x

Iklan

Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 31 Agustus 2019 15:15 WIB

Gagasan Pramoedya tentang Pemindahan Ibukota ke Kalimantan

Pramoedya Ananta Toer bukan hanya seorang penulis prosa. Ia juga pemikir sosial. Di Pulau Buru, 30 tahun setelah Indonesia merdeka, ia menulis tentang kecemasannya pada beban berat yang ditanggung Pulau Jawa. Pemindahan ibukota ke Kalimantan adalah solusi yang ia pikirkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

DIASINGKAN, dengan kata lain dibungkam di Pulau Buru (sejak 1965 hingga 1974), pikiran Pramoedya Ananta Toer justru bergema panjang dan nyaring.

Dalam buku “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, kumpulan tulisan yang bisa kita baca sebagai sebuah memoar, Pram menuangkan banyak gagasan. Termasuk soal pemindahan ibukota ke Kalimantan.

Dan dia setuju gagasan itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepada para buangan, di Pulau Buru, didatangkan penceramah agama dan propagandis yang mencecoki dengan doktrin-doktrin Orde Baru, penguasa kala itu.

Kritik Pram: ceramah agama yang ia dengar tak beranjak dari bahan-bahan yang sudah ia dengar di surau-surau di kampung pada masa kecilnya. Soal surga dan neraka. Dan dia bosan. Sesekali tak tahan juga dia untuk tak mengingatkan pengkhotbah yang disebutkan Pram “lebih tua sedikit dari anakku”.

Adapun terhadap indoktrinasi pembangunanisme Orde Baru Pram diam-diam mencatat gagasan tandingan.

Banyak hal menarik dari gagasan Pram. Ia menulis bahwa sudah sejak lama punya gagasan bahwa sedikitnya sebanyak dua puluh juta penduduk Jawa harus pindah ke luar Jawa setiap sepuluh tahun.

Pram memang mempersoalkan kependudukan di Jawa. Penyebaran penduduk yang tidak merata. Tapi ia tak setuju transmigrasi.

Katanya, “…cara mentransmigrasi yang kurang manusiawi, kurang humaan, dan kurang bermartabat bagi suatu bangsa yang merdeka, yang pernah berevolusi, semestinya dihentikan.”

Cara itu, kata Pram, mengganggap orang yang harus ditransmigrasikan sebagai orang yang sudah tidak mampu cari penghidupan di Jawa, dianggap sebagai buangan sosial, kemudian disekop dan dilemparkan ke seberang got.

Menumpuknya penduduk di Jawa adalah ekses dari ratusan tahun masa penjajahan. Pram mengkritik keras kebijakan yang terpusat di Jawa, alias Jawa-Centris. Itu warisan Hindia Belanda, katanya.

Belanda kala itu menganggap Jawa adalah penentu. Ketika Pram menuliskan pendapatnya itu, di tahun-tahun akhir pengasingannya, 1975, Indonesia sudah tiga puluh tahun merdeka. Dan warisan kesalahan Hindia Belanda itu tetap dipakai.

Padahal di akhir kekuasaan Hindia Belanda itu sendiri sudah ada koreksi. Jika Maluku adalah masa lalu, Jawa masa kini, maka Sumatera adalah masa depan.

Jawa menanggung beban berat dan semakin berat, jika tak ada kebijakan radikal untuk melepaskannya dari tekanan perkembangan yang tak tertanggungkan pulau yang hanya meliputi 6,8 persen luas wilayah Indonesia ini.

Kalkulasi Pram benar. Penduduk Indonesia berjejal di satu pulau. Sekitar 57 persen orang Indonesia ada di Jawa (sensus 2010).

Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia (2015-2045) menurut hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah penduduk Indonesia pada 2019 akan mencapai 266,91 juta jiwa.

Sekitar 150 juta orang (56% lebih) berada di Pulau Jawa. Persentase yang tak bergeser banyak setelah sembilan tahun.

Artinya, beban ekologis-demografis Jawa semakin berat. Semua urusan bisa jadi soal besar. Urusan mudik orang di Jawa tiap tahun menguras energi dan perhatian nasional. Kehilangan lahan produktif akibat tekanan pertumbuhan penduduk semakin melaju.

Maka, kata Pram, untuk mengatasi kependudukan di Jawa hanya bisa ditempuh dengan pemikiran, sikap dan cara revolusioner.

“Bila tidak, dalam setengah abad mendatang, biar gunung-gunung tidak meledak dan banjir-banjir tidak mengamuk, Jawa sudah sulit ditinggali lagi, karena kompleknya persoalan,” ujar Pram.

Ketika Pram menulis gagasannya itu, dalam pembuangannya di Pulau Buru, 30 tahun sudah Indonesia merdeka. Ia menilai saat itu pun Sumatera sudah menjadi “masa lalu”, bukan “masa kini”, apalagi “masa depan”.

Masa depan itu, bagi Pram, adalah Kalimantan. Keluasannya. Kekayaan sumber alamnya. Tapi yang penting, apabila ibukota dipindahkan ke Kalimantan, pikiran yang Jawa-Centris akan lenyap.

“Bukan hanya membuka kemungkinan baru, juga akan membuka dimensi baru, meninggalkan kesempitan ruang, pandangan dan sikap jiwa yang sempit, dan menggantikannya dengan yang lebih besar dan luas,” ujar Pram.

Kita tahu, Kalimantan itu pulau dengan wilayah terluas di Indonesia, meliputi 28,5 persen wilayah Indonesia.

Jika ibukota dipindahkan, maka perpindahan penduduk pun akan terjadi dengan sendirinya. Mengikuti pusat pertumbuhan baru itu.

Saya setuju dengan apa yang dipikirkan oleh Pram, 44 tahun lalu itu.

Pusat pertumbuhan baru harus dikebut, diciptakan di luar Jawa. Termasuk dengan keputusan besar memindahkan ibukota.

Selain itu, kita juga sudah membaca kabar pemerintah yang menetapkan sepuluh kota (enam di luar Jawa, empat di Jawa) sebagai pusat pertumbuhan baru.

Demi meralat Jawa-Centrisme, warisan penjajah itu. Demi memeratakan kemajuan di Indonesia ---

Catatan: tulisan ini juga terbit di blog saya www.narakata.com

 

 

Ikuti tulisan menarik Hasan Aspahani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler