x

Ilustrasi. Foto: Istimewa

Iklan

Sandyawan Sumardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 17 September 2019 07:40 WIB

Marwah KPK yang Tengah Dilucuti

Alasan diadakannya KPK adalah kesadaran dan kehendak masyarakat bangsa dan negara republik Indonesia pasca reformasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I. Sandyawan Sumardi
 
Alasan diadakannya ("raison d'etre") KPK adalah kesadaran dan kehendak masyarakat bangsa dan negara republik Indonesia pasca reformasi, akan kenyataan semakin menggurita dan membuncahnya praktek korupsi besar-besar di tanah air. Ini adalah "extraordinary crimes" pada waktu itu, sampai-sampai dua institusi penegak hukum yang ada ketika itu, kepolisian dan kejaksaan, bukan saja  dianggap tidak mampu lagi mengatasinya, tapi untuk beberapa kasus, justru dianggap menjadi bagian dari masalah korupsi itu sendiri.
 
Akibatnya 2 institusi penegak hukum itu, bukan diparkir, melainkan, sekali lagi oleh kesadaran dan kehendak masyarakat dan pemerintah negeri ini ketika itu, tidak lagi diutamakan sebagai andalan alat efektif dan efisien negara dalam tindak pencegahan dan pemberantasan  korupsi di tanah air. Oleh karena itulah selanjutnya dibutuhkan sebuah lembaga sebagai "extraordinary tools" (sarana yang luar biasa), yang namanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
 
KPK didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. 
 
KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
 
Agar KPK dapat bekerja efektif dan efisien dalam pencegahan maupun penindakan, maka sebagai prasyarat utama ia harus benar-benar independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
 
Memang KPK di bawah Presiden, namun menimbang "power tends to currup" (kekuasaan cenderung untuk korupsi), maka ia harus independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, antara lain, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga kepolisian dan kejaksaan, termasuk kalau ada kasus korupsi yang melibatkan ke-2 institusi penegak hukum itu.
 
Begitupun KPK harus independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan semua lembaga eksekutif (birokrasi negara, bahkan  termasuk dari lembaga kepresidenan itu sendiri sekalipun) dan yudikatif (DPR-MPR RI) yang ada, KPK harus tetap independen, dan ia tetap punya kewenangan untuk menangani perkara korupsi kalau memang ada kasus korupsi yang melibatkan oknum-oknum ataupun lembaga pada lembaga eksekutif dan yudikatif dalam pemerintahan itu sendiri.
 
Itulah marwah KPK yang sebenarnya. 
 
Bukankah  independensi dan kebebasannya dari intervensi kekuasaan KPK justru akan dilucuti dengan RUU KPK yang mengusulkan pembentukan Dewan Pengawas, dan yang oleh Presiden dikatakan akan dipilih lembaga kepresidenan?
 
Bukankah perubahan sistem kewenangan ini justru akan membuat KPK tidak lagi independen dan berpotensi besar akan adanya intervensi dari eksekutif dan legislatif pada penindakan KPK itu sendiri?
 
Bukankah sudah cukup mekanisme pengawasan yang ketat, mulai dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR, Kementerian Komunikasi dan Informasi hingga mekanisme pra peradilan?
 
Selain itu, pemberian kewenangan KPK dalam memberikan SP3 justru bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
 
Masih adakah marwah KPK yang independen, bebas dari kekuasaan eksekutif dan yudikatif, bermatabat serta terpercaya?
 
Padahal, korupsi di negeri ini semakin menggurita, membuncah dan menyesakkan dada..!
 
Jakarta, 16 September 2019

Ikuti tulisan menarik Sandyawan Sumardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler