x

(dari kiri) Wakil ketua KPK Laode M Syarif, Sekjen Transparency International Indonesia Dadang Tri Sasongko, pakar politik CSIS Phillip Vermonte dan penulis sekaligus dosen Administrasi Publik Universitas Indonesia Vishnu Juwono, saat berbicara dalam diskusi Sarasehan Pustaka dan peluncuran buku Melawan Korupsi, di gedung KPK, Jakarta, Senin, 18 Maret 2019. Buku Melawan Korupsi ini berisi tentang catatan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia 1945-2014. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Ardanmarua

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Juli 2019

Senin, 30 September 2019 05:48 WIB

Melawan Korupsi

Ketika Anda tidak mengambil sikap menentang korupsi, Anda diam-diam mendukungnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Ketika Anda tidak mengambil sikap menentang korupsi, Anda diam-diam mendukungnya," -Kamal Haasan.

Kata korupsi berasal dari bahasa latin "corrupt" yang berarti busuk juga rusak, atau dari "corruptus" yang berarti membusuk atau pembusukan. Berangkat dari basis etimologis saja sudah bisa kita katakan bahwa korupsi itu adalah momok menjijikkan sekaligus racun bagi negara, juga kelangsungan peradaban umat manusia.

Syed Husein Alatas mendefinisikan bahwa koruptif pada intinya adalah penyalahgunaan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi. Sedangkan menurut UU nomor 20 Tahun 2001 korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Dalam bahasa rakyat, koruptif atau koruptor adalah para pencuri hak rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Nur Syam dalam tulisannya yang berjudul "penyebab korupsi" menyatakan bahwa penyebab utama dari tindak pidana korupsi adalah karena tergoda akan materi dunia. Isa Wahyudi mengatakan penyebab korupsi adalah sifat yang tamak, iman yang kurang kuat, dan konsumtif.

Dari dua pernyataan ini dapat kita simpulkan bahwa penyebab utama terjadinya korupsi adalah konsumtif, egoisme, dan moral yang busuk. Saya pikir, orang baik tidak akan mencuri sekali pun dirinya punya kesempatan untuk melakukannya. Jadi, perkara korupsi sejatinya adalah persoalan rasa syukur dan integritas, bukan kesempatan.

Ada banyak orang yang punya kesempatan tapi tidak melakukan, warga KPK, misalnya. Penyidik KPK saat menangkap para maling mereka tidak pernah sekali pun terdengar menggunakan kesempatan itu untuk merampok balik uang yang dicuri oleh para maling alias koruptor. Padahal bisa saja hal itu mereka lakukan, kesempatannya ada. Tetapi mereka malah berbuat sebaliknya, seperti yang diharapkan publik, melaporkan di depan pelbagai awak media kepada publik hasil penangkapan mereka dan menunjukkan jumlah uang yang berhasil mereka selamatkan dari tangan perampok hak rakyat.

Terima Kasih KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi pada semester 1 tahun 2019 telah menyelamatkan uang negara yang notabenenya adalah hak rakyat senilai 28, 7 triliun dari kegiatan pencegahan korupsi di sejumlah daerah. "Penyelamatan keuangan daerah ini merupakan kontribusi KPK bersama jajaran pimpinan dan pegawai di instansi-instansi yang bekerja sama dalam pencegahan korupsi", tukas juru bicara KPK, Febri Diansyah saat dihubungi oleh awak media pada hari minggu, 22 September 2019.

Andaikata jumlah uang sebesar itu berhasil koruptor curi dan KPK gagal menyelamatkannya, bisa semakin melarat bangsa ini. Maka sudah sepatutnya terima kasih kita haturkan kepada warga KPK, karena KPK adalah 'the guardian of people's rights' dari tangan manusia berkepribadian busuk. Tanpa KPK hutang bangsa ini akan semakin gendut.

Sialnya upaya pelemahan KPK melalui regulasi terus dilakukan oleh orang-orang yang tidak puas dengan kinerja KPK. Katanya kinerja KPK selama ini menghambat masuknya investasi. Demonstrasi memperkuat KPK versi rakyat yang bertajuk "reformasi dikorupsi" pun kemudian masif terjadi di berbagai daerah. Dasyatnya tak terbendung oleh apapun: Vox populi vox dei.

Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, selain menentang RUU yang melemahkan kerja-kerja KPK dalam memberantas korupsi, bagaimana semestinya masyarakat berperan memerangi praktik korupsi? Ada rakyat yang bertanya demikian. Pasalnya, rakyat sudah sangat jengkel dan muak menyaksikan wajah-wajah para koruptor tersenyum di depan TV dan praktik korupsi yang kian hari semakin mewabah di negeri ini. Tetapi rakyat bingung mau mulai melawan dari mana.

Belajar Integritas

Jawaban atas pertanyaan itu adalah belajar berintegritas sejak dini atau hari ini juga. Inilah jawaban paling kuat yang tak bisa dibantah oleh siapa pun dan durasi relevansinya sepanjang massa. "Mengakui kesalahan sendiri adalah langkah pertama untuk mengubahnya, dan ini merupakan demonstrasi kebenaran dan integritas sejati," kata Philip Jhonson.

Menciptakan budaya integritas tidak hanya menciptakan efektivitas, fleksibilitas, tetapi juga menghasilkan pengaturan yang penuh hormat, menyenangkan, dan memberi kehidupan yang baik dalam lakon kehidupan bersama. Integritas akan melahirkan rasa percaya diri yang tinggi dan saling percaya antar sesama. Karena pada dasarnya pribadi yang berintegritas hanya melakukan apa yang ia katakan dan apa yang ia harap orang lain lakukan padanya. Seseorang yang berintegritas hidupnya dipenuhi dengan rasa syukur dan tidak pernah membohongi diri sendiri apalagi membohongi orang lain.

Di bangsa ini kita punya banyak tokoh-tokoh berintegritas, Hj. Agus Salim, misalnya. Agus Salim ialah tokoh yang dikenang sepanjang massa. Pria kelahiran 8 Agustus 1884 di Sumatera itu memandang hidup sebagai upaya mencipta keteladanan. Kekuasaan baginya adalah ruang mengabdikan diri yang ditempuh melalui penderitaan, bukan menggunungkan kekayaan.

Pernah suatu ketika di dataran tinggi Eropa, di ruang temu para diplomat dari pelbagai dunia, Agus Salim tampil membingungkan banyak diplomat yang berjas necis: Agus Salim hadir menggunakan jas yang dihiasi beberapa jahitan di sana-sini. Ini adalah suatu fenomena yang hari ini sulit untuk kita temukan dalam kehidupan para elite, juga sesuatu yang sebagian dari kita enggan lakukan di ruang-ruang pertemuan resmi.

Walaupun sempat beberapa kali menduduki jabatan menteri dalam pemerintahan Indonesia, Agus Salim ternyata sempat tak memiliki rumah kediaman tetap. Semasa tinggal di Jakarta Agus Salim bersama keluarga hanya hilir mudik tinggal di pelbagai kontrakan yang biasa-biasa saja. Kerap kali kontrakan yang ditempatinya itu bocor di mana.

Kendati demikian, kadang di saat hujan Hj. Agus Salim bersama istri dan anak-anaknya bermain perahu kertas di dalam rumah mereka yang atapnya ditembusi air hujan. Hebatnya lagi hal itu ia dan keluarganya syukuri dan menganggapnya sebagai keasyikan melakoni hidup.

Selain Hj Agus Salim, nama Mohammad Hatta pun dikenang sepanjang masa oleh banyak orang karena integritasnya. Wakil presiden pertama Indonesia ini tak ada bedanya dengan Hj Agus Salim: sederhana, jujur, dan berprinsip baja.

Hatta pernah menolak apa yang menjadi haknya, hanya lantaran diberikan pada waktu yang salah, saya pikir demikian. Kali itu, sesaat setelah lengser dari jabatan wakil presiden, Sekretaris Kabinet Maria Ulfah memberikan uang 6 juta rupiah kepada Hatta, uang tersebut merupakan sisa dana nonbujeter untuk keperluan Hatta selama menjabat sebagai wakil presiden. Namun uang itu ditolaknya. Uang itu pun Hatta kembalikan kepada Negara.

Bagi Hatta uang itu bukan lagi haknya. Karena saat uang itu diberikan padanya ia bukan lagi wakil presiden Indonesia. Negarawan yang tak sanggup membeli sepatu idamannya ini punya banyak kisah yang bisa kita teladani.

"Der mensch ist, war es iszt" adalah pepatah Jerman yang selalu terngiang di kepala Hatta, ia teguh pada itu—bahwa sikap manusia sepadan dengan caranya mendapat makan. Baginya, kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur sulit diperbaiki.

Jadi, saya pikir, sudah sangat tetap slogan KPK dalam memberantas korupsi: Berani jujut itu hebat. Tetapi orang-orang KPK tak boleh dibiarkan jujur dan berjuang sendiri melawan korupsi. Sebab, untuk Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju, kejujuran dan integritas kolektif yang prima sangat diperlukan. Tanpa ini kita adalah bangsa yang melarat selamanya.

Jadi, masyarakat yang peduli pada masa depan negara, anak-cucu, dan membenci korupsi harus belajar berintegritas. Kita bisa belajar hal itu pada gurunya, pada Agus Salim dan Hatta, misalnya. Hasil akhirnya kita menang melawan korupsi. Indonesia kaya, Indonesia jaya hadir di depan mata.

Ikuti tulisan menarik Ardanmarua lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler