Ottoman yang jatuh pada tahun 1924 setelah kesultanan dilarang pada tahun 1922, dan Republik Turki berdiri pada tahun 1923. Adapun Natsir tidak ingin mengubah bentuk negara Indonesia menjadi negara Islam yang eksklusif tapi inklusif pada umat beragama lainnya.

 

Kemudian, Natsir akhirnya menerima uraian Hamka berjudul Urat Tunggang Pancasila (1952) yang mengklaim bahwa pelaksanaan sila pertama sama dengan penghayatan Pancasila secara utuh. Tapi, Aidit kemudian memperkeruh suasana dengan mengatakan bahwa hal ini justru melemahkan Pancasila sebagai alat pemersatu karena kaum komunis dapat mengklaim sila keadilan sebagai yang paling utama sementara kaum nasionalis mengklaim sila kebangsaan; dalam brosurnya berjudul PKI dan Angkatan Darat (1963).

HTI bisa juga mengklaim bahwa khilafah bersifat koheren dengan sila keempat Pancasila. Sebab, seorang khalifah memiliki "hikmat kebijaksanaan" (yang berdasar pada Qur'an dan hadits) untuk memimpin "kerakyatan" sementara majelis umat HTI mencerminkan "permusyawaratan perwakilan."

Seandainya HTI berhasil mendalilkan dan membuktikan hal itu dalam sidang PTUN, maka pemerintah kehilangan basis argumentasi untuk mengklaim bahwa HTI bertentangan dengan Pancasila. Sejarah menunjukkan bahwa PTUN menolak gugatan HTI.

Penutup

Penolakan terhadap HTI seharusnya tidak menggelincirkan umat Islam pada penyangkalan terhadap khilafah sebagai salah satu konsep kepemimpinan dalam Islam seperti yang ditunjukkan oleh khulafaurrasyidin. Sebab, ketergelinciran itu hanya menunjukkan sesat pikir lainnya bertajuk slippery slope di mana satu hal atau tindakan kecil (seperti pelarangan HTI) seolah membuat efek domino pada hal besar (semisal konsep khilafah yang eksis dalam sejarah Islam) yang belum tentu benar.

Bukankah hal ini serupa dengan penolakan terhadap otoritarianisme Demokrasi Terpimpin tidak serta-merta sama dengan penyangkalan terhadap semua pemikiran Bung Karno? Atau bukankah aspirasi pemisahan antara agama dengan politik tidak serta merta berhilir pada pemisahan antara Takhta Suci Kepausan dengan Negara Vatican?

Ringkasnya, logika mengajarkan bahwa pelarangan HT seharusnya tidak sama dengan penolakan terhadap praktik historis khilafah apalagi khulafaurrasyidinSebab, dua hal yang terakhir ini merupakan sama dan sebangun. Menolak keduanya sama dengan menihilkan sejarah kepemimpinan umat.

Jangan membuang berlian demi sebuah biji jagung. Jangan mengangkat bayi berikut dengan air mandinya. ***

*

Ikuti tulisan menarik Qusthan Firdaus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB