x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Sabtu, 7 September 2019 23:15 WIB

Filosofi Jamu, Keraslah Pada Diri Sendiri

Jamu memang pahit. Tapi menyehatkan. Filosofi jamu, jangan manja. Keraslah pada diri sendiri

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berkerumun dan ramai sekali. Ada apa? Ternyata, ada tukang jamu pinggir jalan. Jamu gerobak yang selalu ramai saat ba'da Maghrib hingga larut malam pukul 23.00 WIB. Hampir satu setengah bulan ini. 

 

Saya pun seminggu dua kali ikut antre dan menjadi bagian kaum penikmat jamu. Aneh, jamu itu pahit. Tapi kok disenangi? Bukankah manusia zaman now justru menghina dari kepahitan...

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sungguh, tak ada perlu lagi diskusi. Apalagi seminar. Soal khasiat jamu bagi kesehatan. Jamu memang pahit tapo menyehatkan, begitu kata nenek saya dulu. Jamu pun, suka tidak suka, telah jadi warisan nenek moyang yang paling mujarab hingga kini. Jamu, tradisi yang sulit dibantah.

 

Jamu itu pahit, Jendral.

Begitu kata kompeni dulu. Saking pahitnya, tidak banyak orang yang mau menenggaknya. Walau mereka tahu khasiat dan manfaatnya. Memamg betul, sesuatu yang pahit sekalipun bermanfaat jarang ada orang yang memyukainya. Kadang kita lupa, untuk sehat itu memang butuh yang pahit.

 

Jamu, persis seperti hidup banyak orang. Seberapa pahit hidup mereka, toh harus tetap dijalani. Karena pahit itu keadaan, bukan hasil. Bahkan kadang, pahit berubah menjadi sifat. Sifat yang kamuflase, terkesan baik padahal belis. Sifat manusia yang tidak seperti aslinya. Pahit dibilang manis, dan sebaliknya.

 

Tapi sebagian orang tidak begitu. Karena pahit dipandang sebagai ujian sekaligus jalan. Bahkan pahit bisa jadi sesuatu yang harus dicari. Keadaan pahit itu yang bikin keras. Tidak memanjakan diri apalagi bergantung kepada orang lain. Apalagi bergantung pada pekerjaan atau perusahaan. 

 

Pahit, kadang hanya alat agar kita lebih "keras" dalam bersikap, dalam berjuang pun dalam memegang prinsip. Keras terhadap hal-hal yang tidak perlu ditoleransi. Keras terhadap cara-cara kompeni dalam menjajah. Keras terhadap lakon-lakon culas, atas nama kolaborasi sekalipun.

 

Jamu memang pahit. Tapi menyehatkan. Persis seperti orang yang mengaji, tadarus, sholat di masjid. Jarang orang mau melakukannya karena dianggap pahit. Menyantuni anak yatim, mengajar kaum buta huruf, dianggap pahit. Padahal, manfaatnya luar biasa. Entah kenapa, mereka lebih memilih nongkrong di cafe-cafe atau ikutan komunitas sosialita. Hanya untuk eksistensi dan status sosial sesaat. Itulah filosofi jamu, pahit tapi menyehatkan.

 

Maka biarkanlah. Jangan gubris kaum yang tengah dilanda cinta sesaat. Biarkan mereka larut dalam mimpi manis yang kamuflastis. Toh, esok mereka akan menangis di kala berada di jalan pahit yang diciptakan mereka sendiri.

 

Ketahuilah, sesempurna apapun jamu yang kalian buat. Jamu tetap jamu, yang selalu punya sisi pahit yang sulit disembunyikan. Persis, seperti perjalanan hidup manusia. Selalu ada sisi pahit...

 

Pahit memang bukan untuk dihindari. Pahit pun bukan untuk dijauhi. Tapi pahit, soal cara kita bersikap. Sabar juga dianggap pahit. Tapi itu menyehatkan.

 

Dalam filosofi jamu. Ada ajaran, pahit itu makin nyata tatkala "berharap kepada manusia". Maka berbaliklah, untuk berharap hanya pada-Nya. Agar hidup lebih banyak manis daripada pahit ... #TGS

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler