x

Iklan

Muhammad Itsbatun Najih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 30 September 2019 05:46 WIB

Benarkah Kita Punya Gen Korupsi? Ada Dua Cara Enyahkan Kejahatan Ini

Artikel mengurai dua pendekatan yang bisa dilakukan masyarakat untuk memupus korupsi. Yakni, lewat jalur pendidikan dan penggalian kearifan lokal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya masih ingat betul pemandangan menggelitik sekaligus miris pada pelaksanaan Pilkada 2017. Terwartakan sejumlah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut pencoblosan. Terekam pula aksi mereka yang kompak berfoto. Bersuka cita tertawa lepas dengan mengenakan rompi tahanan KPK berwarna oranye. Foto tak mengandung kejanggalan. Mereka juga berpunya hak memilih. Namun, yang menista akal sehat adalah, kenapa mereka masih begitu tampak bahagia-ceria. Tak ada wajah menunduk atau aksi menghindar sebagai ekspresi malu dan berdosa.


Pendidikan antikorupsi kikis korupsi
Karena itu, diperlukan penanaman pendidikan karakter khusus menyikapi kejahatan korupsi. Mengalamatkan usia dini. Terutama dimulai dari bangku sekolah. Lebih-lebih berkaca kondisi faktual, anak-anak kini sudah secara masif dipertontonkan bahwa berkorupsi di negeri ini --umumnya-- divonis ringan. Tak menjerakan. Korupsi teranggap kejahatan biasa. Khawatirnya, anak-anak lantas akan menganggap maling duit negara sama saja mencuri mangga milik tetangga. Kejahatan biasa, sekadar “kenakalan”. Kita tentu tidak berharap kepada anak-anak yang bakal menjadi penerus bangsa akan berpikir seperti itu.

Karena itu, sudah saatnya, meski terkata terlambat, ikhtiar berupa injeksi “kurikulum” pendidikan antikorupsi lekas diwujudkan di bangku sekolah sejak tingkat sekolah dasar. Dan, terus diajarkan secara masif hingga almamater universitas. Anak-anak perlu dibekali pengetahuan tentang bagaimana kejahatan korupsi berdampak sangat luas dan sistematis. Anak-anak sekolah perlu dipahamkan akibat adanya korupsi, sekolah mereka tidak kunjung mendapat bantuan renovasi. Alhasil, bangunan sekolah sewaktu-waktu bisa roboh dan bisa-bisa memakan korban dirinya sendiri. Pendidikan antikorupsi juga bakal sadarkan bahwa korupsi sebabkan kemiskinan struktural.

Rumusan pendidikan antikorupsi di sekolah tidak dibaca sebagai pemunculan suatu mata pelajaran tersendiri. Tapi, lebih pada bentuk idealisasi nilai-nilai yang terwujud di saban mata pelajaran. Terutama untuk pelajaran berbasis ilmu pengetahuan sosial. Apalagi, terasa pas manakala pemangku kebijakan sedang menggiatkan tema pendidikan karakter. Catatan Moh Yamin dalam Pendidikan Antikorupsi (2016) menyebut, pendidikan antikorupsi sudah diterapkan jauh-jauh hari di banyak negara.

Jalur pendidikan dipilih guna memutus mata rantai korupsi karena pendidikan adalah sarana ampuh yang secara kontinu membekas dalam alam bawah sadar anak sekolah. Lebih dari itu, pendidikan merupakan penumbuhan dan pengembangan elan kemanusiaan itu sendiri agar menjadi individu beradab. Kita meyakini anak-anak sekolah sudah mahfum bahwa korupsi adalah kejahatan, merugikan banyak orang, dan berdosa. Namun, pengertian dan praktik kejahatan korupsi dari waktu ke waktu terus berkembang dan meluas, tidak sekadar mengambil uang negara atau me-mark up anggaran proyek pemerintah. Karena itu, anak-anak sekolah mesti turut dibekali pengetahuan renik tentang bahaya laten kejahatan itu.

Harapan adanya pendidikan antikorupsi adalah tumbuhnya generasi Indonesia yang benar-benar bersih dari anasir korupsi. Bertumbuh sejak belia mentalitas luhur dalam berkehidupan berbangsa. Sehingga kelak, entah mereka menjadi hakim, pejabat, atau pebisnis, tidak ada hasrat untuk berkorupsi. Kendati demikian, pendidikan antikorupsi juga tetap mengharapkan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari internalisasi pendidikan agar lebih membumi.

Sememangnya, perlu cara-cara lain yang lebih persuasif penanggulangan korupsi. Tidak saja mengandalkan KPK dengan penegakan hukum berupa penindakan. Perlawanan terhadap korupsi juga menghendaki cara lain. Salah satunya adalah melalui penerbitan buku. Buku, dianggap sarana tepat dan efektif mengampanyekan pemberantasan korupsi dalam lingkup lebih terarah. Dalam hal ini, menyasar anak-anak sekolah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Peserta didik perlu mengetahui sisi-melik tema korupsi beserta cara penanggulangannya. Mengikis mental koruptif lewat pendidikan merupakan jalur tepat. Bocah-bocah sekolah, kita tahu bersama, merupakan benih yang belum terkotori sedemikian parah; di samping mereka juga sebagai generasi penerus bangsa. Diharapkan, pendidikan antikorupsi yang diajarkan di sekolah-sekolah bisa sama derajatnya dengan pendidikan reproduksi dan pendidikan antinarkoba.


Kita berharap injeksi pendidikan antikorupsi akan menumbuhkan generasi-generasi anyar yang 10-20 tahun lagi; mereka yang sekarang duduk di bangku sekolah dasar dan Menengah Atas, nantinya bakal membuat museum korupsi sebagai sindiran satir dan simbolitas atas suatu bahaya laten yang dapat meluluhlantakkan keadaban bangsa dahulu kala.


Kearifan lokal redam korupsi
Selain melalui jalur pendidikan, pemberantasan korupsi bisa dilakukan melalui jalur kebudayaan. Yakni, menggali nilai-nilai luhur kearifan lokal. Kita mafhum, korupsi semakin hari kecaman tentangnya, tampak sebanding dengan terus-menerus untuk dipraktikkan. Seolah tanpa jera dan malu, pelaku korupsi menjadikannya seperti kejahatan biasa yang mengundang pemakluman.

Aneka siasat mengerem praktik koruptif senantiasa dicoba; hingga pengenaan pakaian khusus: rompi oranye bertulis Tahanan KPK. Ironisnya, si --tersangka-- koruptor masih tersenyum lebar sambil melambaikan tangan; pertanda kebanggaan(?). Padahal, di Jepang, kita tahu bersama, baru diisukan korupsi, sudah malu bukan main dan lekas-lekas undur diri menjabat.

Menyinggung Jepang, kita lekas mengingat tradisi Harakiri; begitu masyhur sebagai pertanda konsekuensi tanggungajawab yang diemban. Mentalitas kesatria untuk berpunya rasa malu bila gagal tugas telah menjadi bagian identitas masyarakatnya. Harakiri sudah terpatri sekian abad. Hebatnya, semakin gerak maju zaman, spirit Harakiri masih lestari dan bertumbuh kuat, meski tidak lagi menusukkan pedang ke perut bagian kiri. Harakiri, sebagai kearifan lokal Jepang, nyatanya mampu menyesap dalam masyarakat internasional sebagai inspirasi lakon luhur, terutama dalam perangi korupsi.

Ada sekian banyak kearifan lokal/identitas jatidiri kita yang –harusnya- bisa menjadi referensi utama mengenyahkan korupsi. Pelajaran kearifan-kearifan lokal yang kita punya menjadi gugatan reflektif: lantas sejak kapan masyarakat kita --pejabat kita—menjadikan jabatannya sebagai ladang berkorupsi. Apalagi, kondisi mutakhir tindak korupsi di negeri ini sudah pada taraf membahayakan –untuk enggan dikatakan “membudaya”.

Kearifan-kearifan lokal kita yang bisa ditemukan hampir-hampir pada tiap identitas kesukuan; yang secara nalar historis telah menyunggi sanggahan bahwa sejatinya masyarakat kita sama sekali tidak ada gen/DNA yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia “gemar” korupsi. Pun, termasuk kita telah mempunyai kepribadian unggul berupa rasa malu yang besar. Pantang mengambil jabatan bila sekira dirinya dipandang tidak mumpuni. Anggitan Jawa, misalnya, berujar: bisa rumangsa, ojo rumangsa bisa: pandailah mengaca diri, jangan merasa sok pandai. Sementara peribahasa Madura berucap: Poteh mata poteh tolang angok potena tolang, memberi makna: daripada hidup menanggung malu, lebih baik mati.

Justru, dalam kekayaan kearifan lokal kita menuturkan untuk senantiasa hidup bersama alam. Hidup dalam kebersahajaan. Di Jawa, laku batin berupa puasa terkira membentuk badan dan terutama jiwa untuk enggan asyik-masyuk dalam kepungan ingar-bingar duniawi. Membentuk jiwa peka terhadap alam dari upaya-upaya perusakan. Maka tersebutlah aneka lelakon tradisi puasa Jawa: puasa mutih, puasa ngerowot, puasa pati geni --yang hanya mengonsumsi nasi-garam dan air putih. Dan, sememangnya esensi puasa guna mengerem nafsu hewani alias dorongan serakah dan rakus yang selalu hinggap dalam jiwa manusia.

Sementara di Papua, terdapat kearifan lokal bersebut te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama—yang mesti dijaga. Dengan kata lain, identitas masyarakat di ujung timur Indonesia itu menyiratkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus digunakan secara hati-hati demi keberlangsungan kehidupan ke depan.
Pelestarian lingkungan berupa pemanfaatan alam secara wajar menjadi basis kearifan lokal pada masyarakat Kalimantan dan Bengkulu. Tradisi Tana’ Ulen dan Celak Kumali menghendaki agar hutan, lahan pertanian, dan sumber daya alam lain hendaknya dikelola secara arif. Hal ini tentu sangat membedai aksi-aksi sebagian pejabat yang gemar berkongsi dengan perusahaan untuk mengeksploitasi hutan dan lahan pertanian produktif. Pintu korupsi pejabat kian terbuka lebar saat si pejabat mempersilakan korporasi bersewenang-wenang mengangkangi alam.

Bila kita tidak mempunyai gen/DNA korupsi, lalu apa sebab kita sangat kepayahan memberantas korupsi? Kiranya perlu menelunjukkan jari penyebab bahwa asal mula laku nista korupsi ialah sikap hedonis(me). Gaya hidup yang serba berlebih dan memuja harta. Inilah sebenarnya akar korupsi akut di negeri ini. Hedonisme memandang si aku harus lebih kaya ketimbang si liyan. Dan, hedonisme mengantar pada penghalalan segala cara untuk mendapatkan gemilang kebendaan.

Gen/DNA kita melalui hikayat kearifan lokal justru menuturkan agar hidup sederhana. Pepatah Sunda berkata: saeutik mahi loba nyesa. Kearifan lokal tersebut menyiratkan pesan penting mengurangi konsumsi pada hari ini dan menyisakannya esok hari. Begitu pun peribahasa Jawa: sugih tanpa bandha, di mana kekayaan sesungguhnya tidak dinilai dari keberpunyaan/keberlimpahan materi. Walhasil, buku ini memberikan ikhtiar jawaban pemberantasan korupsi dari akarnya; memakai kembali pakaian kearifan lokal leluhur kita dengan hidup bersahaja.

KPK merupakan penegak hukum yang bertugas memberantas korupsi lewat penindakan. Sedangkan masyarakat punya cara-cara khusus, setidaknya lewat dua pendekatan yang penulis gagas di atas. Jalur pendidikan dan memakai kembali identitas yang telah diajarkan orang tua melalui bentuk-bentuk kearifan lokal, memang membutuhkan waktu lama untuk menuai hasil. Namun, boleh jadi merupakan cara efektif untuk mencabut mental koruptif sampai ke akar-akarnya.

Penulis: Muhammad Itsbatun Najih; alumnus UIN Yogyakarta

Ikuti tulisan menarik Muhammad Itsbatun Najih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler